UNESCO atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, menetapkan arsip pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB tahun 1960 sebagai Memory of the World atau Memori Dunia.
Duta Arsip Nasional Republik Indonesia Rieke Diah Pitaloka mengatakan berdasarkan sidang pleno Executive Board UNESCO pada 10–24 Mei 2023, arsip pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB tahun 1960 berjudul “To Build the World Anew” telah diputuskan dan ditetapkan sebagai Memory of the World.
Dengan demikian, kini terdapat tiga arsip penting berkaitan dengan sejarah Indonesia yang berkontribusi terhadap peradaban dunia dan telah ditetapkan sebagai Memory of the World. Tiga arsip yang dijuluki sebagai “Tiga Tinta Emas Abad 20” itu adalah arsip Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, arsip Gerakan Non-Blok Pertama di Beograd tahun 1961, dan arsip pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB tahun 1960.
Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia
Menurut Rieke, arsip-arsip tersebut menjadi penting karena tak hanya menjadi ingatan kolektif bangsa dan dunia, tetapi juga dapat digunakan sebagai petunjuk jalan bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang. Di sisi lain, Rieke juga menilai bahwa ketiga arsip itu merupakan kapital simbolik (berkaitan dengan kehormatan, prestise, dan reputasi) bagi Indonesia untuk memosisikan diri dalam percaturan geopolitik saat ini maupun di masa mendatang.
“Serta pengingat untuk ada dalam prinsip politik para pendiri bangsa yang bertujuan bagi kepentingan nasional Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat yang terlibat dalam perjuangan perdamaian dunia,” kata Rieke sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara.
Selain arsip pidato Presiden Sukarno di Sidang Umum PBB tahun 1960, naskah Hikayat Aceh juga ditetapkan sebagai Memory of the World. Naskah Hikayat Aceh telah diajukan sejak tahun 2017 sebagai hasil koordinasi antara Pemerintah Aceh, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan Universitas Leiden, Belanda. Namun, pendaftaran Memory of the World oleh UNESCO ditunda. Meski begitu proses penyelesaian naskah nominasi tetap dilanjutkan. Naskah ini kembali diajukan sebagai nominasi Memory of the World pada 2021. Akhirnya, naskah Hikayat Aceh ditetapkan sebagai Memory of the World pada Mei 2023.
Naskah kuno yang ditulis pada abad ke-17 ini mengisahkan kehidupan para sultan dan Kesultanan Aceh sebelum dan di masa Sultan Iskandar Muda pada 1590–1636. Tak hanya memuat kisah-kisah yang memberikan gambaran mengenai sejarah dan kebudayaan rakyat Aceh, naskah ini juga mengajarkan nilai-nilai toleransi di antara pejabat, pemuka maupun pemimpin agama, serta masyarakat.
Baca juga: Babad Diponegoro Jadi Memori Dunia
Selain itu, di dalam naskah ini juga tertanam nilai-nilai multikultural dalam kehidupan masyarakat yang tercermin dari interaksi di antara sultan dengan rakyatnya maupun interaksi antara masyarakat Aceh dengan pendatang.
Nilai-nilai itu yang mendorong UNESCO menetapkan Hikayat Aceh sebagai Memory of the World. Tak hanya kaya isi, UNESCO juga menyebut Hikayat Aceh memiliki gaya penulisan yang unik karena menggunakan gaya sastra Melayu tradisional yang kaya akan pengaruh Persia.
Menurut Hermansyah, peneliti filologi Melayu-Aceh, naskah Hikayat Aceh merupakan koleksi langka karena tidak ada banyak salinan. Saat ini hanya terdapat tiga naskah Hikayat Aceh, dua di Universitas Leiden dan satu di Perpustakaan Nasional RI. “Naskah Hikayat Aceh ini menggunakan aksara Jawi berbahasa Melayu. Namun naskah yang ada ini halaman awal dan akhir belum ditemukan,” katanya dalam anri.go.id.
Memory of the World merupakan upaya UNESCO melindungi warisan dokumenter dari pemusnahan, pembusukan, dan kerusakan. Oleh karena itu, penetapan naskah Hikayat Aceh sebagai Memory of the World diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan sejarah Aceh serta mendorong upaya pelestarian dan pengenalan budaya Aceh kepada dunia.*