Pagi Mencekam di Kediaman D.I. Pandjaitan
Jam-jam genting setelah peristiwa Gestok di rumah salah satu perwira tinggi yang diculik. Pasukan G30S sempat dikira garong.
Kebayoran, 1 Oktober 1965. Deru suara panser memecah keheningan dini hari itu. Letkol Herman Sarens Sudiro bersama enam anak buahnya memacu kendaraan lapis baja jenis Saracen. Berdasarkan keterangan dari perwira kavaleri bernama Letkol Trihardjo, telah terjadi keributan di Jalan Hasanudin 53. Lokasi itu tidak lain merupakan kediaman Brigjen D.I. Pandjaitan, asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat.
“Trihardjo dari SUAD meminta panser dengan alasan untuk mengusir garong dari rumah D.I. Pandjaitan,” kata Herman dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon Jadi Opsir.
Ada dua panser Saracen yang memang diparkir di rumah Herman. Perintah agar panser itu berada di rumah Herman berasal dari Brigjen Muskita, wakil Asisten II Menpangad. Saat itu, Herman menjabat sebagai kepala Biro Hubungan Antar Angkatan dan Kesiapsiagaan SUAD II. Dia bertanggung jawab atas pengawasan dan patroli Markas Besar AD.
Baca juga:
Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur
Berangkat dari kediamannya di Jalan Daksa, Herman tiba di tujuan menjelang fajar menyingsing. Setibanya di rumah Pandjaitan, panser berhenti. Herman meloncat turun sambil mendekap senjata G-3 Getmi dalam kondisi siap menyalak. Pintu gerbang halaman masih terkunci, tetapi kaca-kaca jendela pecah berantakan. Suasana rumah terlihat ganjil dan mengundang rasa curiga.
Dalam buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam disebutkan, Herman Sarens langsung masuk dan menemui istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan, di lantai atas. Namun, Marieke masih dalam kondisi terpukul dan trauma melihat tentara berseragam. Nyonya Panjaitan itupun mengusir Herman Sarens dari rumahnya.
Menurut anak-anak Pandjaitan, suasana rumah mereka benar-benar sangat mencekam. Genangan darah, bercak-bercak, dan lubang peluru tampak di mana-mana. Perabot-perabot rumah berantakan dan serpihan lampu berserakan. Demikian pula lukisan, berlubang-lubang terkena tembakan.
Baca juga:
D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
Ketika berada di pintu halaman, Herman berpapasan dengan Brigjen Junus Samosir, wakil Asisten I Menpangad. Samosir yang merupakan sahabat Pandjaitan itu tidak menyangka Herman Sarens yang datang. Mereka saling menyapa. Dari keterangan yang diperoleh dari keluarga Pandjaitan, Herman memperoleh informasi bahwa Pandjaitan diculik oleh pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa.
Persisnya, seperti disebut Aco Manafe dalam Teperpu: Mengungkap Pengkhianatan PKI pada Tahun 1965 dan Proses Hukum bagi Para Pelakunya, pasukan yang bertugas menculik Pandjaitan sebanyak satu peleton pimpinan Serda Soekardjo dari Batalion 454 Banteng Raiders Diponegoro. Pasukan ini terdiri dari 1 regu Batalion 454, 1 regu Brigade Infantri Jaya Sakti, dan sekelompok sukarelawan Pemuda Rakyat.
Keadaan kacau yang ditimbulkan pasukan itu memaksa Katherin, putri sulung Pandjaitan, berupaya mencari pertolongan. Mulanya, dia menuju rumah Jenderal Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar 43. Setiba di sana, rumah Pak Nas tampak ramai. Orang-orang sekitar mengatakan Jenderal Nasution diculik. Katherin kemudian bergegas ke rumah bapak tuanya (abang dari D.I.Pandjaitan) Samuel Pandjaitan dan memberitahukan apa yang telah terjadi.
Baca juga:
Ketika hari sudah terang, banyak orang berdatangan ke rumah Pandjaitan. Beberapa di antara yang datang adalah pejabat dan perwira TNI. Anak-anak Pandjaitan masih menangis dan kebingungan.
“Saya sudah siuman dan menangis ketika Katherin datang, tetapi pingsan lagi. Masa, adik Katherin, juga pingsan,” tutur Marieke dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Setelah mengamati keadaan di rumah Pandjaitan, Herman Sarens kembali ke pansernya. Herman sedianya hendak melapor kepada atasannya, Asisten II/Operasi Menpangad Mayjen Djamin Gintings. Namun, Gintings belum pulang dari Medan dalam rangka menyertai kunjungan Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Maka, satu-satunya tujuan Herman untuk melapor ialah wakil Gintings, Brigjen Muskita. Panser Saracen itu pun melaju ke kediaman Muskita di Jalan Mangunsarkoro.
Baca juga:
Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Kelak, kata Herman, “Pada waktu penumpasan Gerakan 30 September 1965, panser yang ada di rumah saya, saya gunakan untuk menggebuk orang-orang PKI.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar