Awal Rencana Bangun O-Bahn di Indonesia
Upaya menghadirkan O-Bahn di kota-kota Indonesia sudah dimulai sejak akhir dekade 1980-an. Terbentur soal dana.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sedang mengkaji pengadaan transportasi massal O-Bahn di kota-kota besar Indonesia. O-Bahn menyerupai moda Bus Rapid Transit (BRT). Ada lajur khusus untuknya di jalan umum beraspal. Ia juga bisa berjalan di atas rel seperti moda Light Rapid Transit (LRT). Itulah kenapa orang menganggapnya kemempelaian antara BRT dan LRT.
O-Bahn atau Omnibus Bahnhoff kali pertama berkembang di kota Essen, Jerman, pada 1980. Panjang jalur sebermula 3 kilometer. Lalu bertambah menjadi 5 kilometer dan melewati terowongan.
Bus racikan Daimler Benz itu berjalan menggunakan tenaga listrik dan mampu bergerak secara otomatis berkat teknologi terbaru. Tersemat ban khusus di samping ban utama. Ban khusus itu memandu bus tetap berada di jalurnya ketika berjalan di atas rel. Maka sering pula O-Bahn disebut sebagai bus terpandu (guided bus).
O-Bahn memiliki keunggulan dibandingkan moda transportasi massal berbasis rel. Utamanya segi finansial dan keluwesan gerak. “Para insinyur Daimler Benz mengatakan biaya pengembangan O-Bahn tidak akan lebih mahal daripada moda kereta api,” tulis New Scientist, 12 Mei 1983.
Kepincut O-Bahn
Maka O-Bahn segera menarik minat pemerintah kota lain seperti Birmingham, Inggris, pada 1984, dan Adelaide, Australia, pada 1986. Setahun berselang, Jakarta pun ikut-ikutan kepincut moda O-Bahn.
Kala itu masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987—1992). Masanya penuh oleh diskusi rencana pembangunan beragam moda transportasi massal untuk Jakarta. Semua berbasis rel. Dari Mass Rapid Transit (MRT), LRT, sampai Kereta Rel Listrik.
Baca juga: Menelusur Gagasan LRT di Indonesia
Diskusi itu melibatkan Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kementerian Riset dan Teknologi, Bank Dunia, Japan International Cooperation Agency, Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta, dan Pemda Jawa Barat. Mereka merasa perlu cepat memecahkan petaka lalu lintas Jakarta demi keberlanjutan pembangunan.
Selain transportasi massal berbasis rel, Wiyogo menginginkan moda transportasi lainnya. Pilihannya tersemat pada Bus Terpandu (BT). “Kami juga sedang memprogramkan bus terpandu dari Kebayoran menuju Kota, yang jalurnya sudah mulai direncanakan,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur. Dia meminta investor swasta untuk mewujudkannya.
Menteri Perhubungan Azwar Anas dan Menristek B.J. Habibie menyatakan setuju terhadap rencana Wiyogo membangun O-Bahn di Jakarta. Menurut Azwar dan Habibie, pembangunan O-Bahn sejalan dengan prinsip dan arahan pengembangan transportasi dari pemerintah pusat.
Salah satu prinsipnya ialah penyediaan jasa transportasi berdasarkan permintaan dari penumpang. “Pendekatan ini diterapkan untuk daerah-daerah yang lebih maju dan berkembang serta secara komersial layak dioperasikan,” kata Azwar Anas dalam Clayperon, No. 31 Tahun 1992.
Baca juga: Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Jakarta tergolong daerah maju dan berkembang. Para penumpang membutuhkan moda transportasi cepat dan luwes seperti O-Bahn. Dilihat dari pilihan masyarakat di kota-kota besar negara maju terhadap transportasi massal, O-Bahn menduduki peringkat ketiga di bawah LRT dan KRL. Ini menjadi dasar kuat keinginan pemerintah menghadirkan O-Bahn.
Tetapi masalahnya, pemerintah belum bisa mewujudkan pembangunan O-Bahn tersebab cekak dana. “Sebenarnya merupakan permasalahan klasik,” kata Azwar Anas. Karena itulah Menhub dan Menristek sepemikiran dengan Wiyogo bahwa swasta harus memegang peran penting dalam menyediakan transportasi tersebut.
Masalah Dana
Kemudian pihak swasta menyongsong tantangan pemerintah. PT. Citra Summa, konsorsium patungan grup Bimantara dan Summa, menggelar seminar pada 26—27 Juni 1991 tentang peluang swasta dalam pengembangan sistem transportasi kota metropolitan di Indonesia.
Ir. Sri Bintang Pamungkas mewakili PT Citra Summa tampil membawakan makalah tentang rencana pembangunan O-Bahn. Tajuknya “Rencana Angkutan Bus Cepat Massal Terpandu Pada Jalan Layang Sepanjang Blok M-Kota”.
Makalah termaksud menjabarkan masalah kemacetan di Jakarta seperti perbandingan jumlah pengguna kendaraan pribadi dan angkutan umum, jalur-jalur padat, laju pertumbuhan jalan dan populasi kendaraan bermotor, perkiraan kenaikan jumlah penduduk, dan kerugian akibat lalu-lintas yang semrawut, solusi untuk petaka itu: Angkutan Cepat Massal Bus Terpandu (ACM BT).
Bintang menjelaskan seperti apa wujud Bus Terpandu. “BT jelas memerlukan track khusus yang bisa dipilih pada permukaan tanah (on ground), di atas permukaan tanah (elevated, atau layang) ataupun di bawah tanah (under ground). Alternatif yang amat memungkinkan adalah kombinasi on ground dengan elevated,” tulis Clayperon, mengutip makalah Bintang.
Bintang memaparkan pula prinsip pembangunan BT. “Harus diperhatikan kepentingan umum yang di atas segalanya, tidak membongkar bangunan monumental yang ada, konstruksi estetis, memperhatikan instalasi yang ada di bawah serta di atas tanah.”
Bintang meyakinkan bahwa tarif BT terjangkau oleh berbagai kalangan. Moda ini juga akan memberi pekerja kelas bawah beragam manfaat. “Bagi kelompok dengan status sosial menengah ke bawah, yang hampir bekerja selalu di tempat, ACM BT merupakan tawaran yang menarik.”
Baca juga: MRT: Sebuah Keajaiban di Jakarta!
Pemerintah antusias menanggapi makalah tersebut. Azwar Anas kemudian melapor kepada Presiden Soeharto. Dia memperoleh lampu hijau untuk memulai pembangunan O-Bahn. Pengerjaannya berada di pihak swasta sepenuhnya. Serupa dengan proyek MRT. Keduanya akan saling mendukung.
“Sistem O-bahn direncanakan untuk mobilitas 10.800 penumpang per jam, dianggap sebagai transisi sebelum membangun KA bawah tanah,” tulis Kompas, 7 November 1991.
Tetapi rencana pembangunan O-Bahn buyar. Tak pernah ada cukup dana untuk sekadar memulainya. Studi kelayakannya pun mandeg sehingga izin pembangunan O-Bahn tak kunjung keluar. Soerjadi Soedjirdja, pengganti Wiyogo, tak pernah lagi menyinggung O-Bahn. Sejak itu, rencana membangun O-Bahn pun terkubur.
Perlu menunggu 27 tahun agar rencana membangun O-Bahn bangkit kembali. Akankah kali ini rencana O-Bahn terwujud?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar