Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Rumah cantik di lingkungan sekolah polisi Sukabumi. Sarat sejarah namun sepi peminat
RUMAH tua di Jalan Bhayangkara, Kota Sukabumi itu berdiri dalam sepi siang 12 Februari 2019 itu. Lampu di terasnya menyala pertanda tiada yang menjaga. Beragam kendaraan berseliweran begitu saja di depannya tiada peduli.
Butuh waktu hampir satu jam bersabar diiringi rasa penasaran sebelum bisa masuk ke rumah itu. Baru setelah Yepsa Dinanthy, pegiat sejarah Komunitas Kipahare Sukabumi, mengontak rekannya di Pemkot Sukabumi Historia bisa masuk rumah yang di halamannya dipatok plang bertuliskan “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir” itu.
Rumah bergaya twin-house kolonial itu cukup unik, seolah merupakan dua rumah serupa dijadikan satu. Di bagian belakang terdapat satu dinding pemisah serta bangunan terpisah lain yang sepertinya bekas dapur.
Sayang, tak banyak yang bisa dinikmati di dalamnya. Hanya beberapa foto Hatta, Sjahrir, dan Sukarno memenuhi beberapa dinding ruangan. “Ya memang sejak dulu sudah kosong begini. Sejak saya tugas di sini 11 tahun lalu juga begini-begini saja,” ujar Mulyani sang juru pelihara kepada Historia.
Informasi tentang kisah di sekitar rumah pun setali tiga uang. Sang juru pelihara hanya sedikit tahu. “Ya hanya terkait rumah yang pernah jadi tempat Bung Hatta dan (Sutan) Sjahrir ditahan,” lanjutnya yang sekadar hafal bahwa di sisi kiri bekas tempat Sjahrir dan sisi kanan bekas tempat Hatta saat jadi tahanan politik (tapol) pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Padahal jika pihak-pihak terkait, semisal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, punya kemauan untuk meriset ulang, informasi tentang rumah itu dan kisah di seputarnya bakal lebih banyak dan berguna untuk masyarakat.
Soal detail perabotan, sedikitnya pernah dipaparkan sesuai ingatan Hatta dalam Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan.
“Dalam kamar muka sudah ada satu zitje (sice, red), meja segi delapan dengan 4 kursinya dan 1 dipan. Di kamar tidur sudah ada tempat tidur dengan kelambunya. Di ruang belakang satu meja makan kecil dengan dua kursi. Pada unit bagian Sjahrir dalam kamar muka ada satu tempat tidur dan satu zitje, pada ruang tengah ada satu kamar tidur untuk dua orang, ruang itu dijadikan kamar tidur Lily dan Mimi (anak-anak angkat Sjahrir),” kenang Hatta.
Selain itu, lanjut Hatta, di setiap ruangan dan kamar tidur Hatta dan Sjahrir juga sudah dilengkapi lampu listrik, bukan lagi lampu minyak. Sementara dapur, kamar mandi dan toiletnya berderetan terletak di bangunan belakang. Kebutuhan air tersedia dari air ledeng lantaran memang tak ada sumur di rumah itu.
Bagian dari Sejarah Bhayangkara
Mulanya, kata peneliti sejarah dan ketua Komunitas Kipahare Sukabumi Irman Firmansyah, rumah itu ditempati seorang inspektur polisi Belanda. Sayang, tidak ada catatan siapa polisi senior Belanda pertama yang menempati rumah yang kini berjejeran dengan Kompleks Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) Polri itu.
“Jadi itu wilayahnya kan semua kompleks polisi. Mulanya daerah rumah itu berdiri merupakan paling ujung. Belum ada dibuka jalan seperti sekarang. Kemudian dibuat tembusan, disebut nama jalannya Vogelweg, dari nama Dr Vogel yang dulu juga pernah kasih masukan terhadap pembangunan Kota Sukabumi,” terang penulis Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu, Sukabumi: The Untold Story, serta Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi yang akrab disapa Sufi itu.
Rumah itu dibangun tahun 1926 seiring dibangunnya asrama dan sekolah polisi di Sukabumi sebagai lokasi baru pindahan dari Bogor. “Selalu jadi rumah inspektur polisi Belanda sampai Jepang masuk ke Sukabumi pada Maret 1942. Walau orang-orang Belandanya kabur, tapi sekolah polisinya masih berjalan. Jadi orang Indonesia yang diangkat jadi pemimpin di sekolah itu, Inspektur Polisi Asikin,” sambungnya.
Di masa Belanda tengah panik menjelang invasi Jepang, rumah itu ditempati Hatta dan Sjahrir yang dipindah tempat pembuangannya, medio Februari 1942. Sukabumi jadi tempat tahanan terakhir keduanya sebelum bebas di masa pendudukan Jepang.
“Jadi sebelumnya mereka ditahan di Banda Neira. Kemudian tanggal 1 Februari diberangkatkan dengan Pesawat Catalina dari Banda Neira ke Surabaya. Satu malam diinapkan dulu di sana, baru dengan kereta api berangkat ke Jakarta, lalu berangkat lagi dan sampai ke Sukabumi dengan mobil pada 4 Februari,” kata Sufi.
Kabar pemindahan ke Jawa itu menyeruak menjadi desas-desus bahwa keduanya dibebaskan. Pemerintah Hindia Belanda tentu membantahnya. “Moh. Hatta dan Sjahrir ditempatkan di sebuah rumah di daerah yang aman di Sukabumi, di mana mereka tetap dalam masa tahanan. Keterangan ini turut membantah bahwa keduanya dibebaskan adalah kabar yang tidak benar,” tulis suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad, 9 Februari 1942.
Ada alasan tersendiri mengapa pemerintah Hindia Belanda memilih Sukabumi sebagai tempat tahanan Hatta dan Sjahrir. “Karena dari dulu dianggap tempat aman oleh Belanda, terlebih di situ ada sekolah polisi. Lokasinya agak terisolir juga dan dianggap tempat yang nyaman buat tahanan,” sambung Sufi.
Hanya sekira satu setengah bulan Hatta dan Sjahrir menempati rumah tahanan itu sampai Jepang benar-benar mencaplok Hindia Belanda. Setelah Hatta dan Sjahrir kembali ke Jakarta, rumah itu kembali ditempati instruktur senior sekolah polisi.
Baca juga: Polisi Zaman Kumpeni
“Dari waktu ke waktu selalu ditempati orang-orang kepolisian. Cuma kondisinya sempat jadi kumuh, jelek, tidak terpelihara. Mulai dijadikan cagar budaya tahun 1990-an. Karena kan itu termasuk tanah milik Polri. Ketika dijadikan cagar budaya, ya dibuat perjanjian tiga pihak: Pemkot, BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Banten, dan Setukpa. BPCB menetapkan sebagai cagar budaya tapi ada kesepakatan polisi boleh menggunakan sepanjang tidak mengubah bentuknya,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar