Mengupas Mitos Pohon Upas
Pohon pembawa kematian dari Nusantara menjadi buah bibir masyarakat Eropa. Ternyata hanya mitos belaka.
SEROMBONGAN pengembara berteduh di bawah pohon di sebuah tanah lapang. Semenit kemudian seorang jatuh dan mati tanpa sebab. Yang lain lari tunggang-langgang sebelum akhirnya satu persatu juga jatuh dan mati. Mereka tidak tahu pohon itu adalah pohon upas.
Cerita menyeramkan pohon upas terus-menerus direproduksi, sejak kali pertama keberadaannya dicatat Friar Odoric (1286-1331), misionaris Italia yang mengunjungi Nusantara abad ke-14.
Tiga abad kemudian, botanis Belanda kelahiran Jerman, George Eberhard Rumphius (1627-1702), mendapat sampel batang pohon upas ketika menjadi pegawai VOC di Makassar.
Dalam bukunya yang monumental, Herbairum Amboinese, Rumphius menulis tentang pohon upas dengan menarik dan agak berlebihan. “Udara di sekitar pohon begitu tercemar sampai-sampai jika ada seekor burung hinggap di dahan pohon, burung itu akan langsung kehilangan kesadaran dan jatuh mati,” tulis Rumphius.
Namun, orang paling bertanggungjawab atas kehebohan mitos pohon upas adalah seorang Jerman yang pernah tinggal di Jawa, John Nichols Foersch, dalam artikelnya di The London Magazine tahun 1783. Dia menulis bagaimana para tahanan penjara sering ditugaskan mengumpulkan getah pohon upas; hanya satu dari sepuluh orang yang bisa kembali hidup-hidup.
Pohon upas juga disebut dalam buku The Botanic Garden yang ditulis tahun 1791 oleh sastrawan dan naturalis Inggris, Erasmus Darwin (1731-1802). Dalam buku puisinya yang laris terjual itu, dia meromantisasi mitos upas sebagai pohon keramat yang melahirkan monster-monster pembawa kematian.
Apakah cerita pohon upas itu sepenuhnya benar? Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) mengutus Thomas Horsfield (1773-1859), naturalis asal Amerika Serikat, untuk membuktikan mitos tersebut. Hasilnya, pohon upas memang mematikan, tapi hanya lendir getahnya.
“Efek racun pohon upas itu cukup mengejutkan kala diujicobakan kepada seekor ayam dan anjing, yang pertama langsung mati kurang dari dua menit dan yang satunya dalam sekitar delapan menit,” tulis Victoria Glendinning dalam Raffles and the Golden Opportunity.
Dalam laporannya pada 1812, Horsfield mengutarakan bahwa penduduk lokal sudah menyadari khasiat racun pohon upas untuk keperluan membunuh lawan-lawannya. Sekali terkena getah racunnya, orang tersebut akan kejang-kejang lalu mati.
“Orang-orang Makassar, Borneo, dan pulau-pulau di daerah timur menggunakan racun itu melalui panah bambu (yang ujungnya ditajamkan), lalu kemudian mereka lepaskan dengan cara ditiup (disumpit),” demikian laporan Horsfield yang dimuat dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c suntingan Sophia Raffles.
Mitos di sekitar pohon upas sudah begitu mengakar di tengah-tengah para naturalis Eropa di awal abad ke-19. Raffles dalam History of Java, William Marsden (1754-1836) dalam The History of Sumatra, dan John Crawfurd (1783-1868) dalam History of the Indian Archipelago, menyinggung keberadaan pohon upas, sekaligus menyangkal mitosnya.
“Segala hal yang kita tahu mengenai kebenaran pohon upas ialah, sebuah dusta mengerikan dari orang yang menyebarkan mitos ini dan sikap prasangka buruk yang luar biasa dari mereka yang mau mempercayai khayalan sia-sia ini darinya,” tulis Crawfurd dengan ketus.
Sampai sekarang, pohon upas masih dapat ditemukan di Indonesia. Di Jawa, ia lebih dikenal sebagai pohon ancar, yang akhirnya menjadi nama ilmiah untuk pohon ini, Antiaris toxicaria.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar