Dari Daur Ulang ke Bantar Gebang
Konsep daur ulang sampah sudah dikenal sejak 1960-an. Namun, pilihan pengelolaan sampah jatuh ke sistem pembuangan akhir.
JALAN Thamrin di Jakarta pernah tak elok dilihat pada dekade 1960-an. Sampah berhamburan di atas tanah merah pembatas jalan itu.
“Tidak jauh dari kemegahan Hotel Indonesia, tidak jauh pula dari kehebatan Bank Indonesia di Jalan Thamrin merajalelalah gunung-gunung sampah di tengah-tengah perumahan manusia,” catat F. Bodmer dan Moh. Ali dalam Djakarta Djaja Sepandjang Masa untuk menggambarkan keadaan Jalan Thamrin pada dekade 1960-an.
Truk-truk sampah milik swasta mangkrak di garasi. Para sopir kesulitan memperoleh suku cadang, ban, dan pelumas. Komponen-komponen itu mendadak langka. Harganya melangit, tak terjangkau para sopir. Demo terjadi hampir tiap hari di Jakarta. Menuntut penurunan harga bermacam barang: dari beras sampai suku cadang truk. Perekonomian lesu. Inflasi menyentuh dua digit. Sopir truk sampah memilih berhenti kerja sementara.
Henk Ngantung, gubernur Jakarta 1964-1965, rada pusing juga menghadapi keadaan semacam itu. Dia ingin sampah-sampah sirna dari jalan utama ibukota, sesuai anjuran Presiden Sukarno. “Bapak (Sukarno, red.) pernah perintahkan supaya mengrequireer (mendorong, red.) truk-truk swasta di Jakarta untuk mengangkut sampah,” kata Henk dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.
Tapi Henk tak tega memaksa sopir truk bekerja.“Dan saya adakan pembicaraan atau konsultasi itu, karena saat-saat itu keadaan pengangkutan umum terutama truk-truk di Jakarta mengalami kesulitan yang cukup parah, berhubung tidak ada ban, pelumas, pokoknya kesulitan spare-parts,” lanjut Henk.
Pilihan Henk berakibat sampah-sampah teronggok begitu saja di banyak sudut ibukota. Kondisi ini mengancam jutaan penduduk Jakarta. “Apabila sampah tidak dimusnahkan sampah akan menelan manusia dan barang tentu manusia yang berada di atas sampah itu terlebih dulu. Siapa gerangan yang akan menyelamatkan manusia dari ancaman sampah?” tulis Bodmer dan Moh. Ali.
Henk sadar pengelolaan sampah itu urusan gawat darurat. Mesti disegerakan. “Bahwa sampah tidak bisa tunggu. Pemerintah menanggulanginya secara mencegah jangan sampai membusuk,” kata Henk.
Henk menyerahkan langkah praktis dan darurat pengelolaan sampah kepada Hoepoedio, wakil gubernur Jakarta, sedangkan Henk berupaya mengembangkan pemikiran komprehensif bagaimana mengelola sampah untuk ke depannya. Tapi dia tak juga menemukan caranya. “Saya belum sampai pada penemuan cara baru,” katanya terus terang.
Henk hanya punya gagasan bahwa orang mesti melihat sampah secara berbeda. Menurutnya sampah “perlu diberi arti dan nilai-nilai positif atau kegunaan positif.” Ini adalah konsep daur ulang sampah. Tapi dia tak punya cara dan waktu untuk mewujudkannya.
Henk cuma setahun jadi gubernur. Ali Sadikin menggantikannya dari 1966 sampai 1977.
Semasa Ali Sadikin menjabat, kebiasaan warga buang sampah sembarangan berlanjut. Kali, got, dan jalanan tertutup sampah. Warga belum punya kesadaran mengelola sampah secara tepat guna. “Pada tahun 1972, 35% penduduk mengatasi sampah dengan membakar, 15% menanam, dan 22% membuangnya di saluran-saluran air,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya. Maka, dia menerapkan aturan tegas untuk pelanggaran kebersihan dan sampah.
Produksi sampah warga Jakarta, semasa Ali Sadikin menjabat gubernur, mencapai 3.176 M3 per hari. “Ini terdiri dari sampah-sampah yang dihasilkan dari sektor pasar sebanyak 14,4%, sektor industri 5,6%, sektor perdagangan (kantor/hotel) 3,6%, dan sisanya 76,4% dari sektor perumahan,” lanjut Ali Sadikin.
Ali Sadikin mengatakan masih menggunakan cara-cara konvensional untuk mengelola sampah, sebagaimana pendahulunya. Alur pengangkutan sampah bermula dari bak-bak sampah, lalu menuju ke terminal penimbunan sampah (dumping site). Tempat ini berada pada dataran rendah, jauh di pinggiran kota.
Idealnya, menurut Ali Sadikin, sampah dikelola dalam sanitary land fill yang telah umum digunakan di negara lain. “Tetapi kita belum dapat menggunakan saat ini karena biaya untuk itu belum terjangkau,” catat Ali.
Tjokropranolo (menjabat 1977-1982) dan Soeprapto (1982-1987), dua gubernur setelah Ali Sadikin, masih menerapkan cara pengelolaan sampah konvensional. Tapi ada sedikit nuansa berbeda pada masa Tjokropranolo.
Tjokropranolo melihat pelibatan masyarakat sangat perlu dalam mengelola sampah. Dia wujudkan hal itu melalui pembentukan Gerakan Memasyarakatkan Kebersihan, Keindahan, dan Keteduhan Lingkungan Hidup (GMK3LH). Tugasnya antara lain penanaman kesadaran ke sesama warga untuk membuang sampah sesuai tempatnya dan kampanye hidup bersih.
Upaya GMK3LH cukup berhasil. Apresiasi pada gagasan ini pun muncul. “Meskipun pelan, Gubernur Tjokropranolo mempunyai gagasan yang perlu dikembangkan terus, meskipun kelak dia diganti orang lain,” tulis Aktuil, 14-28 Juni 1982. Kenyataannya, andil GMK3LH menghilang selepas Tjokropranolo selesai jadi gubernur.
Wiyogo Atmodarminto, gubernur Jakarta 1987-1992, lebih mengupayakan pengelolaan sampah sebagai kesatuan gagasan, praktik, dan daya dukung kota secara finansial dan teknologi.
Wiyogo punya gagasan Jakarta yang Bersih, Manusiawi, dan berWibawa (BMW). Salah satu jalan untuk mencapainya adalah dengan mengelola sampah. Dia memilih sanitary landfill system (sistem pengolahan sampah pada lahan yang luas) untuk mengelola sampah padat, ketimbang pembakaran (incinerators) dan sistem pabrik kompos.
“Karena murah dan cocok untuk situasi-kondisi di sini. Dua lainnya terlalu mahal. Kami belum mampu,” tulis Wiyogo dalam otobiografinya, Catatan Seorang Gubernur. Dia merencanakan landfill terletak di wilayah perbatasan barat atau timur, sebab wilayah selatan diperuntukkan untuk daerah resapan air.
Kelak lokasi lanfill ini dikenal sebagai Bantar Gebang, Bekasi, di daerah timur. Bantar Gebang masih beroperasi hingga sekarang, menghimpun ribuan ton sampah dari Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar