Masuk Daftar
My Getplus

Empat Siti Soendari dalam Sejarah Kaum Putri*

Dalam sejarah Indonesia ada empat Siti Soendari. Ada yang menjadi anggota Dewan Kota Surabaya pertama, pendiri terbitan perempuan, dan pembicara kongres perempuan.

Oleh: Nur Janti | 09 Jan 2020
Siti Soendari adik dr. Soetomo (berdiri di kanan) bersama rekan-rekan kuliahnya di Leiden. (Solita Sarwono dan Santo Koesobjono, Siti Soendari, Adik Bungsu dr. Soetomo).

DI hadapan para hadirin dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Mataram, Siti Soendari menyampaikan pidatonya yang amat progresif di masanya. Pidato itu tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan.

Namun, ada dua Siti Soendari di kongres tersebut. Pertama, Siti Soendari Sudirman dari Putri Budi Sejati, organisasi perempuan di Surabaya. Kedua, Siti Soendari Darmobroto dari organisasi Putri Indonesia.

Nama Siti Soendari terbilang jamak di era tersebut. Dalam sejarah Indonesia, ada empat Siti Soendari yang namanya sering disebut. Lantas, Siti Soendari mana yang membawakan pidato progresif dalam kongres tersebut?

Advertising
Advertising

 

Siti Soendari Darmobroto

Siti Soendari Darmobroto merupakan putri dari Wirio Darmobroto, bangsawan Ponorogo yang bekerja sebagai kepala sekolah. Soendari juga membuka sekolah di Pacitan, Jawa Timur. Namanya banyak disebut dalam sejarah gerakan perempuan. Ia amat peduli pada isu pentingnya pendidikan bagi perempuan. Harry A Poeze mengisahkan dalam Di Negeri Penjajah, Soendari Darmobroto hadir menyuarakan pendidikan bagi para gadis pribumi di Kongres Pengajaran Kolonial Pertama di Den Haag, Agustus 1916.

Siti Soendari Darmobroto. (Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah).

Susan Blacburn dalam Women and The State in Modern Indonesia menyebut Soendari Darmobroto inilah yang menjadi kontributor Putri Hindia dan mendirikan Wanito Sworo pada 1913, bukan Soendari istri Mohammad Yamin. Lewat terbitan berbahasa Jawa itulah Soendari menyuarakan ide-idenya tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat.

Saat kongres perempuan, Soendari Darmobroto hadir mewakili Putri Indonesia yang punya cabang di Bandung, Mataram, dan Surabaya. Pidatonya berjudul “Kewajiban dan Cita-Cita Putri Indonesia” amat progresif, berisi tentang kesetaraan peran lelaki dan perempuan dalam pernikahan.

Baca juga: 

Keributan di Kongres Perempuan

“Sudah lama kaum laki-laki menjadi raja dalam pergaulan hidup dan terkadang juga dalam rumah tangga kita,” kata Soendari dalam pidatonya yang dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. “Kalau Indonesia ingin maju dan harum, haruslah kita semua berada dalam persamaan dengan kaum laki-laki,” sambungnya.

 

Siti Soendari Sudirman

Prestasi penting Soendari Sudirman ialah berhasil menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Surabaya setelah perjuangan panjang para perempuan pribumi untuk mendapat hak pilih. Soendari merupakan aktivis perempuan yang mendirikan Putri Budi Sejati, organisasi perempuan di Surabaya. Amat sulit menelusuri masa kecil Soendari Sudirman. Ia menikah dengan R. Soedirman, residen Surabaya yang juga wakil pengurus besar Parindra di kota tersebut.

Soendari Sudirman merupakan tokoh lama dalam gerakan perempuan. Sama seperti Soendari Darmobroto, Soendari Sudirman juga hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama dan menjadi pembicara. Pidato Soendari Sudirman berjudul “Pergerakan Perempuan, Perkawinan, dan Perceraian”. Di masa itu, isu kedudukan perempuan dalam perkawinan sedang jadi fokus pembahasan para aktivis. Tak heran jika mayoritas materi pidato kongres pertama berkutat pada soal perkawinan.

Baca juga: 

Chailan Si Peliput Kongres Perempuan Pertama

Pidatonya membahas tentang nasib perempuan dalam perkawinan sekaligus mengkritik ketiadaan hak perempuan dalam beragam aspek. “Hak menolak, hak bersuara sesuai dengan pendapat sendiri, apalagi hak kawin sesuai dengan kehendak sendiri sebagaimana laki-laki memilih istri yang disukainya, tidak dimiliki kaum perempuan,” kata Soendari dalam pidatonya.

Oleh karena itu, organisasi yang dipimpin Soendari, Putri Budi Sejati, bergerak di bidang pemajuan dan pendidikan perempuan. Dalam Konferensi Putri Budi Sejati tahun 1937, Soendari mengatakan bahwa organisasinya tidak ikut dalam soal politik namun memberi kelonggaran pada anggotanya bila ingin bergerak di jalur politik. Soendari Sudirman kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Kota Suarabaya pada 1938.

Artikel “De Gemeenteraad Van Soerabaia” di De Indische Courant edisi Sabtu, 24 September 1938, menyebut pengangkatan Soendari sebagai anggota Dewan Kota Surabaya merupakan momen bersejarah lantaran ia perempuan pertama yang berhasil masuk menjadi anggota Dewan Kota Surabaya.

 

Siti Soendari Adik dr. Soetomo

Banyaknya nama Siti Soendari dalam sejarah Indonesia membuat banyak pihak acapkali terkecoh, termasuk Historia. Dalam artikel “Soendari Gigih Lawan Poligami”, Historia membuat kesalahan dengan menggabungkan kisah Siti Soendari Darmobroto dan Soendari adik dr. Soetomo.

Soendari adik dr. Soetomo merupakan teman kuliah dan indekos Maria Ullfah saat mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Semasa kuliah, Soendari mengikuti Perhimpunan Mahasiswa Perempuan Universiats Leiden (Nederlandse Vereeniging voor Vrouwelijke Studenten Leiden, VVSL) dan menjadi anggota Perhimpunan Indoensia (PI). Mulanya, PI hanya wadah untuk berkumpul mahasiswa Indonesia. Namun seiring derasnya gerakan politik di tanah air, PI ikut berpolitik menentang penjajahan Belanda.

(Solita Sarwono dan Santo Koesobjono, Siti Soendari, Adik Bungsu dr. Soetomo).

Ia lulus dari Universitas Leiden pada 1934 dan kembali ke tanah air. Soendari kembali tinggal satu kontrakan dengan Maria Ullfah di kawasan Salemba. Di Jakarta, ia bekerja di Departemen Kesehatan Umum dan sempat bergabung dengan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Dalam biografi Siti Soendari, Adik Bungsu dr. Soetomo, disebutkan bahwa Soendari kemudian hari bekerja sebagai direktur Bank Nasional Malang.

“Pernah ikut Perwari waktu tinggal di Semarang. Bu Soendari itu bukan tipe orang yang aktif dan tidak menonjol. Kalau kakaknya (Sri Oemiyati) atau Maria Ullfah itu memang aktif dalam kegiatan organisasi,” kata Solita Sarwono dan Santo Koesobjono (anak Soendari) pada Historia.

 

Siti Soendari Istri Mohammad Yamin

Siti Soendari Mertoatmodjo, bersama Moh. Yamin (kanan) dan anak mereka. (Sutrisno Kutoyo, Prof. H Muhammad Yamin, S.H).

Tak banyak catatan tentang Siti Soendari istri Moh. Yamin. Dalam biografi Mohammad Yamin yang ditulis Sutrisno Kutoyo hanya disebutkan bahwa Yamin memperistri perempuan bangsawan Jawa asal Kadilangu, Demak bernama Siti Soendari Mertoatmodjo. Tahun pernikahan mereka pun tidak jelas. Kutoyo menulis mereka menikah tahun 1934, sumber lain menyebut mereka menikah tahun 1937.

Lantaran namanya sama, ada penulis biografi yang mengira Soendari Mertoatmodjo merupakan pendiri Wanito Sworo. Padahal, seperti disinggung sebelumnya, pendiri Wanito Sworo merupakan Siti Soendari Darmobroto dari Jawa Timur.

 

 

* Artikel ini merupakan koreksi atas artikel berjudul “Soendari Gigih Lawan Poligami”. Dalam artikel tersebut, Historia melakukan kesalahan berupa tercampurnya kisah Soendari Darmobroto dan adik dr. Soetomo. Artikel ini ditulis dengan menelusuri nama-nama Soendari dalam sejarah Indonesia.

TAG

perempuan kongres

ARTIKEL TERKAIT

Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu