Camilan menjadi pilihan banyak orang untuk menemani kegiatan sehari-hari. Camilan menjadi teman saat minum kopi atau teh. Bahkan, di setiap rumah dan kantor selalu menyuguhkan camilan di meja ruang tamunya.
Salah satu camilan yang digemari adalah martabak yang ditengarai berasal dari bahasa Arab, atau murtabak atau mutabbaq yang artinya lipatan. Konon martabak berasal dari India yang tersebar melalui perdagangan hingga Asia Tenggara. Selain di Indonesia, martabak juga dapat ditemukan di negara-negara lain.
Martabak gampang ditemukan di mana-mana. Di ibu kota Jakarta, salah satu martabak terkenal adalah Martabak Pecenongan 65A, yang terletak di kawasan wisata kuliner Pecenongan, Jalan Pecenongan Raya, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
“Sekarang pemilik Martabak Pecenongan 65A sudah diambil alih oleh anak dan mantu dari pencetusnya,” ujar Lukman (27), kasir yang telah bekerja selama lima tahun di kedai Martabak Pecenongan 65A.
Baca juga: Hilangnya Martabak India Asli
Pencetus Martabak Pecenongan 65A adalah Agustinus yang merantau dari Bandung ke Jakarta. Awalnya ia bekerja sebagai penjual obat. Ia kemudian mengikuti jejak kakaknya, pemilik Martabak San Fransisco.
Agustinus membuka kedai martabak di depan gerai kakaknya pada 1970. Namun, kakaknya pindah ke Bandung. Sehingga martabak milik Agustinus menjadi satu-satunya dan pelopor penggunaan nama Pecenongan. Hingga tahun 1980-an, Pecenongan masih sepi, baru ada beberapa pedagang kaki lima, dan sebagian tanah masih rawa-rawa. Namun, Pecenongan kemudian berkembang menjadi salah satu pusat jajanan kuliner di Jakarta dan menjadi pusat kumpul-kumpul anak muda.
Mengutip martabak65a.com, seiring semakin ramainya daerah Pecenongan, semakin terkenal pula martabak yang didirikan Agustinus yang diberi nama Martabak Bandung Asli Pecenongan No. 65A. Karena kebiasan masyarakat menyebut nama jalan, martabak itu pun lebih sering disebut Martabak Pecenongan. Kepopuleran Martabak Pecenongan membuat beberapa orang turut menggunakan nama Pecenongan untuk berjualan martabak. Mereka meniru mulai dari nama, desain kotak martabak, seragam pegawai, hingga menu. Tetapi, karena Martabak Pecenongan 65A menjaga kualitas bahan dan rasa, masyarakat pun dapat membedakan mana yang asli dan mana yang peniru.
Baca juga: Lezatnya Sejarah Bubur Cikini
Memasuki tahun 2007, Danniel, anak Agustinus, yang lulusan desain grafis dan telah bekerja di percetakan terkemuka, melakukan rebranding dengan menggunakan nama Martabak65A. Sehingga nama merek menjadi Martabak 65A Bandung Asli Pecenongan. Selain nama, Danniel juga mendesain logo, desain menu, desain box, desain kostum, desain spanduk, dan lain-lain. Dengan populernya sosial media, Martabak65A juga menggunakannya sebagai strategi marketing.
Martabak Pecenongan 65A dikenal juga sebagai pelopor varian baru yang disukai berbagai kalangan. Pada 2013 diluncurkan menu baru, yaitu martabak toblerone dan martabak nutella.
“Bahkan sekarang martabak ini menjadi favorit aktor Rio Dewanto. Ia juga pernah mengusulkan untuk menambah topping cokelat toblerone di kedai ini,” ujar Lukman.
Baca juga: Mencicipi Sejarah Soto Betawi
Lukman mengatakan, menciptakan varian baru menjadi tradisi di kedai ini. Tahun ini pun ada varian tiramisu. Dari sekian banyak varian, yang paling favorit adalah varian klasik. Harga martabak bervariasi mulai dari Rp100.000. Martabak tipis mulai dari Rp50.000. Sedangkan martabak kombinasi enam dan delapan rasa dibanderol lebih dari Rp200.000.
Kedai martabak yang buka pukul 11.00–00.00 WIB ini dibantu oleh beberapa pegawai. “Mengingat sekarang penerus Martabak Pecenongan 65A jarang ke sini, tetapi mereka menaruh kepercayaan kepada para karyawannya,” ujar Lukman.
Untuk menjangkau pembeli lebih luas lagi sehingga tidak perlu ke Pecenongan, Martabak Pecenongan 65A membuka tiga cabang di Jakarta, yaitu Everplate Kemang, Everplate Anggrek, dan Pantai Indah Kapuk (PIK) Elang Laut.
“Martabak ini terus konsisten melayani pelanggan, rasanya pun tidak bisa dibohongi, bagi yang sudah mencoba pasti balik lagi ke sini, sehingga setiap tahun martabak ini melakukan branding kualitas, kualitas, dan kualitas,” kata Lukman.
Penulis adalah mahasiswa magang dari Politeknik Negeri Jakarta.