Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa
Gan Thwan Sing menciptakan wayang kulit Cina-Jawa. Kini hanya tersisa dua set wayang.
Berbeda dengan teman-temannya yang kebanyakan memilih profesi sebagai pedagang, Gan Thwan Sing, seorang Tionghoa peranakan yang tinggal di Yogyakarta justru menggeluti wayang kulit. Hingga di kemudian hari, ia menciptakan wayang kulit Cina-Jawa, Wacinwa.
Gan Thwan Sing lahir di Jatinom, Klaten, pada 1885. Sejak muda, ia tinggal bersama kakeknya, Gan Ing Kwat yang masih Sinke (Tionghoa totok). Kakeknya mengajarkan bahasa dan aksara serta cerita-cerita rakyat Tiongkok.
“Gan Thwan Sing muda hafal berbagai bentuk dan wajah tokoh legenda Tiongkok yang dilihatnya secara berulang-ulang dalam buku-buku kakeknya,” sebut Dwi Woro Retno Mastuti dalam “Wayang Kulit Cina-Jawa Yogyakarta” yang termuat dalam buku Tionghoa dalam Keindonesiaan.
Baca juga: Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit
Pada awal abad ke-20, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Kala itu, kebanyakan temannya berprofesi sebagai pedagang. Namun, ia memilih menekuni seni pedalangan dan karawitan.
Tak lama setelah tinggal di Yogyakarta, Gan Thwan Sing menjadi artis sandiwara dalam organisasi teater amatir yang dibentuk orang-orang Tionghoa peranakan. Dalam kesibukannya main sandiwara, ia tetap berlatih seni pedalangan gaya Yogyakarta. Ia juga tekun mempelajari bahasa dan aksara Jawa.
Pada 1920-an, Gan Thwan Sing memunculkan gagasan untuk membuat wayang kulit model baru. Sebuah pertunjukan wayang kulit yang mengangkat cerita rakyat Tiongkok, namun tetap dengan tata cara pagelaran wayang kulit Jawa.
“Gagasan yang dilahirkannya itu merupakan perpaduan serasi dari dua aspek yang mempunyai latar belakang berbeda. Aspek pertama adalah alam pakeliran Jawa. Aspek kedua adalah alam legenda Cina,” tulis Bambang Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam Wayang Kulit Jawa-Cina di Yogyakarta.
Baca juga: Dalang Wayang Kulit Kesayangan Sukarno
Konsep wayang kulit yang dikenal sebagai wayang kulit Cina-Jawa atau Wacinwa itu dimatangkan dengan penulisan beberapa buku lakon. Buku lakon dibuat mengikuti buku lakon wayang kulit Jawa gaya Mataraman serta dituliskan dalam bahasa dan aksara Jawa. Namun, ceritanya digubah dari cerita rakyat Tiongkok kuno yang populer dalam masyarakat Tionghoa di Jawa.
Awalnya, Gan Thwan Sing membuat dulu desain tokoh-tokoh setiap lakon. Ia lalu menghubungi Oey See Toan. Pedagang kaya yang menggemari seni pertunjukan tradisional itu bersedia membiayainya.
Gan Thwang Sing pun berhasil membuat sekitar 200 buah wayang. Ada yang dibuat dari kulit kerbau, ada pula yang dibuat dari kertas. Ia juga membuat alat-alat untuk melengkapi pertunjukan wayang seperti kotak wayang, cempala (alat untuk memukul-mukul kotak wayang), kepyak, ketir, dan blencong.
Berbarengan dengan pembuatan set wayang dan peralatannya, Gan Thwan Sing juga menyelesaikan buku lakon yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Setidaknya, ia menulis sembilan judul buku lakon, yakni Siek Jin Kui Ceng Tan, Siek Jin Kui Ceng See, Thig Jing Ngo Ha Ping She (Rahabenipun Raja Thig Jing), Cap Pek Law Wan Ong, Hong Kio Lie Tan, Law Kim Ting, Seek Yu (Sang Prajaka), Pat Sian (Delapan Dewa), dan Sam Kok (Tiga Negeri).
Baca juga: Wayang Wahyu Melakonkan Kisah Injil
Setelah semua wayang, buku lakon dan peralatan siap, Gan Thwan Sing kemudian mulai latihan bersama para niyaga (penabuh karawitan) dan sinden. Ia sendiri yang menjadi dalang.
Theodore G. TH. Pigeaud, peneliti sastra Jawa dari Belanda, menyebut Gan Thwan Sing memiliki sejumlah besar perbendaharaan kata-kata serta telah benar-benar mengenal idiom pedalangan.
“Ia bersusah payah untuk membuat reproduksi bunyi-bunyi huruf-huruf Cina setepat mungkin dengan huruf Jawa yang tersedia padanya,” jelas Pigeaud, sebagaimana dikutip Bambang dan Ilmi.
Memasuki tahun 1925, pertunjukan Wacinwa ciptaan Gan Thwan Sing kian populer. Hingga tahun 1960, Wacinwa telah tersebar ke Surakarta, Semarang hingga berbagai daerah di Jawa Timur.
Perkembangan pesat Wacinwa di berbagai daerah membuat Gan Thwan Sing harus menurunkan ilmu dalangnya. Ia kemudian memiliki empat murid, yakni Raden Mas Pardon, Megarsemu, Pawiro Buwang, dan Kho Thian Sing.
Baca juga: Mantra Sakti Sang Dalang Wayang
Namun, semua muridnya meninggal dunia mendahului Gan Thwan Sing. Ia sendiri meninggal dunia pada 1966 dalam usia 81 tahun.
Sebelum meninggal, Gan Thwan Sing sempat menjual sekotak Wacinwa kepada Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sementara buku lakon yang tersisa, menurut Gani Lukito, anak Gan Thwan Sing, turut dimasukan ke dalam peti mati dan dibakar bersama jenazahnya.
Sementara itu, berdasar penelusuran Dwi yang juga cucu Gan Thwan Sing, masih tersisa dua set wayang. Satu set berada di Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan satu set lagi milik kolektor wayang Walter Angst di Jerman.
Setelah 46 tahun kematiannya, tepatnya pada 23 November 2012, Gan Thwan Sing mendapat penghargaan Satyalencana Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar