Patti Muda Islam
Pattimura adalah gelar yang berarti patih muda. Ada Patti Muda yang beragama Islam.
Thomas Matulessy atau lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura kembali menjadi perhatian warganet setelah akun @yaniarsim memposting video ceramah Ustaz Adi Hidayat yang menyebut Kapitan Pattimura bernama asli Ahmad Lussy, seorang pejuang, kiai, dan pemimpin pesantren yang mengarahkan santrinya untuk berjuang menegakkan kebenaran di bumi pertiwi.
Sementara itu, dalam buku biografi Kapitan Pattimura, Pahlawan Nasional karangan I.O. Nanulaitta, Thomas Matulessy adalah seorang Kristen Protestan. Dia lahir pada 1783 di negeri Haria dari pasangan Frans Matulessia dan Fransina Silahoi.
Leluhur keluarga Matulessia berasal dari Seram. Moyang Thomas berpindah ke Titawaka (sekarang negeri Itawaka). Di antara keturunannya ada yang menetap di Haria. Yang di Haria ini menurunkan ayah dari Johannis dan Thomas. Ibu mereka berasal dari Siri Sori Serani.
“Keluarga Matulessia beragama Kristen Protestan. Nama Johannis dan Thomas diambil dari Alkitab,” tulis Nanulaitta.
Baca juga: Dari Matulessia Menjadi Matulessy
Menurut Nanulaitta, pengangkatan Thomas Matulessy sebagai panglima perang ditetapkan dalam Proklamasi Haria pada 29 Mei 1817. Proklamasi ini berisi 14 keberatan atas kekejaman Belanda sehingga rakyat mengangkat senjata. Proklamasi yang ditandatangani oleh 21 raja ini juga menjadi dasar hukum bagi perang melawan Belanda yang pecah pada 15 Mei 1817. Tanggal itu diperingati sebagai Hari Pattimura.
Kristen Saleh
Jan Sihar Aritonang, profesor sejarah gereja Indonesia, dan Karel Steenbrink, profesor emeritus teologi komparatif Universitas Utrecht Belanda, dalam A History of Christianity in Indonesia, menyebut alasan pemberontakan Pattimura menunjukan ikatan emosional yang kuat dari orang-orang Kristen Maluku dengan agama mereka.
“Thomas Matulesia alias Pattimura, seorang Kristen kelahiran sekitar tahun 1783, menjadi prajurit dalam tentara kolonial Inggris. Pada tahun 1817 ia tidak menerima pemulihan kekuasaan Belanda,” tulis Aritonang dan Steenbrink.
Di antara keluhan Pattimura adalah kekhawatiran bahwa pemerintah kolonial Belanda akan menghentikan lagi pembayaran guru-guru Kristen lokal, seperti yang terjadi pada 1810 ketika Daendels memerintahkan desa-desa mengumpulkan uang untuk membayar guru-guru. “Hal ini dilihat Pattimura sebagai upaya Belanda untuk ‘memecat guru-guru dan menghancurkan agama Kristen’,” tulis Aritonang dan Steenbrink.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Pattimura
Pattimura juga mengeluh soal uang kertas baru yang menggantikan koin lama. Dia menganggap uang kertas tidak dapat digunakan untuk sedekah di gereja-gereja, karena tradisi (adat) hanya mengesahkan pemberian dalam bentuk uang logam. Menurutnya, ini berbahaya bagi upaya merawat kaum miskin. Ada juga desas-desus, bahwa di desa-desa yang penduduknya beragama Kristen dan Islam, maka muslim akan dipaksa untuk memeluk agama Kristen serta liturgi akan diubah.
“Belanda benar-benar terkejut bahwa agama menjadi penyebab pemberontakan,” tulis Aritonang dan Steenbrink.
Sementara itu, Dieter Bartels, profesor antropologi di Yavapai College, Clarkdale, Arizona, Amerika Serikat, dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku menjelaskan bahwa Thomas Matulessy (dalam laporan Belanda disebut Matulesia) adalah laki-laki terpelajar yang pernah menjadi sersan mayor dalam milisi Ambon yang dibentuk Inggris. Dia juga seorang Kristen yang saleh, yang bukan saja memerintahkan para kepala kampung untuk tetap mempertahankan iman Kristen warganya (dengan ancaman hukuman mati atas mereka beserta keluarganya), melainkan juga menggunakan Alkitab (Mazmur 17) sebagai dasar pemberontakannya.
“Ia yakin Tuhan sendirilah yang telah menunjuknya sebagai pemimpin pemberontakan,” tulis Bartels yang pernah melakukan penelitian lapangan di Maluku Tengah.
Baca juga: Pattimura Pernah Jadi Tentara Inggris
Pemberontakan Pattimura berakhir pada 16 Desember 1817. Ia bersama Kapitan Anthony Rhebok, Letnan Philip Latumahina, dan Said Perintah (raja Siri Sori Islam), digantung di sekitar benteng Victoria, Ambon.
Bartels mencatat, pada malam sebelum digantung, Matulessy menyanyikan lagu-lagu pujian ditemani oleh para kepala sekolah. Pria Kristen yang teguh iman itu tetap tenang sampai akhir hayat. Lalu dengan tegap dia menaiki tangga ke tempat dia akan digantung dan ketika tali gantungan melingkari lehernya, dengan suara lantang dia berseru kepada penguasa Belanda, “Selamat tinggal tuan-taun!” Sindiran tajamnya itu disalahartikan oleh Belanda yang mengira bahwa dia sedang menunjukkan rasa hormat.
Patti Muda dari Ternate
Nama Pattimura lebih popular dibandingkan nama Thomas Matulessy. Padahal, Pattimura adalah gelar yang artinya “patih muda”. Oleh karena itulah, menurut Bartels, banyak orang muslim Ambon mengklaim Pattimura berasal dari kalangan mereka atau Pattimura dan Thomas Matulessy merupakan dua orang berbeda.
Memang ada seorang “patti muda” yang disinggung oleh J.B.J van Doren dalam Thomas Matulesia, het hoofd der opstandelingen op het eiland Honimoa na de overname van het bestuur der Molukken door den Landvoogd J.A. van Middelkoop in 1817. (1857: 32) bernama Patti Muda Gaga Bavanu.
Van Doren menyebut Gaga Bavanu bersama-sama dengan Matulessy dan Anthony Rhebok memimpin perang awal di Teluk Saparua. Nama pahlawan misterius ini tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang ditawan dan boleh jadi dia berhasil melarikan diri.
Baca juga: Pattimura Dihukum Mati Karena Dikhianati
Dilihat dari namanya, menurut Bartels, Gaga Bavanu berasal dari Ternate dan ada kemungkinan dia utusan Sultan Ternate, yang dicurigai secara rahasia turut menyokong pemberontakan itu. Dia mungkin salah seorang pemimpin pendamping Matulessy atau wakil yang bertanggung jawab atas para pemberontak muslim yang mungkin tidak percaya sepenuhnya terhadap Matulessy, sang Kristen fanatik.
Menurut Bartels, hipotesis ini cocok dengan klaim yang terus dinyatakan kalangan muslim Ambon, bahwa Pattimura berasal dari kalangan mereka. Hal ini juga cocok terutama dengan apa yang dikatakan penduduk kampung muslim Kulur di Saparua bahwa Pattimura adalah orang Ternate.
“Klaim ini barangkali tidak bisa diabaikan begitu saja atau dianggap hanya sekadar usaha mereka supaya dianggap lebih berjasa daripada kaum Kristen,” tulis Bartels.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar