Masuk Daftar
My Getplus

Suka Duka Calon Haji di Tempat Karantina

Wajib dilalui, karantina di Pulau Kamaran meninggalkan kesulitan tersendiri bagi para calon haji di masa lalu.

Oleh: M.F. Mukthi | 30 Okt 2022
Jemaah haji mengelilingi Ka'bah. (Amr Zakarya/Wikimedia Commons).

Para calon jemaah umroh asal Indonesia patut bersyukur. Pasalnya, pemerintah Arab Saudi melonggarkan persyaratan umroh untuk jemaah Indonesia. Pelonggaran itu disampaikan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq al Rabiah kala bertemu Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta pada 24 Oktober 2022.

Ada empat poin dalam pelonggaran persayaratan itu. Yang terpenting mungkin terkait syarat kesehatan, yang menjadi alasan utama di balik dihentikannya untuk sementara kegiatan haji dan umrah akibat Covid-19. Tawfiq menegaskan, persyaratan kesehatan dihapus.

“Saya ingin menyampaikan bahwa kami dari Kerajaan Arab Saudi sangat menyambut seluruh jemaah umrah Indonesia, tanpa harus ada batasan dan ikatan-ikatan yang terkait kesehatan, jumlah, dan semuanya kami menyambut dengan sebaik-baiknya. Tidak ada syarat-syarat kesehatan. Yang terkait tentang jemaah umrah, tidak ada ikatan dengan syarat-syarat kesehatan, tidak ada juga yang terkait dengan umur,” kata Tawfiq sebagaimana diberitakan kompas.com, 25 Oktober 2022.

Advertising
Advertising

Sebelumnya, pemerintah Saudi menetapkan persyaratan kesehatan ketat terhadap jemaah haji dan umrah dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, pasca-mencabut larangan masuk total akibat pandemi Covid. Para calon jemaah diwajibkan menjalani karantina 14 hari di negara ketiga.

Baca juga: Haji Terganggu Pandemi

Dengan dihapuskannya persyaratan kesehatan, karantina para calon jemaah pun ditiadakan. Para jemaah haji yang berangkat pada tahun ini, 2022, sudah membuktikannya.

“Tidak ada karantina terpusat selama 21 hari kepada jemaah haji. Kami ulangi, tidak ada karantina kepada jemaah haji kita,” kata Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana, dikutip laman kemenag.go.id, 14 Juli 2022.

Karantina merupakan persyaratan yang wajib dijalani para calon jemaah haji sejak lama. Para jemaah di masa kapal uap mesti menjalani dua kali karantina. Di tanah air, mereka melakukannya di Pulau Rubiah, Sabang; Onrust, atau Kuiper (kini Kahyangan) di Kepulauan Seribu. Begitu tiba di Laut Merah, mereka mesti kembali karantina di Pulau Kamaran, pantai barat Yaman sebelum masuk ke Pelabuhan Jedah.

“Ketika memasuki Laut Merah, kapal haji harus singgah untuk menurunkan jamaah haji yang akan dikarantina di stasiun-stasiun Kamaran, Abu Saad, Abu Ali, dan Wasta. Sesungguhnya stasiun karantina di Laut Merah itu telah dirintis pada 1838 oleh Turki Utsmani, masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1808-1839), bekerja sama dengan beberapa negara Eropa yang mempunyai perwakilan di Turki,” tulis M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia.

Bangunan tempat karantina haji di Pulau Kamaran pada masa Inggris. (awazthevoice.in).

Persyaratan karantina untuk para calon haji awalnya dimaksudkan untuk melindungi orang Turki –selaku penguasa Tanah Hijaz– dan Eropa –yang memiliki perwakilan di Hijaz– dari penyakit menular. Dipilihnya Kamaran sebagai salah satu tempat karantina merupakan hasil dari Konvensi Paris 1903. Fasilitas karantina di Kamaran diusahakan pemerintah Turki, sementara operasionalnya ditangani organisasi Internationale Gezondheidsraad yang berisi perwakilan Inggris, Prancis, dan Belanda. Sejak 1873, kapal-kapal haji asal Hindia Belanda (kini Indonesia), Semenanjung Malaya, dan India wajib singgah di Kamaran.

Usai Perang Dunia I, Kamaran yang termasuk ke dalam wilayah Timur Tengah berada di bawah kekuasaan Inggris. Akibatnya, keamanan pulau dijaga oleh pasukan Arab di bawah perwira-perwira Inggris.

“Kampung jemaah yang ditahan di karantina itu diberi berpagar kawat sekelilingnya dan dijaga oleh agen-agen polisi bangsa Arab dan Afrika. Tegap-tegap tubuhnya, hitam kulitnya, tetapi kotor pakaiannya,” kata Raden Adipati Aria Wiranatakusuma, bupati Cianjur lalu Bandung yang pada 1945 menjadi menteri dalam negeri RI, dalam catatan perjalanan hajinya, termuat dalam Naik Haji di Masa Silam: Jilid II.

Baca juga: Awal Mula Haji Nusantara

Para jemaah dibawa ke pulau dari kapal mereka menggunakan perahu lantaran pantai di Kamaran tak memungkinkan kapal besar bersandar. Barang-barang bawaan mereka diangkut dengan perahu lain. Karena ketidaktahuan, banyak jemaah memasrahkan begitu saja barang-barang mereka kepada tukang-tukang perahu. Padahal, itu bisa berakibat fatal.

“Sekalian barbang-barang dan uang kita terserah saja di dalam tangan tukang-tukang perahu itu. Sekalian barang-barang tadi dibuang-buang orang saja ke tepi laut, sehingga bercampur-baurlah semua. Waktu inilah acap kali orang kehilangan uang, karena banyak orang yang menyimpan uangnya di dalam uncang saja,” tulis Dja Endar Moeda, pendiri suratkabar Pewarta Deli dan Insulinde, dalam  “Perjalanan ke ‘Tanah Suci’” yang termuat di buku yang sama.

Begitu menginjakkan kaki ke pulau, para jemaah langsung dibersihkan.

“Sekaliannya jemaah-jemaah itu dibuka pakaiannya, dimandikan dan setelah itu baru mereka boleh pergi ke bangsal karantina. Untuk mandi itu mereka dapat kain sarung merah ganti kain basahan. Mereka dimandikan dengan air lysol,” sambung Wiranatakusuma.

Baca juga: Ketika Berhaji Dilarang VOC

Setelah bersih, para calon haji ditempatkan di dalam bangsal-bangsal karantina. Selain kotor, tempat itu juga sarat akan bau tak sedap. Tiada perhatian soal sanitasi di Kamaran. Bangsal-bangsal, kamar mandi, jalan-jalan, bahkan perilaku penduduk setempat jauh dari bersih.

“Ya, kami telah sampai ke negeri yang belum mengetahui arti dan faedah kebersihan dan pada permulaan dari segala kekotoran,” kata Wiranatakusuma.

Wiranatakusma melihat betul bagaimana perilaku mukim –maksudnya penduduk– yang  jauh dari perhatian akan kebersihan. Seorang anak yang membantunya membersihkan ayamnya usai dipotong, selain memiliki masalah pada telinga juga kotor tangannya. Lalu ketika menyiapkan piring untuk makan, anak itu hanya mengelapnya dengan kain pinggang kotornya. Hal itu membuat Wiranatakusuma kehilangan nafsu makan sehingga hanya makan sedikit.

Di lain waktu, Wiranatakusuma diajak makan ke sebuah restoran milik orang Maroko oleh salah satu dokter di tempat karantina, dan keduanya dijamu pemilik resto. Kecuali Wiranatakusuma, mereka semua, termasuk pemilik resto, makan dengan lahap semua menu yang terhidang tanpa alat makan. Hidangan langsung diambil dengan tangan mereka yang kotor tanpa cuci tangan terlebih dulu.

“Apabila tangannya terlalu bergelumang dengan makanan itu, maka disekakannya saja ke dinding rumah itu. Supaya jangan melanggar adat kesopanan, maka saya ambil juga kue martabak sedikit, sebab belum saya ketahui tatkala itu, bahwa kue itu dibawa orang dengan tangannya saja ke dalam, sedang tangan itu amat kotornya,” kata Wiranatakusuma.

Baca juga: Resolusi Membatasi Haji

Selain dengan membeli, para jemaah sebetulnya bisa makan dengan memasak sendiri. Beras dam ikan asin diberikan untuk para jamaah oleh koki kapal. Hanya peralatan untuk memasaknya saja yang mesti mereka upayakan sendiri.

Selain soal kebersihan, hal penting lain yang mesti diperhatikan para jemaah di Karakan adalah keamanan. Banyak orang-orang Baduwi senang mencuri bawaan atau menipu jemaah di sana. Itu bahkan sudah dimulai sejak para jemaah turun dari kapal ke perahu-perahu yang akan membawa mereka ke daratan. Di darat, upaya pencurian ataupun penipuan/pemerasan terus berlangsung selama jemaah tinggal (biasanya kurang-lebih seminggu). Jemaah yang lemah akan jadi santapan penipuan atau pemerasan. Wiranatakusuma sendiri pernah mendapati air minum botolnya telah berkurang separuh akibat diminum orang tanpa seizin darinya.

“Di pulau ini misti membayar $5, lima ringgit burung, seseorang, yaitu harga air dan kayu. Uang ini wajib dibayarkan kepada tuan dokter yang menjaga di situ. Kalau mandur Badui meminta uang harga kayu atau air itu, jangan diberikan satu sen jua pun,” tulis Dja Endar Moeda.  

TAG

haji

ARTIKEL TERKAIT

"Singa Minangkabau" yang Ditakuti Belanda Ujian Haji Masa Kolonial Belanda Memenuhi Panggilan Suci Ketika Berhaji Dilarang VOC Menyusun Kamus Bahasa Melayu Persahabatan Raja Ali Haji dengan Von de Wall Raja Ali Haji, Sastrawan Besar Kesultanan Riau Hikayat Dua Pujangga Melayu Hatta Bertanya, Agus Salim Menjawab Ketika Orang Sunda Mulai Berhaji