Program Gizi setelah Reformasi*
Dari kupon makan gratis hingga fortifikasi. Beragam solusi untuk mengatasi persoalan gizi sejak era reformasi sampai saat ini.
WAKTU krisis moneter melanda Indonesia di pengujung 1990-an, banyak masyarakat hidup sulit. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok seanjlok-anjloknya. Harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Gelombang PHK terjadi di mana-mana. Untuk sekadar mencari makan pun orang-orang kesusahan.
Untuk menyisati keadaan itu, pemerintah melalui Kementerian Sosial mencanangkan Program Penanggulangan Dampak Sosial Krisis Moneter (PPDSKM). Peluncuran program itu berlangsung di Lapangan Arung Samudra, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Yang menarik, peresmian ditandai dengan penyerahan secara simbolis kupon makan gratis kepada lima walikota di DKI Jakarta, selanjutnya dibagikan kepada buruh yang mengalami PHK.
Secarik kupon yang didistribusikan melalui kelurahan dan RT/RW itu, seperti diberitakan dalam Kompas, 25 Maret 1998, senilai dengan sebungkus nasi berikut sayur dan lauk-pauk seharga Rp1.500. Kupon-kupon makan gratis tersebut dapat ditukarkan di sekitar 300 warung sehat sederhana (Waserna) yang terdapat di pelabuhan dan sekitarnya. Untuk mencegah terjadinya penyelewengan, Menteri Sosial (Mensos) Siti Hardiyanti Rukmana mengimbau masyarakat untuk memantau pelaksanaan program ini.
“Hasil pantauan dapat disampaikan ke satgas-satgas yang ada di tingkat pusat dan daerah, agar segera ditindaklanjuti,” kata mensos yang akrab disapa Mbak Tutut yang juga putri sulung Presiden Soeharto itu dikutip Kompas.
Gizi Buruk jadi Momok
Mbak Tutut mengatakan dana proyek kupon makan gratis berasal dari pemotongan gaji presiden dan menteri-menteri Kabinet Pembangunan VII serta sumbangan dari masyarakat. Proyek tersebut terbuka untuk disumbang masyarakat yang kelebihan rezeki. Mbak Tutut menjamin transparansi pengelolaan dana melalui laporan bulanan yang dipublikasikan berkala di media massa. Selain itu, Mbak Tutut juga mengusulkan agar memasyarakatkan pemakaian daging kelinci sebagai pengganti daging ayam sebagai lauk. Sebab, menurutnya, kelinci lebih murah, cepat berkembang biak, dan hanya memakan rumput.
Pada kenyataannya, ajakan Mbak Tutut untuk makan daging kelinci tidak begitu populer bagi masyarakat yang berjuang di tengah krisis ekonomi itu. Program kupon makan gratis pun bukan jadi solusi tepat karena banyak terjadi penyalahgunaan di lapangan. Orang yang seharusnya bisa makan dengan kupon jatahnya malah diserobot orang lain. Ada yang makan tanpa kupon dan tak bayar. Sementara itu, ada juga warung makan yang tak berafiliasi dengan program kupon makan gratis tetap jadi incaran “diserbu” orang karena alasan di PHK. Berbagai pelanggaran itu, seperti dilansir Kompas, 2 Juni 1998, membuat kekecewaan pemilik warung makan serta mereka yang punya jatah makan gratis terus terulang. Uji coba program ini pun dihentikan dan tidak berlanjut ke daerah lain.
Baca juga: Program Makanan Bergizi Era Orde Baru
Presiden Habibie yang kemudian menggantikan Soeharto mewarisi sejumlah persoalan imbas krisis ekonomi, termasuk keterbatasan akses masyarakat terhadap pangan. Meningkatnya biaya produksi menyebabkan terganggunya distribusi pangan. Akibatnya, status gizi masyarakat menurun, terutama pada kelompok rentan, yaitu: ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.
Data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistk (BPS) 1998 menunjukkan bahwa balita yang mengalami Kurang Energi (Kalori) Protein (KKP) mencapai 33,4 persen. Ini berarti sekira 8 juta balita terancam tumbuh kembangnya yang berpotensi merugikan bangsa dalam beberapa dekade berikutnya. Data ini sekaligus menandai rekor buruk sejak 1970-an, karena jumlah kasus gizi buruk meningkat di Indonesia.
Menurut Habibie, kemunculan kasus gizi buruk di masa reformasi disebabkan oleh berkurangnya konsumsi pangan dan mutu gizin yang dimakan tiap-tiap keluarga. Ini akibat dari menurunnya pendapatan keluarga dan masyarakat. Selain itu, masih banyak warga yang kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pemeliharaan gizi sejak masa balita.
Baca juga: Berbagai Rupa Program Perbaikan Gizi Era Orba
“Untuk mengatasi agar kasus gizi buruk tidak bertambah, perlu upaya nyata yang harus dilakukan dan didukung oleh seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu, saya telah menetapkan suatu pendekatan terpadu dari masyarakat dan instansi pemerintah terkait dalam Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 1999, tentang 'Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi', kata Presiden Habibie dalam pidatonya pada Pencanangan Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat 2 Agustus 1999.
Gerakan nasional yang diusung Presiden Habibie itu diberi slogan “Cukup Pangan dan Bebas Gizi Buruk”. Salah satu agenda pemerintahan Habibie dalam meningkatkan gizi masyarakat dilakukan dengan fortifikasi pangan, yang kemudian pengembangannya diteruskan pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.
Fortifikasi Pangan
Fortifikasi pangan merupakan penambahan zat gizi makro atau mikro pada makanan yang biasa dikonsumsi untuk mempertahankan maupun meningkatkan kualitas gizi makanan suatu kelompok atau populasi. Sejak pertama kali muncul pada periode awal abad ke-20, fortifikasi pangan dipandang sebagai langkah yang baik untuk mengatasi kekurangan zat gizi mikro secara berkelanjutan. Tak heran bila pemerintah Hindia Belanda terdorong untuk mengeluarkan peraturan mengenai iodisasi garam pada 1924 untuk mengatasi masalah gangguan akibat kekurangan iodium yang melanda penduduk di Hindia Belanda.
Akan tetapi, menurut Umi Fahmida dalam “Use of Fortified Foods for Indonesian Infants”, termuat di Handbook of Food Fortification and Health: From Concepts to Public Health Applications, Volume 2, fortifikasi pangan baru mulai dilakukan di Indonesia pada 1994 melalui kebijakan yang mewajibkan fortifikasi garam beriodium. Uji coba fortifikasi terigu dengan zat besi, zinc, folat, vitamin B1 dan B2 dimulai pada 1996. Hasilnya, fortifikasi terigu ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mulai diwajibkan pada 2001.
Baca juga: Perjalanan Susu ke Indonesia, dari Konsumsi hingga Industri
“Baik garam beriodium maupun fortifikasi tepung terigu dikembangkan oleh Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan dengan dukungan UNICEF. Pada 2009/2010, studi kelayakan untuk fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A diluncurkan dan pada 2011, fortifikasi vitamin A pada minyak goreng didorong sebagai fortifikasi sukarela,” tulis Fahmida.
Dimulai pada masa Orde Baru, fortifikasi pangan semakin menarik perhatian banyak pihak pada era reformasi. Proyek ini tak pernah ketinggalan dalam daftar program masing-masing pemerintahan. Misalnya, pada masa kepemimpinan B.J. Habibie, fortifikasi pangan berada di bawah arahan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, Prof. Dr. Ahmad Muflih Saefuddin.
Dalam Development Reform Cabinet, Republic of Indonesia, 1998-1999 yang disusun oleh Kabinet Reformasi Pembangunan Indonesia, dilaporkan bahwa kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura dalam mengkoordinasikan program peningkatan mutu telah berhasil melaksanakan program fortifikasi pangan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi Anemia Gizi Besi (AGB) dengan menggunakan terigu sebagai bahan pangan pembawa dan zat besi (Fe) sebagai fortifikan. Disepakati bahwa kadar Fe yang dipergunakan dalam fortifikasi tepung terigu adalah 60 ppm.
Baca juga: Jalan Panjang Memperbaiki Gizi Rakyat Indonesia
Sementara itu, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, proyek fortifikasi pangan menjadi bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000. Menurut sosiolog Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Foods, sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan sebagian besar anggaran gizinya untuk program bantuan pangan yang difortifikasi.
“Situasi di Indonesia mencerminkan bagaimana fortifikasi menjadi populer di komunitas gizi internasional dan melibatkan para ilmuwan, birokrat, LSM, dan perusahaan makanan. Menyusul deklarasi dan kesepakatan global tentang mikronutrien, komunitas yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat memulai sejumlah proyek yang berfokus pada mikronutrien, yang sebagian besar merupakan proyek fortifikasi,” tulis Kimura.
Koalisi Fortifikasi Indonesia
Perhatian terhadap proyek fortifikasi pangan juga mendorong lahirnya Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) pada 2002. KFI berperan sebagai penghubung lokal non-pemerintah untuk donor internasional yang tertarik mempromosikan proyek-proyek mikronutrien atau zat gizi mikro di Indonesia. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan semakin menguatkan besarnya manfaat fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah gizi.
Mengutip Pasal 35 dalam PP No. 28 Tahun 2004, walaupun fortifikasi pangan diizinkan sebagai upaya perbaikan gizi masyarakat, pengawasan yang ketat tetap harus dilakukan, khususnya oleh para menteri yang terkait dengan proyek ini. Contohnya, Menteri Kesehatan bertanggung jawab terhadap jenis dan jumlah zat gizi yang akan ditambahkan serta jenis-jenis pangan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui fortifikasi. Di lain pihak, menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan jenis-jenis pangan yang wajib difortifikasi dan tata cara fortifikasi gizi pangan tertentu.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis di Dunia
Sejalan dengan pemberlakuan aturan-aturan fortifikasi pangan, penelitian terkait proyek ini juga terus dilakukan. Siti Helmyati dkk. menulis, pada 2007, keberhasilan uji coba fortifikasi vitamin A pada minyak goreng memungkinkan pihak industri untuk memproduksi minyak goreng yang difortifikasi. Selang beberapa tahun, antara tahun 2010 dan 2017, Asian Development Bank mendanai sebuah kajian kelayakan, biaya, dan dampak dari penyediaan beras yang diperkaya zat besi melalui program Raskin (Beras untuk Masyarakat Miskin) di wilayah program. Hasil kajian itu menunjukkan bahwa sebagian besar penerima manfaat sasaran mengonsumsi beras fortifikasi dan terdapat dampak signifikan terhadap anemia, terutama di kalangan anak sekolah.
Fortifikasi pangan sebagai intervensi pemenuhan zat gizi mikro yang terbukti cost-effective, juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam Strategi Percepatan Pencegahan Stunting, fortifikasi yang menjadi bagian dari Ketahanan Pangan dan Gizi masuk dalam Pilar 4. Pelaksanaan fortifikasi wajib sempat tertunda akibat pandemi COVID-19. Relaksasi tersebut berakhir pada 31 Desember 2020 dan fortifikasi wajib tepung terigu dan minyak goreng sawit kembali dilaksanakan mulai 1 Januari 2021.
Kontroversi Fortifikasi
Kendati dipandang sebagai langkah efektif untuk mengatasi permasalahan gizi, proyek fortifikasi juga dibayangi kontroversi. Seperti diungkapkan Kimura, perjalanan fortifikasi pangan di Indonesia juga memberikan gambaran bagaimana industri berperan besar dalam menentukan diberlakukannya suatu regulasi. Hal ini terlihat pada penerapan kewajiban fortifikasi tepung terigu di masa-masa awal reformasi. Kebijakan ini seringkali dianggap sebagai keberhasilan besar bagi para pendukung zat gizi mikro yang akhirnya berhasil mewujudkan kebijakan fortifikasi publik di Indonesia.
“Faktanya, industri tepung terigu Indonesia telah diuntungkan oleh program fortifikasi tepung terigu ini. Waktu kebijakan tersebut menarik; persyaratan fortifikasi wajib dimulai sekitar waktu ketika industri yang sebelumnya dilindungi ini dideregulasi, dan tepung terigu impor mulai membanjiri pasar Indonesia. Ketika peraturan fortifikasi menjadi undang-undang, banyak tepung terigu yang diimpor tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, sehingga tidak dapat diimpor,” tulis Kimura.
Baca juga: Cerita Impor Beras Indonesia
Kala itu, ancaman terbesar bagi industri tepung terigu Indonesia adalah terigu impor. Dengan iklim persaingan yang kian sengit, perusahaan-perusahaan nasional menemukan manfaat dari fortifikasi; sebuah hambatan perdagangan yang dapat dibenarkan atas dasar kesehatan masyarakat. Kebijakan fortifikasi mempersulit impor tepung terigu, karena SNI untuk fortifikasi tepung terigu berbeda dengan negara lain.
“Oleh karena itu, industri tepung terigu di dalam negeri merasa bahwa mereka dapat terlindungi dari tepung terigu impor dengan adanya persyaratan fortifikasi... Setelah undang-undang resmi untuk fortifikasi tepung terigu dikeluarkan pada 2001, efeknya sangat dramatis. Pada 2001, impor tepung terigu menurun drastis. Industri ini ingin memastikan bahwa peraturan tersebut akan terus menghalangi pesaing asing mereka. Bahkan, setelah inisiasi undang-undang fortifikasi, mereka berulang kali mengeluh bahwa sebagian besar tepung impor masih belum difortifikasi sesuai dengan SNI dan mendesak pemerintah untuk melakukan pemantauan yang lebih ketat. […] Lobi mereka sebagian berhasil. Beberapa tahun setelah dimulainya kebijakan fortifikasi tepung terigu ini, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang mewajibkan tepung impor untuk didaftarkan ke Departemen Kesehatan,” Jelas Kimura.
Persaingan antara industri tepung terigu dalam negeri dengan terigu impor di balik pemberlakuan fortifikasi tepung terigu membuat kebijakan ini menjadi sasaran kritik. Mereka beranggapan alih-alih mengutamakan kepentingan rakyat –pada saat itu banyak pihak mempertanyakan mengapa kebijakan fortifikasi ini menyasar terigu dan bukan beras yang umum dikonsumsi masyarakat luas– kebijakan ini sesungguhnya hanyalah kebijakan proteksionis terselubung yang berkedok kebijakan anti gizi buruk.
Baca juga: Stunting dan Sejarahnya di Indonesia
Sorotan juga sempat diarahkan kepada fortifikasi minyak goreng. Dalam laporan bertajuk Ringkasan Fortifikasi Minyak Goreng di Indonesia yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas berkolaborasi dengan UNICEF tahun 2023, tertulis bahwa persyaratan fortifikasi untuk minyak goreng diatur dalam SNI 7709. SNI pertama diterbitkan pada 2012 dan diperbarui pada 2019, di mana keduanya mencantumkan kewajiban fortifikasi sebesar 45 IU/g (International Unit/gram). Fortifikasi minyak goreng secara wajib diberlakukan untuk SNI tahun 2019, lembaga kesesuaian juga telah ditunjuk, dan SNI tersebut telah diinformasikan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Dari hal yang telah disebutkan, kebijakan terkait fortifikasi minyak goreng dapat dikatakan lengkap dan jelas. Akan tetapi, terdapat kebingungan terkait SNI mengingat dua SNI untuk minyak goreng baik tahun 2012 maupun 2019 berstatus masih berlaku,” tulis laporan tersebut.
Pendapat berbeda di antara para pemangku kepentingan terkait cakupan fortifikasi minyak goreng juga menuai pro dan kontra. Sebagian pihak meyakini bahwa fortifikasi minyak curah untuk produsen pangan olahan tidak perlu dilakukan. Namun, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengakui bahwa fortifikasi berlaku baik untuk minyak yang dikemas maupun yang tidak dikemas. Peraturan Menteri Perindustrian No. 46 Tahun 2019 sendiri cukup membingungkan bagi mereka, sehingga banyak pemangku kepentingan yang menafsirkan bahwa fortifikasi hanya diwajibkan untuk minyak kemasan. Hal ini menjadi masalah karena pada 2020, sebanyak 42 persen minyak goreng untuk pasar dalam negeri tidak dikemas.
“Namun, Peraturan Menteri Perdagangan No. 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat mengatur terkait kepatuhan terhadap persyaratan pengemasan dengan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri dan memberikan insentif kepada produsen untuk ekspor minyak. Dalam peraturan tersebut juga ditetapkan harga eceran maksimum dan merek generik untuk program minyak goreng rakyat ‘Minyakita’,” tulis laporan yang disusun Bappenas dan UNICEF.
Baca juga: Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia
Kendati penerapannya belum sempurna dan dibayangi kontroversi, proyek fortifikasi pangan masih menjadi andalan bagi pemerintah untuk mengatasi defisiensi gizi yang dapat menyebabkan stunting. Setelah memberlakukan fortifikasi wajib garam, tepung terigu dan minyak goreng, beras menjadi sasaran selanjutnya. Sejumlah kecil beras terfortifikasi telah diproduksi di Indonesia secara sukarela dan komersial. Sebagaimana dilaporkan oleh Bappenas dan UNICEF dalam Ringkasan Fortifikasi Beras di Indonesia yang dipublikasikan pada 2023, program Badan Pangan Nasional (Bapanas) berpeluang untuk penerapan fortifikasi beras sebagai strategi mengurangi defisiensi gizi mikro sejak berakhirnya program Beras Sejahtera (Rastra).
“Program tersebut akan menciptakan jaminan permintaan sehingga dapat memberikan kepercayaan diri kepada penggiling padi untuk menginvestasikan waktu dan sumber daya dalam meningkatkan kapasitas mereka memproduksi beras fortifikasi berskala besar. […] Saat ketersediaan meningkat, perbedaan harga antara beras yang difortifikasi dan tidak difortifikasi akan berkurang sehingga dapat meningkatkan permintaan,” tulis Bappenas dan UNICEF.*
* Oleh Amanda Rachmadita dan Martin Sitompul
Tambahkan komentar
Belum ada komentar