Soetarni Ditahan bersama Tujuh Anaknya
Soetarni ditahan di markas Kodim pasca G30S. Tujuh anak turut bersamanya. Yang bungsu berusia tiga bulan.
Pasca peristiwa G30S, keluarga Wakil Ketua CC PKI Nyoto kelimpungan mencari rumah persembunyian. Setelah mengungsi dari rumah satu ke rumah yang lain, Nyoto akhirnya harus berpisah dengan Soetarni dan enam anaknya di sebuah rumah di Kawasan Gunung Sahari. Rumah yang ditinggali oleh sejumlah aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) itu menjadi saksi bisu pertemuan terakhir Nyoto dan keluarganya. Nyoto hilang dan makamnya tak pernah ditemukan.
Soetarni kala itu tengah hamil muda. Anak-anaknya masih kecil, Svetlana Dayani (9), Ilham Dayawan (8), Timoer Dayanang (7), Risalina Dayanah (5), Irina Dayasih (4), dan Fidelia Dayatoen (2). Anak ketujuh kemudian lahir pada 23 Juli 1966. Namanya Esti Dayati. Namun, karena rumah itu mayoritas dihuni mahasiswa Batak, bayi perempuan terakhir Nyoto itu mendapat julukan Butet.
"Saat Butet berusia tiga bulan, rumah kost tersebut digerebek. Seluruh isi rumah diobrak-abrik. Para mahasiswa yang ada di situ semuanya ditangkap. Namun Tarni dan ketujuh anaknya dibiarkan berada di rumah itu di bawah penjagaan beberapa tentara," tulis Fransisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Soetarni dan anak-anaknya lolos malam itu. Seorang mahasiswa mengatakan bahwa Soetarni adalah Mariana, istri kakaknya. Namun, pengakuan palsu itu terbongkar keesokan harinya dan Soetarni ditangkap.
Soetarni ditahan di markas Kodim di Jalan Budi Kemuliaan. Bersama tujuh anaknya, ia dikurung di sebuah kamar sempit yang telah berisi sembilan tahanan perempuan yang dituduh sebagai kader maupun simpatisan PKI. Pada malam kedatangannya, Soetarni diinterogasi selama berjam-jam. Sementara itu, Butet, bayi kecilnya terus menangis mencari sang ibu.
“Ia duduk berjam-jam di ruang interogasi, meninggalkan Butet yang masih membutuhkan air susunya. Ia diperlihatkan ratusan atau bahkan ribuan foto yang dituang dari dalam kardus ke meja di depannya. Ia disuruh menunjuk wajah mana yang ia kenal. Namun, satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutnya adalah: Tidak tahu!" tulis Susanti.
Baca juga: Keluarga yang Terpisah karena 1965
Anak keempat Nyoto dan Soetarni, Irina Dayasih juga punya memori mengerikan dari masa penahanan yang begitu membekas. Mengutip Susanti, Irina Dayasih dalam bukunya Tragedi Kemanusiaan 1965–2005, menyebut bahwa tahanan Kodim menjadi tempat pertama kali ia mendengar ada orang mati ditembak. Usianya baru menginjak empat tahun kala mendengar kekejaman militer itu.
Anak-anak Soetarni sesungguhnya tak pernah rewel apalagi merepotkan. Justru, karena mereka cukup makan dari satu besek saja, jatah lebihnya diberikan kepada para tahanan lain. Meski demikian, tetap saja, segala kengerian penjara Orde Baru mempengaruhi psikis mereka. Saat itu, Svetlana Dayani, anak tertua saja baru berusia sembilan tahun.
Svetlana, anak usia sembilan tahun itu ternyata diminta membersihkan ruang interogasi setiap pagi. Ia membuang abu rokok dan membersihkan bekas-bakas penyiksaan. Ia bahkan melihat cambuk ekor pari yang masih berlumur darah. Belakangan diketahui, seperti ditulis Martin Aleida dalam memoarnya, Romantisme Tahun Kekerasan, salah satu korban cambuk ekor pari itu ialah penyair Putu Oka Sukanta.
Baca juga: Putu Oka Sukanta Menjadi Manusia Lagi
Kengerian tak sampai di situ. Svetlana seringkali melihat para tahanan diseret keluar dari ruang penyiksaan dengan wajah berlumuran darah.
“Biasanya, ibu menutupi wajah saya atau biasanya kami disuruh tidur,” terang Svetlana dalam Potret Retak Keluarga Korban G30S yang disusun oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.
Soetarni dan anak-anaknya ditahan selama tiga bulan. Ia kemudian dibebeskan dan memilih tinggal di rumah kakaknya di Wonogiri. Namun, pada 1969, ia kembali ditangkap. Kali ini tak hanya hitungan bulan. Ia ditahan dari penjara ke penjara hingga berakhir di penjara perempuan Plantungan, Jawa Tengah. Anak-anaknya harus tumbuh tanpa ibu yang dipenjara tanpa sebab. Soetarni baru bebas pada 1979.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar