PRESIDEN Sukarno bertekad menjadikan Indonesia berjaya sebagai negara maritim. Hal itu disampaikannya dalam beberapa kesempatan. Salah satunya dalam amanatnya dengan judul “Kembalilah Menjadi Bangsa Samudera” pada resepsi pembukaan Munas Maritim ke-I di Jakarta pada 23 September 1963.
“Kita sekarang satu persatu, seorang demi seorang harus jakin bahwa Indonesia tidak bisa mendjadi negara jang kuat, sentausa, sedjahtera, djikalau kita tidak menguasai pula samudera, djikalau kita tidak kembali mendjadi satu bangsa samudera, djikalau kita tidak kembali mendjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagai kita kenal dizaman bahari itu,” ujar Presiden Sukarno.
Setahun kemudian Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 249 tahun 1964 yang menetapkan tanggal 23 September sebagai Hari Maritim Nasional.
“Hari Maritim itu unik. Kita tidak pernah mendengar perayaannya yang pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Kenapa? Karena mencari arsip salinan Keputusan Presiden ini luar biasa (sulit). Kami mendapatkannya dari Sekretaris Negara dan setelah kami mendapatkan kopi maka barulah kita mengadakan secara seremonial, secara resmi,” ujar Andreas D. Patria, Kepala Biro Komunikasi pada Sekretariat Kementerian Koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI.
Pernyataan Andreas D. Patria disampaikan dalam acara “Ekspose Guide Arsip Statis Presiden Sukarno dan Perkembangan Kemaritiman 1946–1967” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Hotel Aston Priority Simatupang & Conference Center, 28 November 2023.
Baca juga: Arsip Pidato Sukarno dan Hikayat Aceh Ditetapkan sebagai Memori Dunia
Dalam acara tersebut, Andreas memaparkan usaha perkembangan kemaritiman dari segi sosial budaya dan ekonomi. Menurutnya, ketika Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, wilayah Indonesia hanya sebatas wilayah Hindia Belanda ditambah dengan Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya berdasarkan sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Juli 1945.
Sementara landasan hukum kelautan saat itu masih mengacu Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO). Dalam ordonansi tersebut ditetapkan bahwa wilayah laut Hindia Belanda yang menghubungkan pulau-pulau hanya selebar tiga mil dari garis pantai. Ini berarti Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura memiliki status perairan internasional. Hal inilah yang membuat Djuanda memikirkan dan menyusun suatu konsep yang kemudian dideklarasikan pada 13 Desember 1957 dan dikenal dengan Deklarasi Djuanda.
Baca juga: "Kepoin" Muspusal, Paham Sejarah Maritim dengan Teknologi Mutakhir
Deklarasi Djuanda menganut prinsip negara kepulauan sehingga perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia adalah bagian wilayah Republik Indonesia.
Butuh perjuangan panjang agar Deklarasi Djuanda diakui oleh dunia. Penentangan dari beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Prancis, Australia, dan Selandia Baru menjadi rintangan yang harus dihadapi. Namun, ada juga yang pro seperti Filipina, Ekuador, dan Yugoslavia.
Setelah 25 tahun berjuang di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi Djuanda akhirnya diakui dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Setelah itu luas wilayah Indonesia bertambah dengan diakuinya Zona Ekonomi Eksklusif, yang artinya luas perairan Indonesia terus bertambah.
“Nah inilah yang saat ini kita mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Memiliki lebih kurang 2/3 perairan dan 1/3 daratan,” ujar Andreas. “Ini adalah inisiasi awal bagaimana Bung Karno pada masa itu memastikan bahwa kedaulatan Indonesia bukan saja kedaulatan wilayah daratan tetapi juga bagaimana membangun kedaulatan di wilayah laut.”
Belajar dari Sejarah
Kolonel Laut (KH) Heri Sutrisno memaparkan perkembangan kemaritiman pada era Presiden Sukarno dari aspek politik, pertahanan, dan keamanan. Dia membaginya dalam tiga periode.
“Kita berangkat dari nol untuk mengembangkan kemaritiman,” ujarnya.
Pada periode pertama, 1945–1949, pemerintahan Sukarno harus menghadapi kendala internal dan eksternal. Secara internal, pemerintah belum sepenuhnya mengidentifikasi masalah-masalah kemaritiman karena minimnya referensi tentang pembangunan maritim, terbatasnya elemen-elemen kekuatan laut, dan instabilitas keamanan. Sedangkan secara eksternal, terdapat Rezim Hukum Laut (TZMKO 1939) yang melemahkan kedaulatan maritim Indonesia, penguasaan laut wilayah barat oleh Angkatan Laut Inggris serta wilayah timur oleh Angkatan Laut Australia dan Belanda; serta dominasi perusahaan pelayaran asing di perairan Indonesia.
Kendati demikian, usaha memperjuangkan kedaulatan wilayah maritim tetap dilakukan di masa itu. Antara lain melalui ekspedisi lintas laut, pengembangan kekuatan Angkatan Laut, pembentukan Djawatan Oeroesan Laoet Seloeroeh Indonesia (DJOLSI) dalam lingkungan Kementerian Pertahanan, dan operasi penerobosan blokade laut.
Baca juga:
Kesalahan Memahami Sejarah Maritim
Selain itu, pemerintah menghidupkan kembali sarana dan prasarana maritim seperti galangan kapal tradisional, pelabuhan-pelabuhan (Cirebon, Tegal, Cilacap, Probolinggo, dan Banyuwangi), infrastruktur maritim di Jawa dan Sumatra untuk kepentingan pertahanan, serta pengadaan kapal-kapal bekas. Terakhir, pemerintah memperkuat diplomasi untuk pengakuan kedaulatan di laut seperti diplomasi beras untuk India dan diplomasi Angkatan Laut pada Perjanjian Linggarjati.
Periode kedua, 1950–1959, adalah masa konsolidasi untuk membangun pondasi negara maritim. Upaya yang dilakukan antara lain pengembangan pendidikan, armada niaga, serta ALRI yang profesional dan modern. Tentu tak boleh dilupakan pula upaya mewujudkan keutuhan wilayah Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, pembentukan Kementerian Perhubungan Laut, serta memperjuangkan Wawasan Nusantara lewat Konvensi Hukum Laut Internasional.
Periode ketiga, 1960–1967, upaya pemerintahan Sukarno dilakukan dengan memperkuat pertahanan berbasis maritim, pengembangan armada niaga dan industri maritim, serta merealisasikan politik dan kebijakan maritim nasional antara lain dengan membentuk empat kementerian yang mengurus bidang maritim dalam Kabinet Dwikora.
“Jadi inilah (pembelajaran sejarah) yang bisa menjadi panduan di mana saat ini kita membangun Indonesia sebagai negara maritim,” ujar Heri.
Poros Maritim Dunia
Ada banyak informasi menarik dan penting mengenai kiprah Presiden Sukarno dalam mengembangkan kemaritiman di Indonesia, yang tersebar di beberapa khazanah arsip yang tersimpan di ANRI. Rekam jejak tersebut merupakan sumber informasi penting bagi generasi penerus bangsa. Karena itulah Tim Akuisisi dan Pengolahan Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan menelusuri, mengidentifikasi, memverifikasi, dan menyusun guide arsip statis Presiden Sukarno dalam kaitan perkembangan kemaritiman pada 1946-1967.
Kenapa membatasi temporal pada 1946–1967?
Dalam paparannya, Widhi Setyo Putro, ketua Tim Akuisisi dan Pengolahan Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan, mengambil pijakan arsip tertua dan termuda. Arsip tertua adalah Penetapan No. 4A/S.D tgl. 6 Februari 1946 tentang pengangkatan pejabat di lingkungan Angkatan Laut Indonesia. Sedangkan arsip termuda adalah Surat Keputusan Panglima Angkatan Laut No. 5401.41Tahun 1967 tanggal 20 November 1967 tentang Pengesahan Ikatan Demobilisasi Angkatan Laut Republik Indonesia (IDEAL).
Baca juga:
Melalui arsip tertua yang didapatkan, menjadi sumber adanya kesadaran Presiden Sukarno dalam membangun kejayaan maritim yang pernah ada di Indonesia. Kesadaran inilah yang menghasilkan usaha dalam mengembangkan sektor kemaritiman di era Presiden Sukarno.
Hasil identifikasi arsip tentang kemaritiman di era Presiden Sukarno terdapat 458 nomor arsip tekstual, 579 arsip foto, dan 47 arsip film. Setelah diseleksi, arsip-arsip tersebut dikelompokkan ke dalam empat tema besar: bidang pemerintahan dan politik (sebanyak 39), keamanan dan pertahanan (112), ekonomi pembangunan (121), serta sosial budaya (59).
Arsiparis Muda Direktorat Akuisisi ANRI Stella Sigrid Juliet mengatakan bahwa arsip tersebut akan menjadi pemantik bagi para peneliti untuk menghasilkan penelitian-penelitian baru terkait kemaritiman Indonesia. Selain itu diharapkan kementerian lembaga, organisasi kemasyarakatan, dan juga perusahaan-perusahaan yang memiliki arsip kemaritiman dapat menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada lembaga kearsipan demi menyelamatkan memori bangsa dalam bidang kemaritiman.*