Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat
Sebagai pemimpin adat, makam Tan Malaka akan dipindahkan dari Selopanggung ke kampung halamannya di Pandam Gadang.
Rasa haru memancar di mata Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka kala menyerahkan penampan berisi bendera merah putih dan kelengkapan penghulu di Ranah Minang kepada Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu, dalam prosesi adat penjemputan jasad Tan Malaka, di Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sabtu, 14 Januari 2016.
Pemangku gelar adat Tan Malaka ketujuh tersebut mewakili 142 niniak mamak (penghulu dan pemimpin suku) di bawah panji Kelarasan Bungo Setangkai yang meliputi Nagari Pandam Gadang, Nagari Suliki, dan Nagari Kurai.
Dilahirkan di Pandam Gadang pada 2 Juni 1897, Ibrahim Datuk Tan Malaka meregang nyawa di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, pada 21 Februari 1949. Makamnya di Selopanggung, baru diketahui puluhan tahun kemudian berbekal penelitian sejarawan Harry A. Poeze.
Sepanjang riwayatnya hingga kini, beban komunis melekat pada Tan Malaka. Begitu juga dengan mitosnya. Padahal, dia merupakan pencetus gagasan kemerdekaan Indonesia lewat catatannya, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925. Oleh sebab itu, Muhammad Yamin melabelinya sebagai Bapak Republik. Namun, dia tidak pernah memangku jabatan sebagai pemimpin di Republik ini.
Baca juga: Harry Poeze 40 Tahun Mencari Tan Malaka
Atas jasanya kepada Republik, pada 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Sedangkan di kampung halamannya, dia adalah pemimpin abadi dalam adat Minangkabau. Penobatannya sebagai pemangku gelar pemimpin kaum Datuk Tan Malaka sebelum sekolah ke Belanda tahun 1913, menjadikannya sebagai pemimpin dalam sukunya. Pada akhirnya, dia memilih memakai nama gelar adat Tan Malaka ketimbang nama lahir, Ibrahim.
Bukan saja pemimpin klan Koto Simabua, Tan Malaka juga memimpin 142 penghulu dalam Kelarasan Bungo Setangkai Suliki. Dia bergelar Rajo Adat Bungo Setangkai Suliki Luhak 50. Wilayah kekuasaan adatnya, tidak sebatas Nagari Pandam Gadang, tapi juga Nagari Kurai dan Nagari Suliki. Oleh karena itu, prosesi penjemputan jasad Tan Malaka, disesaki ribuan orang dari kampung-kampung tersebut. “Saya kesini karena ingin melihat upacara penjemputan pemimpin kami,” ujar Er, seorang warga Suliki.
Raja yang Hilang
Sebagai pemberitahuan, penampan yang berisi syarat penjemputan secara adat, diarak di tengah orang kampung yang turun berduyun-duyun. Ini menjadi siar bahwa Ibrahim Datuk Tan Malaka akan segera kembali ke tanah Pandam Gadang. Prosesi diawali dengan pemukulan batu purba Talempong Batu di Nagari Talang Anau, tidak jauh dari Pandam Gadang.
Para penghulu atau pemimpin suku memakai baju kebesaran, berarak-arakan dari Talang Anau menuju kabalai (balai adat) Pandam Gadang. Di sana mereka bersilat kata untuk merundingkan penjemputan Tan Malaka. Para perempuan yang memikul gelar Bundo Kanduang di masing-masing kesukuan, menjunjung dulang berisi beragam menu makanan yang disepakati secara adat.
Tampilan budaya Minang dan budaya Jawa seperti Reog Ponorogo, seakan mengisyarakat kekompakan dua daerah ini menjunjung Tan Malaka. “Prosesi tersebut penyerahan mandat dari keluarga besar Tan Malaka dan niniak mamak dari Kelarasan Bungo Setangkai yang berjumlah 142 orang ke Tan Malaka Institute dan YPP PDRI untuk mengurus secara administrasi pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung, Kediri, ke Pandam Gadang,” terang Hengky Novaron Arsil Dt. Tan Malaka.
Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi
Hengky merupakan pewaris ketujuh menggantikan Abdul Muis. Sementara Ibrahim sendiri adalah Tan Malaka keempat. Di atasnya, bercokol nama Amat, Ma’ali, Abu Tahir. Sedangkan pengganti Ibrahim adalah Somat yang digantikan oleh Abdul Muis.
Tan Malaka sebagai pemimpin adat menjadi alasan kuat jasadnya harus dipindahkan. “Dia bukan hanya pahlawan, tapi juga Raja Bungo Setangkai, membawahi tiga nagari (Pandam Gadang, Suliki, dan Kurai), 142 datuak, 8 dubalang, 1 tuanku rajo, 8 datuak pucuk, dan 135 datuak andiko,” jelas Hengky.
Secara tradisi, pemimpin adat atau penghulu dikuburkan di tanah sendiri. Berbeda dengan Tan Malaka, para pendahulu dan penggantinya hingga estafet keenam dikubur di sekitar rumah gadang. Oleh sebab itu, Hengky ingin Tan Malaka dimakamkan di samping para penghulu yang pernah pemimpin Kelasaran Bungo Setangkai.
Secara adat, kata Hengky, pemindahan sako atau gelar itu, dari datuk secara turun-temurun belum terlaksana karena hilangnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Setelah kita temukan, termasuk karena bantuan peneliti Belanda Harry Poeze, makanya secara adat, kita coba lagi untuk meneruskan tongkat estafet ini,” ujarnya.
Baca juga: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional Tan Malaka dan Alimin
Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan mengatakan, jika ditilik dari sisi adat maupun agama, jasad Tan Malaka memiliki persyaratan yang cukup untuk dipindahkan. Secara agama, sebutnya, ada tiga perkara jasad seorang muslim bisa dipindahkan atau dibongkar yakni belum melaksanakan syariat Islam, gugur atau dimakamkan tidak di tanah kekuasaannya, dan mencari kebenaran atau selama ini disengketakan.
“Posisi Tan Malaka sangatlah final dan penting bagi kaumnya sendiri. Di wilayah adat dia membawahi 142 niniak mamak atau kaum, di Kelarasan Bungo Setangkai (tiga nagari: Pandam Gadang, Suliki, dan Kurai). Adatnya dari Agam, mainan urang 50 Kota,” ujarnya.
Dalam sistem adat, Tan Malaka adalah raja yang hilang sehingga orang kampungnya berkewajiban melakukan penjemputan. Ferizal menjelaskan, ada pituah yang mengatakan setiap pemangku adat (pembawa gelar yang kedudukannya raja), apabila meninggal paling lambat 100 hari dilakukan menjemput anggun-anggun (secara adat: mungkin kekuasaaan, pusako yang pernah dibawa untuk berkeluarga), mesti diselesaikan secara adat.
Lalu, sambung Ferizal, prosesi pemindahan gelar diawali oleh pemakaman, baru prosesi menaiki ke balai (masih penghulu kaum) untuk dijadikan komponen Nagari agar duduak samo randah, tagak samo tinggi, baru batagak panghulu.
Pemangku adat harus dimakmkan di tanah ibunya karena kita memakai sistem matriakat. “Ini marwah adat,” tukas Ferizal.
Ferizal mengatakan, penjemputan akan dilakukan secara adat dan secara kebangsaan untuk menghormati Tan Malaka sebagai Bapak Republik. Secara adat, para delagasi akan membawa perlengkapan penghulu yang sejatinya melekat pada Tan Malaka sebagai pemimpin adat.
“Pakaian sapatagak (baju, sarawa galembong, pakaian niniak mamak, karih, tungkek, payuang), Alquran, kain kapan, lambang burung garuda, dan bendera merah putih,” jelasnya.
Pembongkaran Makam
Menurut rencana, pembongkaran makam di Selopanggung akan dilakukan pada 21 Februari 2017 sesuai tanggal tewasnya Tan Malaka. Selanjutnya, pada 22 Februari, jasadnya dibawa ke Pandam Gadang, dan pentilasan (duplikasi) diarak di 49 kabupaten dan kota yang pernah disinggahi Tan Malaka, termasuk juga rencana dibawa ke Istana Negara.
Ferizal menargetkan jasad Tan Malaka sampai di Pandam Gadang pada 13 April, sesuai dengan ulang tahun Kabupaten Limapuluh Kota.
Baca juga: Penghargaan untuk Tan Malaka
Walinagari Pandam Gadang Khairul Apit menambahkan, sangat penting jasad Tan Malaka dijemput karena ada satu prosesi yang selama ini tidak terlaksana secara sempurna, yaitu ketika seorang penghulu yang akan melanjutkan gelar pusaka itu, ada prosesi batungkek budi. Jadi, itu harus ada namanya bapuntiang di tanah sirah, yakni prosesi yang dilakukan di pandam perkuburan. “Jadi prosesi inilah yang harus kita laksanakan di Pandam Gadang, setelah Tan Malaka bisa kita bawa,” ujarnya.
Sementara itu, keponakan Tan Malaka, Zulfikar, mengatakan bahwa kepada ayahnya Kamaruddin, Tan Malaka pernah berpesan agar dimakamkan di tempat di mana dia meninggal. Namun, Zulfikar tidak menghalangi upaya pemindahan makam Tan Malaka. Sebab, baginya yang terpenting bagaimana ide, gagasan, dan pemikiran Tan Malaka diresapi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar