Sejumlah orang datang ke Pelabuhan Tanjung Priok pada Desember 1933. Mereka hendak menyambut seorang perempuan yang belum lama lulus dari studinya di Belanda. Perempuan itu adalah Maria Ullfah (1911–1988).
Maria melanjutkan studi ke Belanda bersamaan dengan ayahnya, Bupati Kuningan, R. Mohammad Achmad, yang mendapat tugas mempelajari koperasi. Maria lulus dari jurusan Ilmu Hukum Universitas Leiden pada 1933. Ia menjadi Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) perempuan Indonesia pertama dari Universitas Leiden.
Wartawan perempuan Gadis Rasid dalam Maria Ullfah Subadio, Pembela Kaumnya menulis, banyak sekali keluarga, kawan serta beberapa peminat pergerakan kebangsaan dan pergerakan perempuan yang datang untuk menyambut Maria di Pelabuhan Tanjung Priok. “Mereka terdorong oleh ingin tahu dan berkenalan dengan wanita Indonesia pertama yang mendapat gelar Sarjana Hukum,” tulis Gadis.
Maria sempat bekerja sebagai tenaga honorer selama beberapa bulan di kantor Kabupaten Cirebon. Ia diberi tugas menyusun naskah wegverkeersordonantie atau peraturan lalu lintas. Ia kemudian memutuskan pindah ke Jakarta. Di sana, ia diajak Soegiarti, kawannya yang juga menempuh pendidikan di Belanda, menjadi pengajar di sekolah menengah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah.
Baca juga: Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan
Di lembaga pendidikan tersebut, Maria mengajar bahasa Jerman, sejarah, dan tata negara. Meski cukup berbeda dari ilmu yang dipelajarinya, Gadis menyebut Maria menerima pekerjaan menjadi guru sebagai tindakan simbolis bahwa ia tak mau mengikat diri pada pihak penguasa, yakni pemerintah kolonial Belanda, dan memilih bergabung dengan kelompok pergerakan kemerdekaan.
Selain mengajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah, Maria juga menjadi guru di sekolah menengah Perguruan Rakyat. Di sana, ia mengenal tokoh-tokoh pergerakan seperti Wilopo, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Sumanang, dan Sahardjo.
Kesadaran akan kebangsaan dan tugasnya sebagai pengajar anak-anak bumiputra mendorong Maria untuk mendalami bahasa Indonesia. Ia bersama Soegiarti belajar pada sastrawan Amir Hamzah.
Sastrawan N.H. Dini dalam Amir Hamzah Pangeran dari Seberang menyebut setelah beberapa kali belajar kepada Amir Hamzah, Maria berpendapat bahasa Indonesianya tak maju-maju. Menurut Maria, Amir mengajarkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang terlalu muluk serta indah. Bahkan, tak jarang Amir mengajak Maria dan Soegiarti mengupas serta membicarakan kesusastraan. Padahal, Maria membutuhkan pelajaran bahasa Indonesia praktis yang digunakan sehari-hari untuk keperluan mengajar anak-anak muridnya.
Amir Hamzah kerap meminta Maria dan Soegiarti membaca prosa atau puisi di majalah Poejangga Baroe lalu menerjemahkannya. Kegiatan itu membuat Maria dan Soegiarti jenuh. “Akhirnya mereka berterus terang kepada Amir, dan mencari guru baru,” tulis N.H. Dini. Maria dan Soegiarti kemudian berguru kepada Sutopo, seorang guru biasa dari sekolah Muhammadiyah.
Maria menjadi guru di Perguruan Rakyat dan lembaga pendidikan Muhammadiyah dari tahun 1934 hingga 1942. Menurut Gadis, gaji yang diterima para pengajar, termasuk Maria, terbilang minim bahkan sering kali tidak dibayar penuh karena organisasi tersebut kerap kekurangan dana. Namun, hal itu tak menghalangi Maria untuk ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, khususnya melalui pendidikan.
Baca juga: Buah Kengototan Maria Ullfah dalam Rapat BPUPKI
Oleh karena itu pula Maria sukarela menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf di daerah perkampungan di Jakarta. Ia berangkat mengajar di sore hari selama tiga kali seminggu. Mulanya Maria dicurigai masyarakat, namun ia tak menyerah.
Maria memutar otak untuk meningkatkan minat masyarakat khususnya perempuan agar tertarik mengikuti kursus. Caranya Maria memadukan pelajaran membaca dan menulis dengan pelajaran yang lebih praktis seperti menjahit dan menggunting pola baju. “Seorang kawannya memberi pelajaran jahit-menjahit, dan Maria yang memberikan pelajaran membaca,” tulis Gadis.
Kebanyakan perempuan hanya ingin belajar menjahit. Namun, Maria menjadikan pelajaran membaca dan menulis sebagai syarat wajib mengikuti kursus menjahit. Mereka pun akhirnya mengikuti kursus secara menyeluruh.
Setelah Indonesia merdeka, Maria diangkat menjadi Menteri Sosial dalam kabinet Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia pun dikenal sebagai aktivis gerakan perempuan pertama yang menjadi menteri. Sepak terjangnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberantas buta huruf tak akan lekang oleh zaman.*