Masuk Daftar
My Getplus

Rampasan Belanda yang Dikembalikan ke Sri Lanka

Selain Indonesia, Belanda juga mengembalikan enam koleksi rampasan era kolonialnya ke Sri Lanka.

Oleh: Randy Wirayudha | 07 Jul 2023
Koleksi benda jarahan era kolonial Belanda asal Sri Lanka (rijksmuseum.nl)

BERANGSUR-ANGSUR Belanda mengembalikan benda-benda bersejarah hasil rampasan era kolonial ke negeri asalnya. Tidak hanya dari Indonesia, sejumlah artefak asal Sri Lanka juga direpatriasi setelah melalui provenance research atau penelitan akan sumber dan asal-usulnya.

Total ada 478 benda sejarah yang akan direpatriasi pemerintah Belanda lewat Menteri Muda urusan Kebudayaan dan Media Gunay Uslu di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda pada Senin (10/7/2023). Enam di antaranya akan diserahkan kepada perwakilan Sri Lanka.

“Kami tidak hanya akan mengembalikan benda-benda bersejarah itu, (tetapi) kami sedianya memulai sebuah periode di mana kami akan bekerja lebih intens dengan Indonesia dan Sri Lanka. Sebagai contoh, dalam hal riset koleksi, presentasi, dan pertukaran para pakar museum profesional,” ungkap Menteri Uslu di laman pemerintah Belanda, Kamis (6/7/2023).

Advertising
Advertising

Baca juga: Belanda Siap Kembalikan 472 Jarahan Kolonial ke Indonesia

Enam koleksi asal Sri Lanka yang dimaksud adalah sebuah meriam berlapis emas Lewke, dua senapan benteng maha thuwakku, dua pedang kasthāné yang masing-masing satu berlapis emas dan satu berlapis perak, serta sebuah pihiya atau belati berlapis emas. Untuk sementara, keenam koleksi itu masih bersemayam di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.

Sejarawan Sri Lanka Ganga Rajinee Dissanayaka mengungkapkan dalam rangkuman artikelnya yang termaktub di The Rijksmuseum Bulletin, Vol. 70, No. 4 tahun 2022, “Lewke’s Cannon: A Visual and Political Dialogue Captured in Gold and Silver”,  pemerintah Sri Lanka sedianya sudah mulai mengajukan repatriasinya sejak 1990-an. Tetapi baru pada 2021 dibentuk sebuah tim untuk melakukan provenance research-nya terlebih dulu.

Meriam Lewke asal Sri Lanka yang tersimpan di Rijksmuseum Belanda (rijksmuseum.nl)

Tim yang dimaksud adalah tim Pilot Project Provenance Research on Objects of the Colonial Era (PPROCE). Tim itu berisikan sejumlah ahli Belanda dan Sri Lanka yang berkolaborasi, antara lain Dr. Alicia Schrikker, Doreen van den Boogart, Prof. Asoka de Zoysa, Dr. Ganga Dissanayaka, Ruth Brown, Kay Smith, dan Arie Pappot.

Pada medio Juni 2023, Kepala Staf Kepresidenan Sri Lanka Sagala Gajendra Ratnayaka mewakili pemerintah Sri Lanka mengirim pengajuan resmi ke pemerintah Belanda untuk pengembaliannya. Pengajuan itu lantas disambut hangat Menteri Uslu.

Baca juga: Repatriasi Artefak Indonesia dan Virus Dekolonisasi

Sambutan hangat itu tentu bukan tanpa “syarat”. Setidaknya kedua belah pihak sudah saling menyepakati perihal pemeliharaan pasca-penyerahannya. Meski penyerahannya akan dilakoni medio Juli nanti, proses pemulangannya diperkirakan baru akan dilakukan pada awal Oktober 2023, menunggu ruangan khusus yang akan dibuat di Sri Lanka.

Keenam koleksi di atas direncanakan bakal disimpan di Museum Nasional Kolombo, tepatnya di sebuah ruangan yang suhunya bisa disesuaikan demi melindungi dan memelihara koleksi-koleksi dimaksud. Ruangan yang juga akan disupervisi pemerintah Belanda itu saat ini masih dalam tahap pembangunan dan baru bakal rampung pada September 2023.

Koleksi senapan maha thuwakku, dua pedang kasthāné, dan belatih pihiya (rijksmuseum.nl)

Jarahan Perang Kandy-Belanda

Repatriasi bukan sekadar memulangkan artefak ke negeri asal sebagai pemiliknya. Namun, benda yang dipulangkan itu juga mesti memproduksi pengetahuan. Di situlah provenance research untuk menggali dan membuktikan informasi akan asal-usul yang orisinil menjadi penting.

Satu dari enam koleksi Sri Lanka di atas yang paling disorot dalam riset asal-usulnya adalah Meriam Lewke. Pasalnya, menurut Dissanayaka, dari segi bentuk dasar, meriam itu sangat mirip –baik dimensi, panjang 94 cm dan diameter 43 cm; maupun segala atribut penyokongnya– dengan sebuah meriam kuno lain bermaterial perunggu di Istana Windsor, Inggris. Bedanya, Meriam Lewke berhias ukiran khas Kerajaan Kandy berlapis emas, perak, serta taburan batu rubi.

“Dari temuan akan kesamaan meriam dengan yang ada di Istana Windsor, kita bisa menyimpulkan bahwa Meriam Lewke sejatinya tidak dibuat dan didekorasi dalam satu tahap melainkan dua kali,” tulis Dissanayaka.

Baca juga: Tantangan Mengembalikan Prasasti dari Inggris

Analisis komparatifnya, lanjut Dissanayaka, menghasilkan asumsi kuat bahwa mulanya meriam itu dibuat VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) di Republik Belanda pada pertengahan abad ke-17. Diyakini pula bahwa meriam itu jadi persembahan VOC kepada penguasa Kerajaan Kandy, sebab Kandy dan VOC sempat bersekutu untuk menyingkirkan Portugis dari Seylon (sebutan lama Sri Lanka) via Traktat Kandy (23 Mei 1638). Oleh karenanya di beberapa bagian Meriam Lewke juga terdapat beberapa motif ukiran khas Eropa.

Asumsi kuat lainnya dari penelitian itu adalah meriam tersebut kemudian dipergunakan salah satu pejabat tinggi Kerajaan Kandy, Lewke Disawe alias Lewke Wijesundera Rajakarunanayake Seneviratne Herath Mudiyannahe Lewke Bandara. Ia merupakan Maha Dissavas (semacam bupati) di wilayah Sathara Korale dan paling berpengaruh di masa Raja Vijaya Rajasinha yang berkuasa di periode 1739-1747.

Kemiripan Meriam Lewke (atas) dan meriam perunggu di Istana Windsor (rijksmuseum.nl)

Lewke kemudian membuatkan ukiran-ukiran khas Sinhala serta simbol-simbol Kerajaan Kandy berlapis emas dan bertabur batu rubi. Meriam yang sudah berubah “wajah” itu lalu dijadikan persembahan buat Raja Vijaya Rajasinha. Bukti sahihnya tertulis di sebuah inkripsi berbahasa Sinhala di meriamnya yang berbunyi: “Meriam ini dibuat Lewke yang memegang jabatan Disawe di Satara Korale selama masa akhir Vinsanthiya dan masa Krodha, masa di mana datangnya tahun shakawarsha (tahun saka) seribu enam ratus enam puluh tujuh.”

Dissanayaka menguraikan, “istilah Vinsanthiya dan Krodha merujuk pada momen-momen spesifik dalam 60 tahun perputaran Planet Jupiter dan tahun saka 1667 merujuk pada periode 14 April 1745-14 April 1746 (masehi). Ini menandakan tahun yang sama ketika meriam itu dipersembahkan kepada Raja Sri Vijaya Rajasinha.”

Baca juga: Senjakala Monarki di Sri Lanka

Sejak saat itu Meriam Lewke selalu dipajang di istana raja dan didentumkan setiap kali menyambut tamu kehormatan sang raja. Namun ketika hubungan Kerajaan Kandy dan VOC memburuk, meriam itu turut dirampas seiring penjarahan dan penghancuran Istana Kerajaan Kandy dalam Perang Kandy-Belanda (VOC) pada 1762-1765. Dua tahun berselang, meriam itu dibawa ke Belanda oleh gubernur koloni Lubbert Jan van Eck.

“Benda ini (Meriam Lewke) kemudian dibawa ke Belanda sebagai satu dari sekian koleksi rampasan yang dipersembahkan kepada stadhouder Willem V pada 1767, usai penyerangan besar ke Kandy pada 1765. Benda itu disimpan di lemari sang stadhouder sebagai trofi perang,” tukasnya.

Ukiran berlapis emas khas Kerajaan Kandy dan inkripsi berbahasa Sinhala di Meriam Lewke (rijksmuseum.nl)

TAG

sri lanka voc repatriasi

ARTIKEL TERKAIT

Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Seputar Prasasti Pucangan Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Koleksi-koleksi Repatriasi Benda Bersejarah Mengenal Kelompok Seni Pita Maha Saat Peti Laut jadi Penanda Pangkat Pegawai VOC Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Sejarah Perkembangan Repatriasi dari Belanda ke Indonesia Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia