Penulis Sunda dengan Nama Pena Tionghoa
Oejeng Suwargana adalah penulis dan penerbit berpengaruh. Masa mudanya pernah merasakan dunia tentara.
MAS “Kanduruan” Kartaatmaja adalah seorang mantri guru, sebuah jabatan yang sangat dihormati di era kolonial. Ia punya istri bernama Raden Ratna Soerasti. Darinya, Mas Kunduruan mendapatkan beberapa anak. Mulai dari Anih, Djakaria, Uang Ranuatmadja, Imi Soeratmi, Daeng Soetigna, Onong Siti Soehara, Oeteng Soetisna, dan Oejeng Soewargana.
Keluarga mereka terakhir tinggal di Pangandaran. Kala itu, Pangandaran hanyalah kota kecil. Sarana dan prasarana terbatas, bahkan kurang. Termasuk akses pendidikan.
“Ketika itu di Pangandaran belum ada sekolah, bahkan antara Parigi dan Cijulang pun belum ada sekolah. Kartaatmadja sebagai mantri guru kemudian membuka sekolah di Pangandaran. Ia rajin ke desa-desa untuk mencari murid agar anak-anak desa mau bersekolah. Hasilnya cukup mendapat perhatian dan maju sehingga ia mendapat anugerah gelar Kanduruan Kartaatmadja,” tulis Helius Sjamsuddin dan Hidayat Winitasasmita dalam Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia.
Kondisi tersebut membuat seseorang yang ingin maju mau tak mau mesti ke Bandung sebagai pusat di Jawa Barat. Di sanalah pendidikan yang lebih baik bisa didapat.
Maka ke Bandunglah Daeng Soetigna dan adik-adiknya belajar. Salah satu adik Soetigna, yakni Oejeng, terbilang sangat cerdas. Ia pernah bersekolah di Hollandsch Inlandsch Kweekschool (HIK) Bandung dan lulus tahun 1938.
Semestinya, sebagai lulusan HIK Oejeng menjadi guru. Namun, dia tidak memilih profesi itu sebagai jalan hidupnya. Kecamuk Perang Dunia II justru membuat Oejeng mencoba pengalaman berbeda, yakni masuk militer Belanda. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit , dirinya tergabung sebagai calon perwira milisi pribumi untuk tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) sebelum kedatangan tentara Jepang.
Namun, Oejeng tak benar-benar menjalankan tugas sebagai perwira. Alih-alih melawan tentara Jepang, KNIL memilih “lari tinggal gelanggang”. Maka setelah masa pendudukan Jepang, dia bukan militer lagi.
Oejeng kembali jadi militer setelah Jepang kalah dan Perang Dunia II berakhir. Kali ini ia jadi tentara Republik Indonesia. Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, dirinya pernah menjadi kepala logistik di Divisi Siliwangi.
Di sana pula, kawannya yang orang Mandailing, Sumatra Utara dan sama-sama di sekolah guru Bandung dan KNIL, yakni Abdul Haris Nasution, juga masuk militer dan berdinas. Nasution bahkan sampai jadi panglima Divisi Siliwangi dan kariernya di militer terus menanjak hingga puncak.
Hubungan Oejeng dengan Nasution terus terjalin baik hingga masa senja. Seperti diakui Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda, Oejeng sudah seperti saudara kandungnya. Keduanya sama-sama antikomunis, bahkan ada yang menuduh sebagai agen CIA. Namanya dikait-kaitkan dalam Pertemuan Meja Bundar yang hendak diadakan Elliot Hayness setelah 1967, sepeti tercatat dalam Arsip Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta (Jakarta Embassy File) yang dibuka beberapa tahun silam. Ini tentu terkait pengaruh Oejeng di bidang pendidikan dan penerbitan, bidang yang ditekuni Oejeng selepas Perang Kemerdekaan.
Setelah perang, Oejeng tak melanjutkan kariernya di militer. Dia memilih kembali ke dunia pendidikan.
“Setelah berhenti dari dinas ketentaraan, lalu bekerja di percetakan AC Nix, di Jalan Gereja No. 3, Bandung,” tulis Tatang Sumarsono & Erna Garnasih Pirous dalam Membela Kehormatan Angklung: Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna.
Semasa di sana, Oejeng menulis banyak buku teks untuk sekolah-sekolah yang diterbitkan oleh AC Nix. Oejeng termasuk penulis produktif di era 1950-an.
Namun, Oejeng tak selalu memakai nama Oejeng Soewargana dalam karya-karya yang ditulisnya. Terkadang dirinya memakai nama pena Oey Eng Soe hingga terkesan seperti orang Tionghoa, seperti di bukunya Badingkut (1966).
“Bukunya sukses karena dibeli oleh pemerintah untuk digunakan di sekolah-sekolah. Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, A.C. Nix dibeli oleh Oejeng dan perusahaan itu berubah nama menjadi Ganaco,” tulis Ajip Rosidi dalam Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan Otobiografi Ajip Rosidi.
Oejeng serius menjalankan Ganaco hingga membesar. Di sana, ia dibantu abangnya, Daeng Soetigna.
Tak hanya Ganaco, Oejeng kemudian mendirikan penerbit lain: Masa Baru. Selain sukses dengan penerbitannya, Oejeng dikenal di kalangan perbukuan sebagai salah satu tokoh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar