Masuk Daftar
My Getplus

Wayang Potehi Terawat di Gudo

Gudo tidak sepopuler tempat-tempat bersejarah di Indonesia, namun di kecamatan ini kesenian asal Tionghoa yang berlakulturasi dengan budaya Jawa terjaga

Oleh: Sulistiani | 27 Jan 2023
Pertunjukan wayang potehi lakon Sie Kong Hwa Tong di Mall Ciputra Jakarta, 21 Januari 2023 (dok. Sulis/historia.id)

Bunyi gembreng, salah satu alat musik Tionghoa, bersahutan dengan instrumen musik Tionghoa lain. Sabtu, 21 Januari 2023 itu, Mall Ciputra Jakarta menghelat acara perayaan Imlek di lantai dasarnya.

Para pengunjung antusias berkumpul menyaksikan pertunjukan itu. Orang-orang dewasa mengabadikan momen tersebut dengan ponsel pintar.

Anak-anak terlihat kagum mengamati boneka wayang dengan ukuran kecil bergerak-gerak. Mereka sedang menyaksikan pertunjukan wayang potehi dengan judul cerita (lakon) Sie Kong Hwa Tong. Pertunjukan tersebut dibawakan oleh sanggar wayang potehi Fu He An, Jombang, Jawa Timur.

Advertising
Advertising

Wayang potehi merupakan salah satu jenis wayang yang berkembang di Indonesia. Wayang ini sudah ada sejak abad ke-16, dilihat dari Serat Nawaruci peninggalan Empu Siwamurti bertahun 1500.

“Di dalam Nawaruci misalnya dikatakan: Anggambuh, amancangah, allangkarn mwang awayang Cina,” kata Timbul Haryono dalam Seni Pertunjukan dalam Masa Jawa Kuno.

Baca juga: Gan Kam, Tionghoa Penyelamat Wayang Orang Jawa

Perjalanan para warga Tiongkok ke Asia Tenggara menjadi cikal-bakal jalur penyebaran wayang potehi di Indonesia. Wayang yang ditulis dalam Serat Narawuci kemungkinan terdiri dari dua jenis, yaitu wayang kulit Cina seperti wayang kulit Jawa, dan wayang potehi. Hingga saat ini, belum ditemukan artefak wayang Cina dari masa tersebut selain dari karya sastra.

“Yang tertua baru dilihat fisiknya (berusia, red.) 100 tahun sekitar tahun 1900”, kata Dwi Woro Mastuti, peneliti Wayang Potehi, kepada historia.id melalui sambungan telepon (19/02/2023).

Gudo, sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, menjadi tempat penemuan wayang potehi tertua tersebut. Di sana terdapat kelenteng berusia ratusan tahun bernama Kelenteng Hong San Kiong. Di tempat inilah wayang potehi berkembang secara masif. Perkembangan wayang potehi dan adanya kelenteng tua disebabkan oleh adanya Pecinan di Mojoagung, termasuk Gudo.

Pemerintah Hindia Belanda melalui Besluit no. 25 tanggal 19 September 1889 meresmikan Mojoagung sebagai daerah pecinan dengan 78 orang Tionghoa. Penduduk yang ada di Mojoagung terdiri dari etnis Jawa dan Tionghoa. Imigran Tionghoa datang ke Gudo untuk bekerja di pabrik gula dan perkebunan tebu Belanda.

Baca juga: Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa

Meskipun wayang potehi cukup eksis di Gudo, bukan berarti tempat ini menjadi tempat pertama ditemukan wayang potehi. Ada kemungkinan wayang potehi berasal di tempat pendaratan awal imigran Tionghoa namun sampai saat ini belum ditemukan buktinya.

“Kalau pertama kali tidak tahu secara tepat di mana adanya. Karena mengingat Gudo berada di pedalaman, para Imigran Tiongkok datang dari jalur perairan seperti Semarang. Bisa jadi potehi di Gudo menyebar melalui jalur perdagangan Sungai Brantas, itu hipotesa saya,” ujar Dwi Woro.

Wayang Potehi di Gudo koleksi Toni Harsono. (Repro Wayang Potehi Gudo).

Ketika kegiatan seni-budaya Tionghoa dibatasi di Indonesia karena peraturan pemerintah nomor 14/1967, wayang potehi sulit dipentaskan. Akan tetapi, di Gudo pementasan tetap berjalan dengan baik.

Ada kisah menarik mengenai Kongco Kong Tik Tjoen Ong (barongsai) dari kelenteng Hong San Kiong. Suatu ketika, mesin di pabrik gula tiba-tiba mati tanpa sebab. Para teknisi tidak berhasil memperbaiki mesin-mesin tersebut. Pada saat bersamaan, kongco yang sedang diarak melewati pabrik gula dibawa masuk. Di dalam pabrik ia berputar-putar selama beberapa saat. Tidak lama kemudian, mesin-mesin pabrik berfungsi kembali. Kekuatan supranatural Kongco Kong Tik Tjoen Ong diyakini berjasa menghidupkan mesin kembali.

Baca juga: Membaurkan Cina-Jawa dalam Wacinwa

Di Gudo terdapat dalang andalan yang setia membawakan wayang potehi sebagai wujud pelaksanaan ibadah Konghucu. Tiga generasi berturut-turut dari keluarga Tok setia menjadi dalang, dimulai dari Tok Hong Kie, lalu Tok Suk Kwie, dan sekarang Tok Hok Lay alias Toni Harsono.

Wayang potehi dapat terjaga dengan baik di Gudo disebabkan oleh beberapa faktor. Selain perlindungan dari penguasa, juga karena faktor keberadaan pabrik gula. Mayoritas pekerja di pabrik gula membutuhkan aktivitas keagamaan di kelenteng.

“Pabrik gula sebagai pemilik modal memberikan fasilitas berupa tempat tinggal untuk para mekanik mesin pabrik gula dan keleluasaan untuk mengekspresikan seni dalam bentuk Wayang Potehi dan kegiatan ritual di kelenteng,” tulis Dwi Woro dalam Wayang Potehi Gudo.

TAG

wayang tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Pajak Judi Masa Kompeni Mula Pedagang Kelontong Kala Penduduk Tionghoa di Batavia Dipimpin Wanita Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Tio Tek Hong, Perintis Rekaman di Hindia Belanda Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati 4 Februari 1921: Tjong A Fie Meninggal Dunia Jejak Tionghoa di Pondok Cina