Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Kisah para tokoh Republik yang tak bisa hidup tanpa membaca.
SETIAP 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Momen bersejarah itu bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun, menilik minat baca masyarakat Indonesia hari ini, terbayang kenyataan memprihatinkan. Menurut data Most Littered Nation In the World yang dikeluarkan UNESCO tahun 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Ironisnya, Indonesia hari ini memiliki Perpustakaan Nasional Indonesia yang disebut-sebut sebagai gedung perpustakaan tertinggi di dunia.
Membaca buku bukan lagi kegiatan pilihan seiring majunya teknologi informasi. Berbanding terbalik dengan generasi zaman pergerakan tempo dulu. Ibarat makanan, buku adalah kebutuhan. Lewat asupan literatur, pemikiran mereka menghasilkan ide untuk berjuang dan merdeka. Beberapa tokoh bahkan dikenal sebagai bibliofil alias pecinta buku.
Sukarno, presiden pertama Indonesia, misalnya. Dalam otobiografinya, Sukarno mengatakan seluruh waktunya dipergunakan untuk membaca. “Dan disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah dasar pendirianku," kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kegemaran Bung Karno terhadap buku diakui salah seorang putrinya, Rachmawati. Dalam pandangan Rachma, jika tak ada tamu di Istana maka yang dilakukan Sukarno hanyalah membaca dan membaca. Kamar tidur penuh dengan buku. Tempat tidur, kursi, dan kamar mandi berubah fungsi menjadi perpustakaan.
“Bapakku sudah seperti ensiklopedi berjalan saja. Bapak hafal akan isi buku-buku yang dibacanya, juga detail dan kalimat-kalimatnya. Bapak sangat kaya pengetahuan karena membaca,” kenang Rachmawati dalam memoar Bapakku Ibuku: Dua Manusia yang Kucinta dan Kukagumi.
Selain Sukarno, wakilnya Mohammad Hatta juga bibliofil. Soal buku, Bung Hatta bahkan lebih maniak. Menurut kakaknya, Ny. R. Lembaq Tuah, di sekitar Hatta selalu ada buku. Setiap lembar kertas dari bukunya, dibuka secara hati-hati dan dibaca secara cermat. Sewaktu pemerintah kolonial memenjarakannya dalam pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira, Hatta hanya meminta agar dikirimkan buku. Karena baginya, dengan buku dia merasa bebas.
“Setiap orang yang meminjam bukunya, selalu dicatat dalam buku: nama, tanggal meminjam, tanggal mengembalikan serta orang tersebut selalu diingatkannya agar menjaga buku yang dipinjam sebaik-baiknya,” ujar Ny. Lembaq dalam “Hatta: Adik dan Kenangan” termuat di kumpulan tulisan Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan suntingan Meutia Farida Swasono.
Sepanjang hayatnya, Hatta mengoleksi sekira sepuluh ribu judul buku. Ekonomi menjadi genre buku yang paling digemari Hatta, selain koperasi, agama, hukum, dan sejarah. Jumlah koleksi bukunya menyebabkan Hatta tergolong dalam kelompok “orang langka Indonesia”. Buku-buku koleksi pribadi Hatta masih tersimpan di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Tak Dikembalikan
Seperti dua kompatriotnya, Sutan Sjahrir –perdana menteri pertama Indonesia– pun pelahap buku. Kegemaran Si Bung Kecil terhadap buku diungkap sejarawan Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Ketika tumbuh remaja di kota Medan, Sjahrir mengaku telah membaca ratusan buku dan novel kanak-kanak Belanda. Tak heran di tengah keluarganya, Sjahrir disebut anak paling pandai.
Pada 1930, Sjahrir menempuh pendidikan tinggi di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengambil jurusan hukum adat Hindia. Di Leiden, Sjahrir kerap meminjam buku tentang kajian negeri Hindia (indologi) kepada seniornya Joss Riekerk. Joss yang mengambil jurusan indologi merupakan rekan Sjahrir di perkumpulan mahasiswa sosialis.
Bertahun berselang. Sjahrir pulang ke Indonesia dan menjadi aktivis pergerakan bersama Hatta. Ketika Sjahrir berada dalam pengasingan di Banda Neira, Joss sudah bertugas di Pulau Sumba sebagai pegawai kolonial. Saat itulah Joss dibikin repot oleh ulah Sjahrir.
“Saya masih terus disibukkan dengan nota-nota, surat-surat dari Perpustakaan Leiden yang meminta agar saya mengembalikan buku-buku itu, atau membayar dendanya,” ujar Joss Riekerk kepada Mrazek dalam wawancara pada 15 Oktober 1983.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar