Cinta Mati Bupati Madiun
Meratapi kematian istri dan tidak mau menikah lagi adalah bukti cinta Raden Ronggo pada Raden Ayu Ontowiryo hingga ia tewas
Nama Fajar “Sad boy” masih jadi pembicaraan hingga kini. Bahkan, belakangan dia kerap diundang stasiun televisi maupun channel Youtube milik artis-artis.
Viralnya remaja bernama asli Fajar Labatjo ini disebabkan karena unggahan videonya di media sosial. Di video itu dia bercerita tentang kisah cinta monyetnya yang gagal. Akibat kegagalan itu, Fajar acap bersedih bahkan menangis.
Kendati tak sedikit yang bersimpati kepadanya, netizen banyak yang dibuat kesal. Para pembencinya tak segan mengomentari aksinya “lebay” hingga melekatkan julukan “Sad boy” pada dirinya. “Bucin” kalau kata anak-anak generasi Z.
Bucin –akronim untuk Budak Cinta– menjadi istilah populer kalangan milenial dan generasi Z untuk menggambarkan sesorang yang sangat mencintai pasangannya. Orang-orang yang tidak rela ditinggal pasangannya sering dituduh sebagai “bucin”.
Bucin merupakan orang yang memiliki rasa cinta mendalam kepada pasangan atau orang yang didambakannya. Kondisi seperti itu pernah dialami Bupati Madiun periode 1796-1810 Raden Ronggo Prawirodirjo III saat ditinggalkan pasangannya. Ia amat merasa kehilangan hingga membuatnya terpuruk.
Baca juga:
Raden Ronggo memiliki seorang istri bernama Gusti Bendara Raden Ayu (RA) Maduretno yang biasa dipanggil Raden Ayu Ontowiryo. RA Ontowirjo merupakan putri ketiga Hamengkubuwono II dari istri Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton. RA Ontowiryo dianggap sebagai putri tercantik di antara tiga putri sultan kedua Yogyakarta tersebut.
Setelah menikah, Raden Ronggo dan Raden Ayu Ontowiryo tinggal di Madiun dan menetap di Maospati. Rumah mereka disebut sebagai Keraton Ronggo Maospati. Mereka dikaruniai seorang putri yang dberi nama sama seperti ibunya, Raden Ayu Maduretno.
Ketika Daendles mengeluarkan kebijakan monopoli penjualan kayu jati pada pertengahan 1808, bupati-bupati jadi kehilangan sumber pemasukan. Para bupati pun mengadukan hal itu kepada Sultan Hamengkubuwono II saat berkunjung ke perayaan Garebeg Maulid 27 April 1809. Sultan mengizinkan rakyat menjual kayu ke pesisir.
Namun ketika kebijakan sultan telah berubah, tindakan kriminal jual-beli kayu masih terjadi. Beberapa pejabat terlibat. Salah satu yang dituduh terlibat adalah Raden Ronggo. Tuduhan tersebut jelas membuatnya jengkel.
Di tengah kondisi tak mengenakkan itu, Raden Ronggo dikagetkan oleh sebuah kabar. Sang istri, RA Ontowiryo, yang tengah mengandung calon anak kedua meninggal dunia. RA Ontowiryo meninggal pada 16 November 1809 karena keguguran. Raden Ronggo pun sedih dan putus asa.
“Menguburkannya di makam keluarga Ronggo di Gunung Bancak dekat Maospati, ia dikabarkan menghabiskan sepanjang hari dan malam meratap di makam istrinya. Ia bahkan ingin mati mengikuti jejak istrinya sehingga para bupati bawahannya membujuk-bujuk agar ia segera sadar diri”, kata Babad Pakualaman menggambarkan kesedihan mendalam Raden Ronggo.
Betapapun sulitnya, Raden Ronggo berhasil melewati suasana dukanya. Namun, aral kembali menghadangnya. Tuduhan terlibat dalam suatu serangan lintas batas di Ponorogo, wilayah Kasunanan Surakarta sesuai Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram menjadi dua. Ditambah dengan Peristiwa Delanggu yang menewaskan seorang lurah di Delanggu, Klaten, raja Surakarta mengadukan Raden Ronggo ke Daendles. Raja Surakarta juga melaporkan Raden Ronggo ke Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaus Engelhard.
Baca juga:
Kendati mendapat perintah Gubernur Jenderal Daendels agar menghukum Raden Ronggo, Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II menolak melakukannya. Sultan tetap percaya bahwa Raden Ronggo berada di posisi yang benar. Ia tetap berusaha melindungi dan memihak bekas menantunya tersebut. Bahkan, Sultan Hamengkubuwono II menawarkan Raden Ronggo untuk menikahi salah satu putrinya yang masih gadis.
“Sangat ingin mempertahankan hubungan kekeluargaan dengan Ronggo, Sultan menawarkan pengantin perempuan yang baru kepadanya, yaitu Raden Ajeng Suratmi yang berusia tiga belas, putri kedua dari istri kesayangannya, Ratu Kencono Wulan”, tulis Peter Carey dalam Kuasa Ramalan Pangeran Diponogoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
Bagi Raden Ronggo, posisi Raden Ayu Ontowiryo tidak tergantikan. Kendati begitu, hubungan antara Sultan Hamengkubuwono II dan Raden Ronggo tetap baik hingga akhir hayatnya ketika Raden Ronggo tewas di Sekaran dalam peralawanan terhadap pasukan Daendels pada pada pengujung 1810.
“Ronggo memutuskan mati sebagai senopati dan segera menyusul istri tercinta ke akhirat daripada tersiksa di bawah kaki penjajah”, kata Pater Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar