PULUHAN gubernur jenderal ditunjuk selama masa kekuasaan VOC di Batavia. Dari 37 gubernur jenderal, 34 gubernur jenderal benar-benar terlibat langsung dalam urusan kota yang kini dikenal dengan nama Jakarta.
“Di masa kekuasaan VOC tidak ada jabatan dan fungsi tertinggi dalam administrasi pemerintahan kota. Semuanya harus dilaporkan kepada pemerintah pusat yang dijabat oleh Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Dewan Hindia berkantor di Kastil Batavia,” tulis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia.
Calon gubernur jenderal dipilih di antara anggota Dewan Hindia (Raad van Indie), lalu dilaporkan kepada Dewan Tujuhbelas (Heeren Seventien). Untuk dapat diangkat sebagai gubernur jenderal, seseorang tak hanya harus menjadi anggota Dewan Hindia, tapi juga harus menduduki posisi opperkoopman atau pedagang utama dalam struktur kepegawaian VOC. Hal itu didasarkan pada esensi utama VOC yang merupakan perusahaan dagang, sehingga jenjang kepangkatan dalam organisasinya pun menggunakan kriteria dagang. Pangkat opperkoopman dapat diartikan sebagai pedagang paling senior.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Umumnya seseorang memulai dinas dalam organisasi VOC sebagai staf atau klerk, lalu asisten, kemudian pemegang buku, selanjutnya pedagang junior (onderkoopman), setelah itu pedagang (koopman), dan tertinggi pedagang utama (opperkoopman).
Banyak orang menginginkan jabatan gubernur jenderal. Posisi ini sangat bergengsi dan hanya satu-satunya dalam organisasi VOC di wilayah Timur, serta hanya kota Batavia yang mendapat kehormatan menjadi tempat kedudukan gubernur jenderal.
“Kepala kantor dagang di tempat lain, apakah itu di kepulauan Nusantara, India, Formosa (Taiwan), Sri Lanka atau Afrika Selatan, hanya mendapat posisi sebagai gubernur. Itu pun hanya kepala kantor dagang yang dianggap penting dan punya nilai strategis yang akan diberi kedudukan sebagai gubernur,” tulis Mona.
Salah seorang yang berhasil menjadi gubernur jenderal adalah Joan Maetsuycker. Pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 14 Oktober 1606 ini dikenal sebagai ahli hukum. Pada 1641, ia menjadi anggota Dewan Hindia, kemudian dipilih menjadi gubernur jenderal pada 1653. Setahun berselang pemilihannya disetujui oleh Dewan Tujuhbelas.
Baca juga: Gubernur Jenderal Membuang Orang yang Menagih Utang
Selama 25 tahun Maetsuycker menjabat gubernur jenderal, tak lepas dari persoalan. Salah satunya datang dari Dewan Gereja terkait penyebaran Islam di wilayah Batavia. Menurut Andrew Spicer dalam Parish Churches in the Early Modern World kehadiran dan pengaruh Islam di masa pemerintahan VOC selama abad pertama di Batavia mungkin tidak signifikan. Terlebih Batavia merupakan kota baru yang sangat kosmopolitan dengan populasi dari seluruh kepulauan Indonesia serta Asia dan Eropa. Sikap Dewan Gereja terhadap Islam tampaknya fluktuasi selama bertahun-tahun.
“Pada 1636, Dewan Gereja meminta pemerintah untuk mencegah pembangunan sekolah muslim untuk anak-anak di permukiman orang-orang Banda. Namun, pada 1641 Dewan Gereja tidak keberatan dengan rencana renovasi musala dan panti asuhan bagi anak-anak muslim Banda,” tulis Andrew.
Meski begitu, menurut Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII, penyebaran agama Islam yang hendak dilakukan oleh para tokoh orang Moor (sebutan orang Kristen kepada orang Islam, red.) dan Melayu bukan berarti tanpa perlawanan. “Yang paling gigih menentang adalah para pendeta Nasrani Batavia yang berkeberatan atas kebebasan orang-orang muslim melaksanakan ibadah agama mereka,” tulis Niemeijer.
Baca juga: Bukan Simpanan Gubernur Jenderal
Seperti pada 1648, Dewan Gereja mempermasalahkan keberadaan “sebuah kuil Moor” di kawasan muslim di bagian barat kota. Merespons kegelisahan Dewan Gereja, Pemerintah Agung berjanji akan meneliti apakah kaum muslim sudah melampaui batas-batas kebebasan yang dulu diberikan oleh Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (menjabat 1636–1643).
Warga muslim tetap teratur berkumpul di masjid hingga Gubernur Jenderal Carel Reiniersz (menjabat 1650–1653), atas desakan Dewan Gereja, berjanji akan merobohkan masjid dan membuang lebai Assua, seorang pemuka Islam yang cukup berpengaruh, ke Formosa. Pada 7 Maret 1651, sebuah plakat atau peraturan ditempel di tembok kota yang mengumumkan larangan terkait masjid dan ditempel juga larangan terhadap sebuah kelenteng Cina.
Menurut David Thomas dan John A. Chesworth dalam Christian-Muslim Relations: A Bibliographical History. Volume 12 Asia, Africa and the Americas (1700–1800) ketika Gubernur Jenderal Carel Reiniersz digantikan oleh Joan Maetsuycker, izin diberikan untuk membangun masjid baru.
Niemeijer menyebutkan penjelasan Maetsuycker kepada para pendeta di Batavia mengenai izin pembangunan masjid baru: “Bukankah orang muslim juga percaya pada satu Tuhan yang Esa, sama seperti kami; lagi pula, mereka tidak dapat disalahkan karena tidak mengakui Tuhan Tritunggal Nasrani (Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus).”
Baca juga: Siapa Gubernur Jenderal Pemilik Rumah Kuno di Depok?
Di sisi lain, menurut Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia, diskriminasi terhadap orang non-Kristen, yang sayangnya terdiri atas mayoritas penduduk Batavia, mendorong lahirnya hukum yang dengan tegas melarang pelaksanaan atau pengajaran agama apapun di depan umum atau secara rahasia, kecuali Gereja Reformasi Belanda. Ordonansi itu diulang terus-menerus, dan pendeta-pendeta Gereja Reformasi menuntut penerapannya.
“Tapi orang Cina dan muslim dalam praktik menikmati kebebasan beragama, kalau tidak di dalam, paling tidak langsung di luar tembok kota. Sia-sia saja para pendeta itu memprotes, karena pemerintah menanggapinya dengan meminta mereka menunjukkan lebih banyak semangat dalam usaha mengkristenkan orang Indonesia dan lebih sedikit kehebohan dalam menyalahkan pejabat Kompeni untuk moral buruk mereka,” tulis Vlekke.
Sikap toleransi beragama dari Maetsuycker menguntungkan kelompok muslim di wilayah Batavia. Pada 1655, Dewan Gereja dengan sangat menyesal melihat betapa orang-orang Moor dapat melaksanakan sembahyang berjamaah pada waktu-waktu yang sudah ditentukan tanpa halangan apapun. Selain itu, di masjid juga kerap dilangsungkan pertemuan mingguan secara teratur, baik siang hari maupun malam hari (kemungkinan selama Ramadan). Aktivitas umat muslim ini menarik perhatian orang-orang Nasrani.
Baca juga: Umat Protestan dalam Cengkeraman VOC
Niemeijer menyebut orang-orang muslim yang menjadi Nasrani dan sebagian masih tinggal di lingkungan muslim, amat tertarik untuk turut dalam kegiatan sembahyang tersebut. Bahkan mereka yang sudah lama beralih ke agama Nasrani juga tidak menarik diri dari kebiasaan hidup orang muslim.
Meskipun pembangunan masjid yang kedua tidak jadi dilaksanakan, walau jumlah umat pimpinan lebai semakin bertambah, sang pemuka agama itu lima kali sehari pada waktu-waktu tertentu akan menyelenggarakan sembahyang di rumah-rumah khusus (langgar), dan sudah tentu sembahyang Jumat. Kendati ada sanggahan kuat dari Dewan Geraja terhadap agama lain pada periode 1648–1658, umat muslim di wilayah Batavia dapat terus membina dan mengembangkan kehidupan beragama mereka.
Sementara itu, di luar urusan agama di Batavia, Joan Maetsuycker berambisi memperluas kekuasaan VOC. Di antaranya bersekutu dengan Arung Palakka, VOC di bawah Cornelis Speelman menyerang Makassar. Maetsuycker menjabat gubernur jenderal sampai meninggal dunia pada 4 Januari 1678 di Batavia. Ia digantikan oleh Rijkclofs van Goens.*