Di Balik Kemenangan Daud atas Goliat
Para teolog sepakat, kemenangan Daud atas Goliat berasal dari kuasa ilahi. Catatan sejarah coba membuktikannya secara ilmiah.
Dari kediamannya di Betlehem, Daud meninggalkan kambing domba gembalaannya pergi menuju Lembah Tarbantin. Di sana kaum sebangsanya, orang-orang Israel, sedang berperang menghadapi bangsa Filistin. Semula, Daud hanya ingin membawakan makanan kepada ketiga abangnya di medan perang titipan dari Isai, ayah mereka. Tapi, dia melihat Goliat, prajurit terkuat Filistin, menantang prajurit Israel untuk bertarung satu lawan satu. Daud si pemuda gembala itu maju untuk melawan Goliat.
“Hadapilah aku, maka aku akan memberikan dagingmu kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang di padang,” kata Goliat kepada Daud seperti tercatat di Alkitab pada buku 1 Samuel 17:44.
Dari delapan anak laki-laki Isai, Daud adalah si bungsu. Eliab, Abinadab, dan Syama adalah tiga kakak tertua Daud yang ikut bertempur sebagai prajurit Israel di bawah pimpinan Raja Saul. Eliab memandang penuh jengkel ketika Daud memasuki medan pertempuran. Setelah meminta perkenan Raja Saul, Daud diizinkan bertarung melawan Goliat. Saul sempat mengenakan zirah dan pedangnya kepada Daud. Lantaran terlalu berat, Daud berjalan terhuyung-huyung, lantas melepaskan zirah dan pedang raja. Dia bertarung hanya dengan perlengkapan seorang gembala: tongkat dan ali-ali. Daud mengambil lima buah batu yang licin dari dasar sungai sebagai amunisinya.
Goliat merasa terhina karena Daud dilihatnya bersenjatakan tongkat. “Anjingkah aku, maka engkau mendatangi aku dengan tongkat?”
Daud memang tidak terlihat seperti prajurit tempur berpengalaman. Dia digambarkan seperti pemuda belia, wajahnya kemerah-merahan, dan elok paras matanya. Sementara itu, Goliat tampak seperti prajurit gagah perkasa. Bagai raksasa, tinggi badannya disebut-sebut menjulang sampai 3,5 meter. Tubuhnya dibaluti perlengkapan perang memadai. Ketopong kepala, baju zirah, penutup kaki, dan lembing semuanya terbuat dari tembaga serta mata tombak berlapis besi.
Baca juga: Goliat yang Gagah dari Filistin
Ketika Goliat maju memburunya, Daud mengambil sebuah batu ke dalam ali-alinya. Batu itu dilontarkan ke kepala Goliat sampai membuatnya terkapar. Daud kemudian memancung kepada Goliat. Cerita selanjutnya adalah sejarah tentang kepahlawanan Daud.
Kisah Daud dan Goliat selalu menjadi rujukan bahwa yang lemah tak selalu kalah dan orang kuat bukan melulu jadi pemenang. Hampir semua penulis dan teolog Kristen menyimpulkan kemenangan Daud atas Goliat berasal dari kekuatan ilahi, yakni Tuhan yang disembah bangsa Israel sejak zaman nenek moyang Abraham, Isak, dan Yakub. Konteks keyakinan ini bersumber atas ucapan Daud kepada Goliat dalam 1 Samuel 17: 45 yang berbunyi:
“Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kau tantang itu.”
Baca juga: Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Menurut sejarawan Simon Sebag Montefiore, kain pelontar yang digunakan Daud bukanlah mainan katapel anak-anak zaman sekarang. Ia adalah sebuah senjata yang ampuh. Para pelontar digambarkan dalam prasasti-prasasti di pekuburan kuno Beni Hasan di Mesir, berdiri di samping para pemanah dalam pertempuran. Prasasti-prasasti kerajaan di Mesir dan Assyria menunjukkan kontingen-kontingen pelontar yang merupakan bagian dari angkatan perang besar dunia kuno.
“Diyakini bahwa para pelontar ulung bisa melontarkan khususnya batu-bata halus seukuran bola tenis pada kecepatan 100--150 mil per jam,” catat Simon dalam Jerusalem: The Biography.
Sementara itu, Malcolm Gladwell menyebut Daud sebagai seorang pelontar yang ahli. Dalam perang kolosal, pelontar sama seperti pasukan artileri, yaitu prajurit proyektil atau pasukan tentara yang menggunakan senjata berat. Pelontar batu butuh keahlian tinggi dan banyak latihan. Di tangan pelontar berpengalaman, katapel bisa menjadi senjata mematikan. Pelontar berpengalaman dapat membunuh atau mencederai sasaran yang berjarak sampai 180 meter. Bangsa romawi kuno bahkan punya catut khusus untuk mencabut batu yang tertanam di tubuh prajurit yang terkena lontaran. Sementara itu, Goliat adalah prajurit infanteri. Daud tak berniat meladeni Goliat dengan tata cara pertarungan satu lawan satu dari jarak dekat.
“Daud seorang pelontar, dan pelontar selalu mengalahkan infanteri,” tulis Gladwell dalam David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants.
Gladwell juga menambahkan tubuh raksasa Goliat yang jadi kelemahan tersendiri. Goliat disebut pengidap sindrom akromegali sehingga menyebabkan gigantisme pada fisiknya. Efek sampingnya adalah kebutaan ringan pada mata. Dalam penglihatan Goliat yang samar, Daud melontarkan batu dengan kecepatan tinggi dari ali-alinya.
Alkitab memberi petunjuk bahwa Daud memang seorang pelontar yang terlatih. Sebagai seorang gembala, Daud harus melindungi domba-dombanya dari serangan binatang buas. Dengan cara yang sama seperti mengalahkan Goliat, 1 Samuel 17: 34—36, menjelaskan bahwa Daud menghajar singa maupun beruang yang coba menerkam kambing dombanya.
Pada perang-perang selanjutnya, Daud selalu memenangi pertempuran lawan orang Filistin. Meski popularitasnya menimbulkan dengki di hati Saul, Daud akhirnya menggantikan Saul sebagai raja kedua bangsa Israel. Ketika Daud wafat pada 970 SM, ia meninggalkan sebuah kerajaan yang bagi bangsa Israel tampak seperti sebuah imperium yang membentang dari Sungai Efrat hingga Teluk Akaba. Luasnya lima kali wilayah Israel saat ini.
Baca juga: Para Pembangun Yerusalem
Imperium itu, menurut sejarawan Max Isaac Dimont, dikelilingi oleh banyak musuh. Max mencatat dalam Jews, God, and History, bangsa Jebusite, salah satu suku Kanaan, yang namanya dijadikan nama kota Yerusalem, diusir, tetapi tidak ditundukkan; bangsa Filistin, yang namanya dijadikan nama Palestina, ditundukkan tetapi tidak dihancurkan.
“Tidak lama setelah Daud dikuburkan,” ulas Max, “bangsa Jebusite dan Filistin bergabung dengan bangsa-bangsa lain yang telah ditaklukkan oleh bangsa Yahudi dan memberontak melawan Palestina untuk mendapatkan kembali negeri-negeri mereka yang hilang. Bangsa Jebusite maupun Filistin tidak berhasil menaklukkan kembali Yerusalem atau Palestina.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar