KOTA Semarang diambang perang saat Mr. Wongsonegoro menerima mandat sebagai gubernur Jawa Tengah. Wongsonegoro menggantikan Raden Pandji Soeroso yang ditarik pemerintah pusat ke Yogyakarta pada 13 Oktober 1945. Dalam sekejap, aksi kekerasan antara pasukan Jepang dengan barisan pemuda pejuang Semarang memuncak jadi pertempuran berdarah nan brutal. Pertempuran ini kemudian dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari di Semarang (15—19 Oktober 1945).
“Pada hari pertama pertempuran, Jepang telah menangkap Mr. Wongsonegoro di tempat kediamannya. Bersamanya ditangkap dan ditawan pula beberapa orang pemimpin Semarang lainnya, satu di antaranya Kepala Purusara (Pusat Rumah Sakit Rakyat kini RS dr. Kariadi) dr. Sukaryo,” catat sejarawan Moehkardi dalam Bunga Rampai Sejarah Nasional: Dari Borobudur hingga Revolusi Nasional.
Wongsonegoro dan dr. Sukaryo ditawan di Jatingaleh. Mereka ditahan di kamar gelap dengan kedua tangan mereka diikat bersama saling membelakangi sehingga sulit untuk bergerak. Intimidasi terhadap Wongsonegoro terjadi menyusul pembantaian orang-orang Jepang di Penjara Bulu.
Baca juga: Pertempuran Lima Hari di Semarang
Lokasi Penjara Bulu terletak di sebelah barat Simpang Lima. Di penjara ini terdapat tawanan sekira 240 orang Jepang. Pada Senin pagi, 15 Oktober 1945, pertempuran meletus di Simpang Lima. Para pemuda menyasar Penjara Bulu sebagai pembalasan atas aksi penyerangan Jepang yang telah bergerak pagi buta sebelumnya. Hampir semua tawanan orang Jepang di Penjara Bulu mati terbunuh.
Pembantaian orang Jepang di Penjara Bulu, seturut kesaksian Sersan Tanaka, perwira Kempetai (Polisi Militer), yang dimuat berseri dalam Suara Merdeka, Oktober 1973, terbilang mengerikan. Di kamar-kamar, di gang-gang terdapat orang-orang Jepang yang sudah tak bernyawa. Mayat-mayat bertumpuk-tumpuk berlumuran darah. Jenazah mereka sulit dikenali lagi. Dekat jendela ada mayat yang menggantung. Darah hitam kemerah-merahan yang berhenti mengalir membeku di lantai setebal 10 cm. Masih ada yang hidup, tapi mukanya tidak dapat dikenali lagi, seperti setan menyedihkan. Tanaka tidak menyebut berapa jumlah pasti korban tawanan Jepang. Namun, Wongsonegoro, seperti dikutip Moehkardi, menaksirnya sekira 240 orang.
Dalam penawanannya, Gubernur Wongsonegoro diperlakukan secara kasar. Puncak pengalaman pahit itu terjadi ketika Wongsonegoro dan dr. Sukaryo dibawa ke Penjara Bulu. Mereka dipaksa menyaksikan 100 jenazah orang Jepang yang dibunuh oleh para pemuda secara mengerikan.
“Wongsonegoro sempat dimarah-marahi, dicaci maki, bahkan ditampar mukanya oleh komandan Kempetai yang menawannya. Dengan geram komandan tersebut mengatakan kepada kedua pemimpin tersebut, betapa kejamnya pemuda Indonesia terhadap para tawanan Jepang,” kata Moehkardi.
Baca juga: Baku Hantam Soemitro dengan Kenpeitai Jepang
Seturut penelusuran jurnalis sejarah Hendi Jo, sosok yang menempeleng Wongsonegoro adalah Kapten Wada, komandan Kempetai di Semarang. Kapten Wada memimpin tim operasi penyelamatan tawanan Jepang di Penjara Bulu. Namun, upaya itu sudah terlambat. Dalam kondisi jiwa diliput amarah, Kapten Wada tanpa banyak bicara langsung menampar Wongsonegoro yang sontak terkejut atas perlakuan opsir Jepang itu. Dia juga mencecar Wongsonegoro untuk bertanggung jawab atas kebrutalan pihak Indonesia di Penjara Bulu.
“Bak mitraliur yang sedang menembakkan pelurunya, Kapten Wada nyaris tanpa jeda memaki Wongsonegoro habis-habisan,” sebut Hendi dalam Polisi Istimewa di Tengah Revolusi: Kiprah Kompol II R.M. Bambang Soeprapto Dipoekoesoemo dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Meski di bawah tekanan, Wongsonegoro nekat membantah ocehan Kapten Wada. “Jumlah orang Indonesia yang terbunuh sudah dipastikan jauh lebih banyak. Dan Tuan harus tahu bahwa pembunuhan di penjara itu dilakukan oleh orang Indonesia yang bukan tentara. adalah tidak adil bila tanggung jawab itu dilemparkan kepada saya yang saat ini ada dalam tahanan pasukan Kido,” ujarnya. Wongsonegoro benar. Dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, jumlah korban jiwa di pihak Indonesia diperkirakan 2000 orang sedangkan di pihak Jepang mencapai 500 orang.
Baca juga: Orang Semarang Melawan Jepang
Tidak hanya Wongsonegoro, keluarganya di rumah juga diteror oleh serdadu Jepang. Ibu Wongsonegoro beserta putranya ditangkap dan ditawan. Seorang prajurit Jepang bahkan bertindak kasar dengan menyeret Ibu Wongsonegoro keluar rumah sejauh 400 meter. Setelah diangkut ke markas Jepang di Jatingaleh, Ibu Wongsonegoro kemudian dibawa ke suatu tempat. Di sana Ibu Wongsonegoro dipaksa menyaksikan berpuluh-puluh korban pembunuhan yang mengerikan, seperti jenazah tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki, dan sebagainya.
“Seorang serdadu Jepang kemudian memberikan sepucuk pistol kepada Ibu Wongsonegoro. Dengan kasar mereka menyuruhnya untuk bunuh diri. Ibu Wongsonegoro yang tak sanggup menghadapi siksaan itu akhirnya jatuh pingsan tak sadarkan diri,” ungkap Moehkardi dalam Revolusi Nasional 1945 di Semarang berdasarkan wawancara dengan Wongsonegoro.
Ketegangan di Semarang mulai reda setelah pasukan Inggris-Gurkha mendarat di Semarang. Pada 28 Oktober 1945, rakyat Semarang memperingati hari Sumpah Pemuda dengan mengenang para pemuda pejuang yang gugur dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Gubernur Wongsonegoro memimpin peletakan batu pertama tugu penghormatan di alun-alun kota. Sang gubernur lantas secara khidmat dan hati-hati menyimpan sebuah batu di tengah alun-alun dengan diiringi tembakan salvo dari Pasukan Polisi Istimewa. Pembangunan Tugu Muda itu baru diresmikan delapan tahun kemudian oleh Presiden Sukarno. Pada tahun yang sama, yakni 1953, Wongsonegoro sudah menjabat sebagai wakil perdana menteri.