Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang
Terpikat dunia wayang, Presiden Sukarno rutin menggelar pertunjukan wayang semalam suntuk di Istana Negara. Jenderal Parman termasuk perwira tinggi TNI yang punya kegandrungan serupa dengan Sukarno.
PRESIDEN Sukarno gemar sekali nonton wayang. Selama menjabat presiden, Bung Karno menggelar pertunjukan nonton wayang secara berkala di Istana. Dalang-dalang ternama diundangnya untuk melakonkan cerita-cerita epos Mahabharata. Bila tiba harinya, maka pertunjukan bisa berlangsung semalam suntuk.
Kalau mau berangkat nonton wayang dari Istana Merdeka ke Istana Negara, menurut Mangil Martowidjojo, ajudan pribadi Presiden Sukarno, Bung Karno selalu diantar kepala Rumah Tangga Istana (Mayjen Soehardjo Hardjowardojo), ajudan, serta para pengawal pribadi. Keesokan pagi selesai pertunjukan wayang, Bung Karno juga diantar dari Istana Negara oleh petugas yang sama. Pernah sekali waktu, pagi-pagi usai nonton wayang, Bung Karno bertanya kepada ajudannya Kolonel Sugandhi di tengah perjalanan dari Istana Negara.
“Ndi, lucu tidak banyolannya tadi malam?” tanya Bung Karno.
“Lucu sanget, (lucu sekali), Pak,” balas Gandhi.
Sugandhi kecele mengira pembicaraan hanya sampai di situ. Pertanyaan dari Bung Karno justru terus berlanjut. Sugandhi diminta untuk menirukan bagian mana yang lucu dari pertunjukan wayang tadi malam. Rupanya Sugandhi tak kuat menonton wayang semalam suntuk.
“Dalem mboten ninggali (saya tidak nonton), Pak,” kata Sugandhi dalam bahasa Jawa halus, yang dibalas tertawaan semata oleh Bung Karno.
Dunia wayang seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Bung Karno. Nama Sukarno sendiri diambil dari nama tokoh wayang Karna, putra Dewa Surya yang diasuh oleh kusir Adirata. Karna sejatinya punya keahlian memanah lebih dari Arjuna. Dalam wiracerita Mahabharata, Karna memihak kepada Kurawa dan memusuhi Pandawa. Karna bahkan menjadi panglima perang klan Kuru setelah kematian Bisma. Di akhir perang, Karna gugur di tangan Arjuna dan terungkap kemudian bahwa Karna merupakan saudara seibu (Kunti) dari Yudhistira, Bima, dan Arjuna.
Baca juga: Wayang Perang Idola di Gelanggang
Tokoh wayang yang paling disukai Bung Karno ialah Bima. Bima merupakan anak kedua Pandu; adik dari Yudhistira, serta kakak dari Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Kelima anak Pandu ini disebut Pandawa, yang menjadi protagonis dalam cerita. Dari kelima Pandawa, Bima digambarkan sebagai sosok yang paling kuat dan berani. Bimalah yang berhasil mengalahkan Duryodana, sepupunya sekaligus pemimpin dari klan Kurawa, dalam perang akhir Mahabharata.
Di masa pergerakan, Bung Karno menggunakan nama samaran “Bima” dalam tulisan-tulisannya di Majalah Oetoesan Hindia. Kala warta tersebut, yang dibesut oleh pemimpin Sarekat Islam Tjokroaminoto, kerap menyuarakan pesan anti-kolonialisme terhadap pemerintah kolonial Belanda. Menurut Bung Karno, lebih dari 500 artikelnya terbit di Oetoesan Hindia. Saat itu, usia Bung Karno bahkan belum genap 20 tahun.
“Aku kembali kepada Mahabharata untuk memperoleh nama samaranku. Aku memilih nama Bima yang berarti prajurit besar dan juga berarti keberanian dan kepahlawanan,” tutur Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Perjuangan di Balik Nama Pena
Setelah menjadi presiden, Bung Karno terus memelihara kecintaannya terhadap wayang. Atas keinginannya, Istana Negara menjadi teater untuk menonton pertunjukan wayang kulit. Kepada pengawal pribadinya, Bung Karno selalu berpesan agar tamu-tamu yang suka nonton wayang semalam suntuk diberi tempat duduk dekat dirinya. Para anggota polisi pengawal pribadi sudah hafal atau kenal betul dengan orang-orang yang suka menonton pertunjukan wayang kulit sampai pagi. Para undangan yang menonton wayang kulit pada sorenya diberi hidangan kue dan minuman teh. Kalau sudah tengah malam, diberi makan nasi rawon kesenangan Bung Karno. Baru nanti pada pagi esoknya diberi minum kopi.
“Mereka ini antara antara lain Jenderal S. Parman,” sebut Mangil dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945—1967. Parman pada paruh pertama 1960 bertugas di Markas Besar Angkatan Darat sebagai Asisten I/Intelijen Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad).
Seperti Bung Karno, Parman juga gandrung sama wayang. Bila Bung Karno mengidolakan sosok Bima, Parman menganggumi Ontoseno, putra Bima ciptaan pujangga Jawa yang disisipkan ke dalam kisah Mahabharata. Dalam dunia pewayangan, Ontoseno adalah tokoh ksatria yang selalu memperjuangkan kebenaran.
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Parman begitu menyenangi wayang sampai mengoleksi wayang berbagai jenis bahan mulai dari karton hingga kayu. Uang sakunya acapkali kandas demi memuaskan hobinya ini. Tidak hanya menonton, Parman juga piawai memainkan peran sebagai dalang.
“Ia juga sering berperan dalam wayang orang. Biasanya ia memerankan kesatria atau Gareng. Hal ini sudah dilakukannya sejak duduk di bangku HIS (setara SD) Wonosobo,” ulas Sutrisno dalam biografi Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman.
Lantaran sama-sama menggemari wayang, Bung Karno senang pada Parman. Parman betah menemani Bung Karno berjam-jam menonton wayang di Istana. Mereka saling bercengkrama membincangkan jalannya cerita wayang yang dimainkan dalang. Seperti pengakuan Mangil, seturut Soebagiono, adik Parman dalam Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam: Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi, Kelurga Korban, dan Saksi pada Peristiwa Dini Hari 1 Oktober 1965, Parman memang sering diminta pendapatnya oleh Bung Karno tentang lakon apakah yang cocok bagi suatu pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di Istana.
Baca juga: Sebelum Jenderal S. Parman Pergi
Ketika Parman dijemput pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh sekelompok pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa, Soebagiono mengaku tak begitu risau. Pikirnya, Parman dipanggil ke Istana untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Siapa nyana, itulah saat-saat terakhir hayat Parman yang menjadi korban dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar