Masuk Daftar
My Getplus

Tangan Zionis Berlumuran Darah Jurnalis

Lebih dari 80 nyawa jurnalis menguap di tangan aparat Israel. Tak sekalipun pelakunya diseret ke muka hukum.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Mei 2022
Sosok jurnalis Palestina-Amerika, Shireen Abu Akleh yang tewas dan mengundang kecaman dunia internasional (wafa.ps)

KORBAN nyawa akibat laku zionis Israel di Palestina seperti tak pernah ada habisnya. Orang sipil, dari perempuan dan anak-anak hingga kalangan jurnalis, terus berjatuhan. Shireen Abu Akleh menambah daftar hitam kematian jurnalis.

Dunia internasional gempar lantaran jurnalis Al Jazeera itu punya dwi-kenegaraan, Palestina dan Amerika Serikat (AS). Tak ayal tragedi itu memancing kecaman banyak pihak. PBB, negara-negara Arab, Inggris, Prancis, bahkan  AS mendorong adanya upaya investigasi independen dari pihak di luar Israel dan Palestina.

“Kami menyatakan kepedihan dan sangat mengecam pembunuhan terhadap jurnalis Amerika Shireen Abu Akleh di Tepi Barat. Investigasinya harus dilakukan sesegera mungkin dan menyeluruh dan para pelakunya harus bertanggungjawab. Kematiannnya adalah penghinaan terhadap kebebasan media di manapun,” ucap juru bicara kementerian luar negeri Amerika Ned Price, dikutip Al Jazeera, 11 Mei 2022.

Advertising
Advertising

Baca juga: Aksi-Aksi Zionis Israel Menodai Masjid Al-Aqsa

Baik Israel maupun otoritas Palestina punya versi berbeda atas kematian Shireen pekan lalu, 11 Mei 2022 di Jenin, Tepi Barat, Palestina. Kronologinya bermula dari Shireen yang ditemani sejawatnya, Ali al-Samoudi dan Shatha Hanaysha, bertugas meliput Kamp Pengungsi Jenin. Akan tetapi tetiba datang serangan dari IDF (Tentara Pertahanan Israel) yang kemudian memojokkan posisi Shireen dan Ali, kendati keduanya mengenakan identitas rompi anti-peluru bertuliskan “PRESS”.

Ali terluka di bagian punggung walau nyawanya selamat. Sementara, Shireen tak seberuntung Ali. Kepala Shireen tertembus timah panas. Kendati sudah dilarikan ke Rumahsakit Ibn Sina, wartawati berusia 51 tahun itu dinyatakan tewas. Hasil otopsinya oleh para pakar patologi Universitas Nasional Al-Najah menyatakan Shireen tertembak peluru kaliber 5.56x45 mm yang lazim terdapat di senapan serbu M16 atau M14. Kedua senjata itu juga digunakan baik oleh IDF maupun kombatan Palestina.

Pihak zionis membantah personil mereka sengaja menargetkan para jurnalis itu., Lewat akun Twitter-nya, @naftalibennett, Perdana Menteri (PM) Israel Naftali Bennett menuding kelompok bersenjata Palestinalah yang membunuh Shireen. Cuitannya juga disertai unggahan video yang menggambarkan baku tembak para militan Palestina.

Grafiti dan mural untuk mengenang Shireen Abu Akleh (wafa.ps)

Sontak pernyataan itu dibantah pihak Palestina. Terlebih sudah lebih dulu ada pernyataan saksi mata para sejawat mendiang Shireen di TKP bahwa yang menembak adalah militer Israel.

“Kami ada empat jurnalis dan semuanya memakai rompi dan helm. Tentara pendudukan (Israel) tidak berhenti menembak setelah ia (Shireen) tumbang. Saya bahkan tak bisa menarik tubuhnya karena terus-menerus ditembaki,” aku Shatha, dinukil Al Jazeera, 11 Mei 2022.

Baca juga: Duka Desa Tantura di Palestina

Ali juga mengungkapkan hal serupa. Ia membantah balik pembelaan pihak Israel dan menyatakan tidak ada konfrontasi antara kelompok bersenjata Palestina dengan IDF di kamp pengungsi tersebut.

“Mulanya kami ingin memfilmkan operasi tentara Israel dan tiba-tiba mereka menembaki kami tanpa meminta kami pergi atau berhenti merekam. Peluru pertama mengenai (punggung) saya dan peluru kedua mengenai Shireen…tidak ada baku tembak dengan kelompok Palestina di TKP,” timpal Ali.

Perbedaan koordinat TKP baku tembak kelompok Palestina-Israel (bawah) dan TKP pembunuhan Shireen Abu Akleh (atas) (btselem.org)

Kesaksian Ali diperkuat dokumentasi hasil riset B’Tselem, lembaga HAM Israel di wilayah pendudukan. Di laman resminya, 11 Mei 2022, B’Tselem membongkar kebohongan perdana menteri Israel, di mana video baku tembak dengan kelompok Palestina yang ditunjukkannya ternyata berlokasi berbeda dari TKP pembunuhan Shireen.

“Dari koordinat GPS dua lokasi itu, juga dari foto udara yang ada, keduanya menunjukkan bahwa penembakan seperti yang digambarkan dalam video (otoritas Israel, red.) tidak mungkin menjadi (video) baku tembak yang mengenai Shireen Abu Akleh dan koleganya,” bunyi pernyataan B’Tselem.

Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika

Bukannya mengklarifikasi, dua hari berselang aparat Israel justru merecoki prosesi pengusungan jenazah mendiang Shireen. Mereka memukuli para pengusung jenazah Shireen saat jenazahnya hendak dibawa ke Katedral Anunsiasi Perawan Maria/Katedral Yunani-Melkit di kota tua Yerusalem.

“Kami, Patriark Yunani Yerusalem, Patriark Latin Yerusalem beserta para uskup, mengecam tindakan kekerasan Kepolisian Israel terhadap prosesi pemakaman mendiang jurnalis Shireen Abu Akleh yang hendak dibawa dari Rumahsakit St. Joseph ke Katedral Yunani-Melkit,” kata para pemuka gereja Yunani dalam pernyataan bersama yang dimuat di laman Latin Patriarchate of Jerusalem, 16 Mei 2022.

Kolase para pengusung jenazah Shireen Abu Akleh yang diserang polisi Israel (wafa.ps)

Jurnalis Pertama yang Dibom Mossad

Mendiang Shireen sudah 25 tahun terakhir meliput aksi-aksi kekerasan dan konflik Israel-Palestina. Mengutip Kantor Berita dan Informasi Palestina WAFA, perempuan kelahiran Yerusalem, 3 Januari 1971 itu jadi korban ke-86 dalam daftar kematian jurnalis di tangan zionis Israel sejak 1972.

Dari 86 korban, 50 di antaranya terjadi di lepas tahun 2000. Jauh sebelum Shireen, ada nama Ghassan Kanafani yang disebut sebagai jurnalis Palestina pertama yang jadi target pembunuhan Israel, yakni pada 8 Juli 1972. Sejak Kanafani hingga Shireen, belum sekalipun ada pelaku pembunuhan yang diseret ke meja hijau.

Lahir di Akka, 8 April 1936, Kanafani sudah mendalami politik sejak mengenal mentornya, George Habash, pada 1953. Kala itu Kanafani masih kuliah di Jurusan Sastra Arab Universitas Damaskus, Suriah. Sebagaimana mentornya, Kanafani hanyut dalam arus politik kiri di bawah naungan organisasi Harakat al-Qawmiyyin (Gerakan Nasionalis Arab/MAN) dan kemudian Al-Jabhah al-Sha’biyyah li-Taḥrīr Filasṭīn atau Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP).

Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina

Dari meja redaksi, Kanafani aktif menghujamkan “peluru” lewat artikel-artikelnya di suratkabar Al-Hurriya yang jadi corong politik MAN. Ia lantas jadi editor yang mengasuh rubrik “Filastin” di suratkabar Mesir Al Muharrir dan Al Anwar. Setelah kian aktif di PFLP sebagai juru bicara, Kanafani yang sering menggunakan nama pena Fares Fares atau A.F (Abu Fayez) balik kandang untuk mengasuh mingguan Al Hadaf yang juga jadi corong PFLP dan majalah Lotus yang didanai otoritas Mesir dan Uni Soviet.

“Pada 1963 ia juga menerbitkan novel laris pertamanya, Men in the Sun, yang hingga kini diterjemahkan ke sejumlah bahasa dan bahkan diadaptasi ke layar kaca. Karya-karyanya kemudian diakui sebagai karya inovatif yang menyertakan kesadaran sosial terkait kondisi Palestina. Ia memenangkan Lebanese Literature Prize (untuk novel All That’s Left to You) pada 1966 dan kemudian Afro-Asian Writers’ Conference Lotus Prize pada 1975 setelah kematiannya,” tulis sejarawan Universitas Columbia Philip Mattar dalam Encyclopedia of the Palestinians.

Ghassan Kanafani, jurnalis dan sastrawan Palestina yang berkecimpung dalam politik kiri (arablit.org)

Terkait kematiannya, Kanafani sudah jadi target intelijen Israel, Mossad, sejak keterkaitannya dengan Pembantaian Bandara Lod (kini Bandara Internasional Ben Gurion) di Tel Aviv, Israel, 30 Mei 1972. Pengeboman oleh tiga aktivis komunis Jepang itu memakan 25 korban jiwa dan melukai 79 lainnya.

“Ghassan Kanafani, penulis dan jurnalis Palestina yang menjabat juru bicara PFLP, mengklaim bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas serangan tersebut atas nama organisasi. Foto-foto dirinya dan tiga teroris Jepang kemudian dikirim ke sejumlah suratkabar di Beirut. Publik Israel murka atas penerbitan foto-fotonya,” ungkap sejarawan Universitas Texas Profesor Ami Pedahzur dalam The Israeli Secret Services and the Struggle Against Terrorism.

Israel pun bikin perhitungan. Lewat rencana yang matang, sejumlah agen Mossad mulai memuat daftar target pembunuhan terhadap aktivis-aktivis PFLP hingga setahun berikutnya.

Baca juga: Serangan Aktivis Kiri di Bandara Lod Israel

Setelah memata-matai rutinitas Kanafani, Mossad melakoni aksinya pada 8 Juli 1972. Bom plastik ditanam Mossad di bawah bumper depan mobil Austin 1100 milik Kanafani yang terparkir di depan rumahnya di sekitar Beirut.

“Ketika ia (Kanafani) menyalakan mesinnya, sebuah granat yang terhubung ke saklar pemicu meledak. Granat itu menjadi detonator untuk bom yang mengandung tiga kilogram bahan peledak plastik. Mobilnya meledak dan hangus terbakar. Menewaskan kedua penumpang di dalamya. Itu menjadi aksi pertama (Mossad) dalam serangkaian pembunuhan pada 1972 dan 1973,” kata Pedahzur.

Terlepas dari aktivitasnya dalam gerakan perlawanan bawah tanah sayap kiri di PFLP, kematian Kanafani meninggalkan duka mendalam bagi kalangan pers dan sastrawan, utamanya di Palestina, Lebanon, dan Suriah.

“Ia penulis, aktivis intelektual, jurnalis, novelis, satiris, serta analis politik dan sejarah Palestina paling kondang. Misi utamanya adalah mengonstruksi sebuah bahasa yang bisa menangkap inti dari eksistensi bangsa Palestina sebagai sebuah simbol manusia yang utuh. Suratkabar Beirut, The Daily Star, dalam obituarinya menuliskan: ‘Ia seorang prajurit komando yang tak pernah menembakkan senjata. Senjatanya hanyalah pena dan arenanya adalah halaman-halaman suratkabar. Dan dia bisa lebih menyakiti musuh ketimbang satu barisan pasukan elit komando,’” kata Naomi Wallace dan Ismail Khalidi dalam Returning to Haifa.

Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis

Massa simpatisan yang menghadiri pemakaman Ghassan Kanafani (Twitter @FatennMostafa)

 

TAG

jurnalis perempuan jurnalis israel palestina

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Selintas Hubungan Iran dan Israel Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Seputar Deklarasi Balfour Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Piala Asia Tanpa Israel Mandela dan Palestina