Derita Hidup Seorang Gundik
Wanita menjadi gundik berharap hidup lebih baik, namun malah mendapatkan kekejaman dari sang tuan. Bahkan, seorang tuan dijatuhi hukuman cambuk.
DI zaman kolonial Belanda, pergundikan kerap dipandang sebagai solusi untuk lepas dari kemiskinan maupun meningkatkan status sosial. Tak heran bila sejumlah wanita memutuskan menjadi gundik bagi orang-orang Eropa maupun warga bebas (mardijker).
Meski ada yang menganggap tabu dan melanggar norma, praktik pergundikan marak terjadi. Laki-laki imigran Eropa tidak ada kendala untuk mengambil seorang wanita lokal sebagai gundik. Terlebih, menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda dalam Era VOC, laki-laki Eropa yang hendak melakukan pernikahan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah VOC. “Karena keadaan itu, banyak laki-laki yang tak pernah mengawini perempuan Asia, melainkan hidup dengannya sebagai gundik atau nyai,” sebut Tineke.
Hubungan pergundikan umumnya tak didasari cinta, melainkan kebutuhan dilayani dan melayani. Atas dasar itu, para wanita lokal –umumnya masih berusia muda– yang menjadi pengurus rumah tangga pada praktiknya tergiring pada pergundikan.
Namun, harapan mendapatkan hidup lebih baik melalui pergundikan sering kali hanya mimpi belaka. Kekerasan, pelecahan hingga perlakuan sewenang-wenang justru harus diterima para wanita yang terjerat pergundikan. Salah satu contohnya ditulis Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, yang mengisahkan perlakuan sewenang-wenang seorang warga mardijker bernama Abram Dias kepada gundiknya yang membuatnya dijatuhi hukuman berat pada 1691.
“Abram Dias dijatuhi hukuman cambuk berat yang dilaksanakan di belakang balai kota akibat yang bersangkutan nyaris setiap hari mencaci maki, mengancam, dan memukul perempuan kulit hitam, Sada, yang pernah menjadi gundiknya tetapi kemudian dicampakannya,” tulis Niemeijer.
Nasib buruk juga menimpa Jubika van Batavia, gundik seorang warga mardijker bernama Francis de Koes. Selama sepuluh tahun menjadi gundik, Jubika kerap mendapatkan perlakuan kasar dan kejam dari De Koes. Perempuan malang itu bersama anak-anaknya sering mengungsi ke rumah kenalan setiap De Koes yang pemabuk dan penjudi membuat ulah. Namun, setiap kali Jubika pulang, ia harus menerima kekejaman yang lebih berat.
Baca juga: Nyai dalam Kekuasaan Patriarki
Kasus-kasus kekerasan tersebut menunjukkan bagaimana posisi seorang gundik dalam hubungan dengan sang tuan. Menurut Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, meski seorang gundik menjalani kehidupan dengan tuannya –mengatur urusan rumah tangga, tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya, dan tidur bersamanya–, ia kerap dipandang tidak memiliki derajat yang sama seperti tuannya. Oleh karena itu, menjadi seorang gundik juga dapat diartikan menjadi pekerja maupun komoditas yang nasibnya ditentukan oleh sang tuan.
Sepanjang abad ke-19, banyak orang Eropa yang terus menggunakan julukan-julukan yang menghina secara terang-terangan. Julukan paling halus yang umumnya dikatakan adalah indlandse huishoudster atau pembantu rumah tangga pribumi. “Penambahan kata pribumi sebenarnya sudah aneh dan tidak perlu. Pada waktu itu, jelas tidak ada pembantu rumah tangga Eropa di dalam koloni,” tulis Reggie.
Baca juga: Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan
Di samping itu, para gundik juga kerap disebut dengan meubel (perabot) atau inventarisstuk (barang inventaris). Sebutan ini dapat diartikan secara harfiah karena dalam pelelangan yang dilakukan orang Eropa yang akan pindah atau kembali ke negeri asalnya, para gundik juga ikut dilelang sebagai bagian dari inventaris mereka. Para gundik juga tidak memiliki hak secara resmi, dengan demikian ia tidak bisa menuntut kemana-mana. Selain itu, ia juga tidak bisa menuntut hak atas anak-anak yang lahir dari pergundikan.
Menurut Reggie, peraturan itu ditetapkan secara hukum dalam Pasal 40 dan 354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848. Di dalam peraturan tersebut juga dicantumkan bahwa seorang gundik tidak dapat menuntut perwalian apabila “suaminya” meninggal. Dengan demikian, bila tiba saatnya untuk pergi, maka ia akan pergi dalam keadaan yang sama ketika pertama kali datang, yaitu dengan tangan hampa. Kecuali jika sang laki-laki bersedia untuk membuat perjanjian dengannya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar