Masuk Daftar
My Getplus

Jenderal Nasution: PKI Bukan Musuh Kita Lagi

Jenderal anti-PKI itu berhasil berdamai dengan masa lalu yang pahit. Alih-alih memusuhi eks anggota PKI, Nasution bertarung melawan rezim otoriter Orde Baru.

Oleh: Martin Sitompul | 10 Okt 2021
Jenderal Abdul Haris Nasution saat akan memberangkatkan jenazah pahlawan revolusi, 5 Oktober 1965. (Foto: Nationaaal Archief)

Titimangsa 5 Oktober 1965 menjadi hari ulang tahun TNI paling kelabu sepanjang sejarah. Hari itu, TNI Angkatan Darat harus kehilangan enam perwira tinggi dan satu perwira menengah yang terbunuh dalam peristiwa G30S. Jenazah mereka ditemukan sehari sebelumnya dalam sumur tua yang berada di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dengan penuh haru, Jenderal Abdul Haris Nasution melepas jenazah koleganya menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata.

“Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kita semua difitnah dan Saudara-saudara telah dibunuh. Kita diperlakukan demikian. Tapi, jangan kita dendam hati. Iman kepada Allah akan tetap meneguhkan kita,” kata Nasution, saat itu menjabat Menteri Pertahanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dalam upacara pemakaman di Mabes Angkatan Darat.

Mereka yang dirujuk Nasution adalah mendiang Letjen Ahmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen M.T. Harjono, Mayjen S. Parman, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomihardjo, dan ajudannya Letnan Pierre Tendean. Selain rekan-rekan tersebut, Nasution juga kehilangan anak bungsunya, Ade Irma Nasution, yang tertembak pada malam penculikan Gerakan 30 September. Butuh waktu lama bagi Nasution untuk memulihkan diri dari trauma setelah peristiwa kelam itu.   

Advertising
Advertising

Baca juga: Pagi Mencekam di Kediaman D.I. Pandjaitan

Dalam kurun waktu itu, dinamika politik berganti. Presiden Sukarno terjungkal sedangkan Jenderal Soeharto naik ke tampuk kekuasaan. Orang-orang PKI ditumpas habis lewat pembunuhan massal dan pemenjaraan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik. Demikianlah lahir rezim Orde Baru.

Memasuki tahun 1980, sorotan dunia internasional memaksa pemerintahan Orde Baru melunak dalam memperlakukan tahanan politik. Secara begelombang, mereka yang dipenjara di Pulau Buru mulai dibebaskan. Salah seorang di antaranya ialah sastrawan kiri terkemuka Pramoedya Ananta Toer. Hingga pada 1995, tahanan politik kelas A –yang menurut pengadilan Mahmilub terlibat dalam G30S- seperti Soebandrio dan Omar Dani turut dibebaskan dari penjara.   

“Saya tidak menaruh dendam kepada mereka,” kata Nasution kepada Majalah Warnasari, No. 200, September 1995. “Bagi kami sekeluarga,” lanjut Nasution, “peristiwa pembunuhan yang didalangi PKI adalah ujian.”

Baca juga: Ketika Jenderal Nasution Marah

Nasution menuturkan, suatu hari para eks tahanan politik Pulau Buru bertamu ke rumahnya. Mereka datang untuk memohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa silam. Bagi Nasution, tidak ada alasan untuk tidak memberikan maaf kepada mereka. Apalagi sebagai sesama penganut Muslim yang diajarkan untuk tidak saling mendendam.

Saat itu menjelang bulan Oktober, isu tentang bahaya laten PKI kerap didesas-desuskan. Apalagi berkaitan dengan pembebasan atau grasi yang diberikan kepada tahanan politik dari Pulau Buru. Mereka dikhawatirkan akan mampu menggerakan kader-kader PKI bahwah tanah serta mengihudupkan kembali partai terlarang. Kecurigaan itu menguat pada sosok Pramoedya Ananta Toer, yang dulu vokal dalam Lekra –organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.

Menurut Nasution, bukan waktunya lagi menganggap orang-orang eks PKI atau yang terlibat dalam G30S berbahaya. Orang seperti Pram, dalam pandangan Nasution, salah kaprah apabila dijadikan ancaman ideologi. “Saya tidak melihat kekuatan itu ada pada Pramoedya. Pram itu hanya tokoh sastra, bukan untuk berevolusi. Kewaspadaan itu harus, tapi jangan berlebihan,” kata Nasution dalam Warnasari.

Baca juga: Pram dan Soemitro

Perubahan sikap itu juga diperlihatkan Nasution terhadap Bung Karno. Semula, Nasution punya prasangka bahwa Sukarno berada di belakang operasi G30S yang berusaha menculiknya. Dugaan itu berangkat dari fakta bahwa yang menjemput paksa Nasution  di rumahnya adalah Tjarabirawa, pasukan pengawal kehormatan presiden. Insiden penculikan itu menyebabkan Ade Irma Nasution tertembak secara tidak sengaja.

Namun, dugaan keterlibatan Sukano dalam G30S menguap begitu Nasution membaca laporan Tim Pemerika Pusat (Teperpu). Dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 9: Bagi Pejuang Tiada Tugas Akhir dan Akhir Tugas, Nasution mengatakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung atau dalang ataupun tokoh G30S/PKI, kecuali apabila memang masih ada fakta-fakta yang belum terkuak. Nasution merajut kesimpulan tersebut setelah dirinya dipertemukan dengan orang-orang yang terlibat dan memperoleh keterangan dari mereka.

“Saya berangsur-angsur melanjuti interogasi pelaku dan saksi-saksi yang juga dari lingkungan Presiden, maka akhirnya saya tak yakin bahwa beliau terlibat dalam komplot pembunuhan terhadap kami,” kata Nasution dalam memoarnya.

Baca juga: Ketika Jenderal Nasution “Dikerjain” Presiden Sukarno

Di masa tuanya, Nasution sang jenderal anti-PKI itu berhasil berdamai dengan masa lalu. Dia justru lebih kritis terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memerintah secara otoriter. Ketika ditanya apa yang menjadi musuh utama bangsa, Nasution tegas menjawab, “Ketidakadilan sosial.” Persoalan itulah yang menjadi pertarungan politik terakhir Nasution sehingga dirinya terlibat dalam gerakan Petisi 50 hingga mengakibatkannya dicekal pemerintah.

“Musuh kita bukan PKI saja, tapi ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial ini bisa bermacam-macam. Misalnya ucapan yang tak serasi dengan perbuatan (munafik), gemar membuat ‘killing ground’ (menjebak orang lain tanpa salah), gemar menyebar fitnah terhadap orang yang tak bersalah,” jelas Nasution kepada Warnasari.

Menurut Nasutiton, ketahanan nasional terganggu bukan karena pembebasan tokoh-tokoh PKI. Ketahanan nasional terganggu asalnya dari pemegang amanah kekuasaan. Sampai di mana hukum itu tertegak tanpa pandang bulu; sampai di mana pintu aspirasi itu terbuka; seberapa jauh kerenggangan kaya-miskin dipersempit; sejauh mana tidak terdapatnya kolusi antar pejabat-penguasa.

Baca juga: Persekutuan Jenderal dan Pengusaha

“Kesemuanya itu adalah ‘pintu’ masuknya kerawanan ketahanan nasional,” pungkas Nasution.

TAG

ah nasution g30s

ARTIKEL TERKAIT

Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S Sebelum Satar Dieksekusi