Riwayat Bupati Pertama Jombang
Semacam monarki, keluarga ini memiliki tradisi mewariskan jabatan bupati ke anak pinak. Itu pun kudu laki-laki.
ADA dua tokoh berbeda tetapi secara kebetulan bernama mirip. Raden Ario Setjo Negoro seorang korps militer Bangkalan, dengan Raden Ario Setjonegoro yang merupakan bupati Jombang pertama. Secara kebetulan nama mereka sama dan lahir atau berkarier di generasi yang hampir bersamaan pula.
Raden Ario Setjo Negoro meniti kariernya di militer KNIL. Dia merupakan adik dari pangeran Keraton Sumenep Madura. Bangsal pertamanya ialah kesatuan militer De Barisan-Korpsen Op Madoera.
Dia memang berbakat sebagai tentara dan kariernya cukup tokcer. Pangkat awalnya sersan, lalu selanjutnya naik menjadi 2de luit. van den barissan van Bangkalan (setingkat letnan dua) pada 21 Juni 1877. Dia menerima anugerah penghargaan Ridders van de vierde klasse (Ksatria kelas empat).
Catatan penganugerahan tersebut tersimpan rapi dalam Staats Almanak voor het Koningrijk der Nederlanden. Nama dan pangkat Raden Ario Setjo Negoro juga turut dimuat dalam Bataviaasch Handelsblad tanggal 25 November 1875. Dijelaskan dalam koran itu, dia tengah melakukan lawatan dengan kapal uap ke Semarang dan Surabaya. Pun warta De Locomotief tanggal 27 Agustus 1877 yang menulis pangkat Raden Ario Setjo Negoro sebagai de 2e luit (red: de tweede luitenant).
Petrik Matanasi dalam artikel berjudul “Bupati Jombang Veteran Perang Aceh” mengait-silangkan Raden Ario Setjo Negoro dengan “Raden Ario Setjonegoro” yang menjadi bupati pertama Jombang. Sebuah penyimpangan yang bermula dari salah tafsir nama.
Bupati Jombang Pertama
Raden Ario Setjonegoro tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di barak militer–antitesis atas klaim Petrik Matanasi.
Dia lahir sekitar tahun 1860-an dengan nama pupak puser (copot tali pusar) Bagus Badrun. Dari penuturan Fahrudin Nasrulloh dkk. dalam Biografi Bupati Jombang (2010), Bagus Badrun kecil mengenyam pendidikan agama dan sempat memondok di Pesantren Giri. Dia juga turut melakoni pelatihan ilmu bela diri dengan masuk ke Perguruan Gilingwesi.
Di dekat waktu inilah Bagus Badrun mengalami masa pendadaran. Dia mengubah namanya menjadi Raden Setjonegoro, marwah usia dewasanya. Waktu itu, dia gelar “Ario” belum terpampang di namanya.
Pada 1883, dia bekerja magang di bawah naungan Assisten-Resident (AR) Jombang Ketting Olivier.
Karier profesional awal Raden Setjonegoro pada mulanya ialah menjadi juru tulis tak digaji di Wedono Modjoredjo, “nama lama” Kecamatan Jombang, mulai 5 Maret 1883 sampai 8 Maret 1890. Kemudian lanjut menjadi juru tulis jaksa di Sidayu (8 Maret 1890–8 Juli 1891), dan naik jabatan sebagai ajun jaksa pada 8 Juli 1891.
Hal ini tertampil pada biografinya yang termuat di De Indische Courant dengan judul “Het jubileum van Djombang” tertanggal 3 Januari 1936. Sebulan setelah Jombang memperingati jubileum (hari jadi) ke-25.
Di sana juga tertulis permintaan penambahan gelar Raden Setjonegoro kepada gubernur jenderal. Dia berhak menyandang gelar “Ario”, berdasar Bijblad No. 66. Kali ini gelarnya Raden Ario (RA) Setjonegoro.
Gelar tersebut secara khusus diperolehnya ketika menjabat sebagai Bupati Sidayu (5 Maret 1894–1910). Jabatan yang diwariskan turun-temurun.
Kakeknya adalah bupati Sidayu yang menjabat selama 39 tahun dari 1816 hingga 1855. Namanya Raden Adipati Ario (RAA) Soeroadiningrat III (lahir 1787 dan wafat di usia 68 tahun pada 8 Maret 1858).
Menurut pemberitaan De Indische Courant pada 6 April 1937, RAA Soeroadiningrat III pernah membantu Belanda menghadang Pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa tahun 1827–1828. Diketahui, dia tergabung ke dalam pasukan pimpinan Raden Tumenggung Soerodilogo. Pasukan ini berhasil mengalahkan kombatan Diponegoro di dekat Desa Bedahan wilayah Babat. Mereka juga menaklukkan regentschap Radjegwesi (sekarang Kabupaten Bojonegoro) dan membebaskan Surabaya dari rundungan perang.
Sedangkan ayah Raden Ario Setjonegoro, RAA Soeroadiningrat IV, mewarisi takhta kakeknya. Ayahnya menjabat sebagai bupati Sidayu selama 28 tahun. Sedari 1855 hingga akhir hayat 1884.
Pada 1908, Raden Ario Setjonegoro dianugerahi gelar “Adipati” berdasar keputusan gubernur jenderal sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya. Setelah regentschap Sidayu dibubarkan, dia dimutasi dan dilantik sebagai bupati Jombang pertama pada 1 Desember 1910 dengan gelar RAA Soeroadiningrat V (menurun dari gelar kebangsawanan leluhurnya).
Selama menjabat bupati Jombang, RAA Soeroadiningrat V memperoleh beberapa penghargaan bergengsi. Pada 31 Agustus 1913, dia beroleh besluit penghargaan Gele Songsong (G. S.) atau gouden pajong (Payung Emas) dari gubernur jenderal. Namun dari laporan Java-Bode dalam De Expres, penganugerahan gouden pajong baru dihelat pada 25 Oktober, dengan pesta perayaan selama tiga hari. Sebuah pasar malam dan hiburan rakyat di alun-alun turut menjadi pemeriah.
Pada 5 Maret 1924, sang bupati mendapat penghargaan Officier der Orde van Oranje-Nassau. Kemudian pada 5 April 1930, dia mendapat penghargaan Ridder der Orde van den Nederlandschen Leeuw.
Lahirnya Jombang
Pada mulanya Jombang adalah bagian dari regentschap Mojokerto. Jombang kemudian memisahkan diri dan menjadi afdeeling sendiri berdasar besluit No. 553 tertanggal 21 Oktober 1910. Sekarang, tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Jombang.
Namun, hari lahir tersebut menuai polemik di kalangan sejarawan lokal Jombang. Besluit No. 553 itu baru diterima oleh Raden Ario Setjonegoro pada November 1910. Lepas itu, dia dilantik menjadi bupati pertama pada 1 Desember 1910 dengan gelar RAA Soeroadiningrat V.
Apabila mengacu pada artikel “Het jubileum van Djombang”, mestinya perayaan hari jadi Jombang dihelat saban 1 Desember (sesuai tanggal pelantikan RAA Soeroadiningrat V). Namun, saat Bupati Mundjidah Wahab menjabat, hari lahir ini berubah jadi 21 Oktober, mengacu pada tanggal dikeluarkannya besluit regentschap Jombang. Hari lahir ini termuat dalam Peraturan Bupati Jombang Nomor 63 Tahun 2019.
Mewariskan Jabatan Bupati
Masyarakat Jombang menjuluki bupati pertama mereka sebagai “Kanjeng Sepuh”. Hari ini, popularitas julukan itu lebih menonjol. Masyarakat lebih akrab dengan sebutan “Kanjeng Sepuh” untuk merujuk bupati pertama mereka. Simbol lokal yang lebih melekat dibanding nama aslinya.
Raden Ario Setjonegoro alias RAA Soeroadiningrat V pensiun pada 8 April 1930 setelah 26 tahun menjabat bupati Jombang.
Penggantinya adalah anak kandungnya, yakni RAA Setjoadiningrat (lahir 31-8-1897) alias RAA Soeroadiningrat VIII. Nama mudanya adalah Pangeran Sarwadji. Dia merupakan putra bungsu, satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara, berturut setelah Raden Ajoe Badarijah (wafat 10-7-1948) dan Raden Ajoe Asiah Aermoenah (wafat 15-12-1983).
Semacam monarki, keluarga ini memiliki tradisi mewariskan jabatan bupati ke anak pinak. Itu pun kudu laki-laki.
RAA Soeroadiningrat V meninggal dunia pada 20 April 1946. Sedangkan RAA Setjoadiningrat meninggal 9 Juni 1963. Kini, keduanya melakoni tidur panjang di kompleks makam keluarga Pesarean Pulo Sampurno, belakang Taman Makam Pahlawan Jombang.*
Penulis kelahiran Jombang. Setelah lulus dari Ilmu Sejarah UNY melakoni aktivisme sebagai buruh lepas baca, tulis, dan melantur di mana saja.
Artikel ini merupakan koreksi atas artikel berjudul “Bupati Jombang Veteran Perang Aceh” yang kemudian diperbaiki oleh redaksi historia.ID menjadi Orang Madura dalam Perang Aceh
Tambahkan komentar
Belum ada komentar