Belakangan ini kebaya ramai diperbincangkan. Bukan hanya di Indonesia tapi juga di kawasan regional. Salah satu negara yang aktif menyuarakan kebaya adalah Singapura.
“(Kebaya, red.) akan menjadi nominasi multinasional pertama Singapura untuk Daftar Perwakilan Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, dan dijadwalkan untuk diserahkan pada Maret 2023,” kata National Heritage Board (NHB) Singapura sebagaimana diberitakan straitstimes.com (25/11).
Dikatakan multinasional karena Singapura mengajukan usulan tersebut bersama dengan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
“Kebaya telah, dan terus menjadi, aspek sentral dalam representasi dan tampilan warisan budaya dan identitas Melayu, Peranakan dan komunitas lainnya di Singapura, dan merupakan bagian integral dari warisan kami sebagai kota pelabuhan multikultural, dengan hubungan lintas Asia Tenggara dan dunia,” ujar CEO NHB Chang Hwee Nee.
Baca juga: Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman
Di Indonesia sendiri, gerakan Kebaya Goes To UNESCO telah riuh digaungkan. Mulai dari kampanye media sosial melalui tagar #KebayaGoesToUNESCO, Kongres Berkebaya Nasional, kampanye langsung turun ke jalan sebagaimana dilakukan kelompok Perempuan Berkebaya di beberapa kota, hingga usulan agar ada Hari Kebaya Nasional. Kampanye ini didukung oleh puluhan komunitas pecinta kebaya di Indonesia. Harapan mereka, kebaya dapat didaftarkan oleh Indonesia sebagai warisan asli Indonesia di UNESCO.
“Sejak Hamengku Buwana I (1755-1792 red.) sudah ada penggunaan kebaya, cuma jangan dibayangkan seperti kebaya yang sekarang ya,” ujar Fajar Widjanarko, filolog dan peneliti wastra Museum Sonobudoyo, kepada Historia melalui pesan teks.
Posisi kebaya sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia tidak lepas dari peran Presiden Sukarno. Ketika para petinggi Indonesia tampil di hadapan publik, pakaian yang digunakan untuk laki-laki adalah setelan jas ala Barat sedangkan perempuan menggunakan kebaya dengan bawahan kain batik. Terkadang kebaya yang digunakan dipadukan dengan sampiran selendang di bahu atau kerudung di kepala.
“Ketika Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, satu-satunya perempuan di antara pemimpin nasionalis adalah S.K Trimurti, kostum yang dikenakan dalam acara kelahiran Indonesia tersebut adalah kain kebaya dilengkapi dengan kerudung,” ungkap Cindy Adams, jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat yang ditunjuk Sukarno menuliskan otobiografinya, dalam Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Trimurti adalah aktivis nasionalis sekaligus perempuan yang dipercaya menjadi menteri perburuhan (kini menteri Tenaga Kerja) dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II.
Baca juga: Perempuan yang Hadir di Proklamasi Kemerdekaan
“Pada panggung publik, tubuh perempuan yang mengenakan kain kebaya mencirikan bangsa ini sebagai non Barat,” tulis Jean Gelman Taylor dalam “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940”, termuat di buku suntingan Henk Schulte Nordholt dan Imam Aziz, Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.
Di Jawa, penggunaan kebaya mulai muncul seiring dengan masuknya pengaruh Tionghoa. Mulanya para perempuan menggunakan kain yang dilipat-lipat menutupi tubuh atau yang saat ini dikenal dengan kemben. Kedatangan imigran Tionghoa membawa tradisi jahit-menjahit dengan mengimpor benang dan jarum dari negeri asalnya.
“Pemunculan pakaian yang pas, terutama pantalon untuk lelaki dan kebaya untuk perempuan, pasti terjadi secara lambat laun sejak abad ke-15 sampai abad ke-16,” tulis Indonesianis asal Prencis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia.
Kebaya terus berkembang dan digunakan oleh perempuan-perempuan di Jawa. Masuknya pengaruh Islam cukup signifikan dalam perkembangan budaya. Kebaya digunakan bukan hanya di kalangan masyarakat saja namun juga di dalam keraton.
Ketika para perempuan Belanda mulai bermigrasi ke Jawa pada abad ke-19, kebaya menjadi penyeimbang strata sosial antara orang Eropa, Jawa, maupun Indo. Para perempuan di Jawa menggunakan kebaya dalam aktivitas keseharian mereka.
“Kain kebaya diasosiasikan dengan ketentraman, ketenangan, dan keteraturan sosial yang menghubungkan orang Indo, Belanda, dan Jawa,” kata Jeaan Gelman Taylor.
Berbagai toko pakaian di Belanda, terutama yang menjual pakaian tropis, juga menyediakan kebaya sebagai barang dagangan. Meskipun harganya termasuk mahal, kebaya tetap menjadi incaran para pembeli.
Namun, ada perbedaan penggunaan kebaya dilihat dari masing-masing strata sosial yang melingkupi. Jenis bahan tekstil yang digunakan oleh pemakai kebaya menandakan kelas antara priyayi dan rakyat biasa. Kalangan priyayi biasanya memilih kebaya dari bahan brokat, bludru, atau sutra. Sementara, jenis kain kebaya yang digunakan rakyat biasa lebih tipis dari kain-kain yang digunakan para priyayi.
Baca juga: Nyai Tak Pernah Diakui
Pilihan warna juga menjadi ciri khas pengguna kebaya. Perempuan non-pribumi menggunakan kebaya berwarna putih dengan motif renda-renda. Motif ini tidak digunakan oleh perempuan pribumi; warna kebaya yang dipilih perempuan pribumi lebih pada turunan warna earth tone seperti coklat, krem, hijau muda, hingga hitam.
Pada masa tersebut, kebaya dapat dianggap sebagai kostum domestik. Sebab faktanya, mayoritas kebaya digunakan sebagai pakaian saat berada di dalam rumah.
Dalam Naar Indie en terug; Gids voor het gezin; Speciaal een vraagaak voor dames, JMJ Catenius-van der Meijden mencatat, pada 1896 kebaya menjadi pakaian yang diperlukan perempuan-perempuan Belanda saat berkunjung ke Hindia. Kebaya yang perlu disiapkan ada dua jenis, yaitu kebaya untuk tidur dan kebaya rapi (kebaya untuk pagi hari).
Akan tetapi peraturan ini berubah. Mulai tahun 1900-an, pamor kebaya di kalangan bangsa Eropa yang datang ke Jawa berkurang dan akhirnya menghilang. “Ketakutan menjadi pribumi bertanggung jawab atas penolakan sarung dan kebaya,” kata Elisabeth Locher dalam Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia Tahun 1900-1942.
Usai kemerdekaan Indonesia, kebaya dijadikan sebagai kostum nasional Indonesia khususnya untuk perempuan. Ketika para petinggi pemerintah Indonesia bertugas, istri yang akan mendampingi umumnya menggunakan kebaya.
“Pada awal kemerdekaan, perempuan Indonesia memegang peranan sentral dalam membentuk identitas Indonesia”, ujar Tunggal Pawestri, aktivis gerakan perempuan, dalam dialog sejarah Historia.ID, 8 September 2020 bertema "Pakaian Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa".
Baca juga: Jas dan Kebaya, Pasangan Nan Tak Lekang Dimakan Zaman
Setelah pemerintahan Presiden Sukarno, penggunaan kebaya sebagai identitas bangsa Indonesia terus berlanjut bahkan diperkuat. Presiden Soeharto menjadikan kebaya sebagai pakaian perempuan dalam banyak hal dan kepentingan, dan “diwajibkan”.
“Yang menarik di masa Orde Baru, kain kebaya sudah menjadi seragam, seragam negara dan itu sudah mulai, menurut saya dalam tahun 60-61 seperti sesuatu yang terpaksa,” kata sejarawan Universitas Michigan Charley Sullivan.
Kebaya dijadikan seragam organisasi-organisasi perempuan maupun organisasi lain yang di dalamnya ada perempuan. Organisasi-organisasi Islam Tak menjadi pengecualian, di mana kebaya juga dipakai para perempuan anggotanya.
“Pada sekitar tahun 70-an kebaya itu masih menjadi identitas nasional berpakaian perempuan Indonesia, meskipun dalam kultur santri sekalipun tetapi tentu saja tambahannya pada konteks ibu saya itu pakai kerudung, kerudung tapi transparan,” imbuh sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Neng Dara Afiah.
Kini, meskipun sudah tidak lazim digunakan sebagai pakaian sehari-hari, kebaya masih memiliki nilai estetika bagi perempuan Indonesia. Berbagai model kebaya tercipta baik dari Jawa, Sunda, Betawi, dan Bali. Dalam peragaan-peragaan busana pun para desainer banyak yang memadu-padankan kebaya dalam karya-karya mereka.