Ketika Demokrasi Mengendalikan Shinto
Tak ingin Shinto disalahgunakan kaum ultranasionalis dan militeris kembali, Sekutu mengendalikannya lewat Shinto Directive.
Di depan corong radio nasional Jepang, Hideo Kishimoto, ahli budaya dan Shinto, mengumumkan hal penting pada 17 Desember 75 tahun silam. Pengumuman yang dibacakannya atas permintaan Civil Information and Educational (CIE), seksi di Supreme Commander for Allied Powers (SCAP) pimpinan Jenderal Douglas MacArcthur, itu tentang Shinto Directive yang dikeluarkan SCAP dua hari sebelumnya. Shinto Directive membawa Jepang keluar dari era lama yang banyak berdasarkan nilai-nilai Shinto.
“Semangat kebebasan beragama dipatuhi sepenuhnya dan kebebasan berkeyakinan dalam menghormati tempat suci dijamin sepenuhnya. Kuil menghadapi kebutuhan untuk mengembangkan karakter religius mereka dan mulai sekarang dapat dengan bebas berusaha untuk membuat awal yang baru ke arah yang baru,” demikian penggalan pidato Kishimoto sebagaimana dikutip Helen Hardacre dalam Shinto: A History.
Shinto Directive digagas MacArthur setelah penandatanganan penyerahan resmi Jepang kepada Sekutu di geladak kapal USS Missouri, 15 September 1945. Tujuannya untuk memisahkan Shinto (agama) dari negara.
MacArthur menilai, pemisahan itu merupakan prasyarat agar janji pembangunan politik dan ekonomi Jepang oleh Amerika pascaperang dapat dilaksanakan. Pembangunan hanya dapat dijalankan apabila sifat ultranasionalis dan militeristis pada rakyat Jepang sudah dihilangkan. Untuk dapat menghilangkan keduanya, dia –sebagaimana para sarjana Amerika memandang Shinto– menganggap bahwa yang pertama harus dibenai adalah akar dari keduanya, yakni Shinto. MacArthur kemudian menugaskan kepala CIE Letnan William K. Bunce, yang merupakan ahli budaya Jepang, untuk mengkonsep Shinto Directive.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
“Sebagaimana dinyatakan dalam kalimat pembukaannya, Directive tersebut dikeluarkan untuk (1) membebaskan rakyat Jepang dari paksaan langsung atau tidak langsung untuk percaya atau mengaku percaya pada suatu agama atau kultus yang secara resmi ditunjuk oleh negara, (2) untuk melepaskan diri Orang Jepang dari menanggung beban dukungan finansial wajib dari sebuah ideologi yang telah berkontribusi pada rasa bersalah perang mereka, kekalahan, penderitaan, privasi dan kondisi menyedihkan saat ini, (3) untuk mencegah terulangnya penyimpangan teori dan kepercayaan Shinto menjadi propaganda militeristik dan ultranasionalistik yang dirancang untuk menipu orang-orang dan memimpin mereka ke dalam perang agresi, dan (4) untuk membantu mereka dalam mengubah kehidupan nasional mereka untuk membangun Jepang baru berdasarkan cita-cita perdamaian dan demokrasi abadi. Tujuan tambahannya adalah untuk memperkuat prinsip kebebasan beragama,” tulis William P. Woodard dalam The Allied Occupation of Japan 1945-1952 and Japanese Religions.
Bunce merespon perintah MacArthur dengan membentuk tim yang juga mengikutsertakan Kishimoto. Bagaimanapun, Bunce sadar urusan yang digarapnya merupakan isu amat sensitif. Pengikutsertaan Kishimoto dilakukan untuk mendapatkan pandangan lebih holistik mengenai Shinto sehingga tim terhindar dari membuat kesalahan fatal.
Dalam studinya, tim membagi Shinto menjadi tiga: Kuil Shinto, Negara Shinto, dan Nasionalis Shinto. Negara Shinto, yang sebetulnya tidak pernah menjadi kebijakan resmi Kekaisaran, mendapat perhatian lebih karena MacArthur dan para sarjana Amerika menganggapnya sebagai pangkal masalah yang menyebabkan terjadinya Perang Pasifik.
“Kalimat pembukaan studi tersebut mencatat bahwa Negara Shinto telah ‘digunakan oleh militeris dan ultranasionalis... untuk membangkitkan dan menumbuhkan semangat militer di dalam rakyat dan untuk membenarkan perang ekspansif,’” tulis Woodard mengutip kalimat pembuka draf.
Yang membuat sulit tim adalah pembahasan mengenai kultus Kokutai, identitas nasional yang mendasari sistem pemerintahan, karena amat sensitif. Dalam soal ini, kaisar dan posisi politiknya mesti ditinjau ulang meski dalam pandangan masyarakat Jepang itu merupakan hal terlarang. Dalam keyakinan orang Jepang, kaisar merupakan titisan dewa Amaterasu.
Baca juga: Upaya Jepang Menimba Pengetahuan Dunia
Oleh karena itu, Bunce merincinya lewat poin-poin spesifik agar mendapat pembahasan lebih dalam. Poin-poin itu antara lain: penilaian hari libur nasional; peringatan dan penghormatan pada korban perang melalui monumen, permakaman umum, dan tempat pemujaan bagi korban perang. Mengenai kaisar, tim merinci lebih dalam ke dalam sub poin, meliputi: pertanyaan umum tentang dugaan keilahian kaisar, yang turunannya antara lain penghapusan desain mata uang dan perangko yang militeristik di samping larangan literatur ultranasionalistik. Praktik membungkuk kolektif ke istana yang diterapkan di sekolah, dan perlakuan terhadap tempat-tempat tertentu yang ditunjuk secara khusus terkait erat dengan Kaisar Meiji.
Kesimpulan Bunce, Shinto tak dapat dihapuskan dan dia menganggap tak perlu menghapuskannya. Adapun bahaya dari Negara Shinto yang diyakini Bunce terletak pada: dukungan sponsor, dan propagasi oleh negara; penggunaan mitologi samar-samar tentang asal ilahi tanah, kaisar, dan orang-orang yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang dan nasionalis Shinto; dan paksaan yang diberlakukan pada semua orang Jepang untuk menjalankan ritual dan secara lahiriah menerima premisnya sebagai fakta sejarah.
“Bahaya juga ditemukan bukan pada interkoneksi antara kaisar dan Shinto, tetapi dalam sifat khas dari sistem politik yang secara nominal menempatkan semua kekuatan sipil dan militer di tangan seorang raja-pendeta tetapi sebenarnya membiarkan kekuasaan itu menjadi dilakukan oleh setiap kelompok kuat yang menguasai mesin pemerintahan,” sambung Woodard.
Dari hasil analisis itu, Bunce menawarkan solusi berupa: pemisahan menyeluruh antara agama dan negara, dan mengamankan revisi Konstitusi yang akan dilakukan terutama tentang penempatan kendali negara langsung di tangan perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Bertolak dari solusi itu, Bunce merekomendasikan penghapusan semua dukungan, arahan, atau kendali pemerintah terhadap tempat-tempat suci, pendeta, upacara atau beragam ritual lain. Dengan begitu, Negara Shinto diposisikan sama dengan agama-agama lain. Kedua, Shinto mesti dihapus dari sistem pendidikan. Shinto hanya diizinkan berlanjut sebagai agama individu.
Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang
Bertolak dari solusi itu, kata Woodard, Bunce merekomendasikan agar penyebaran Shinto dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun di institusi pendidikan manapun yang didukung seluruhnya atau sebagian oleh dana publik harus dilarang. Kemudian, perintah kerajaan tentang Pendidikan, sebagai instrumen tunggal paling penting untuk memasukkan kesalehan dan kesetiaan kepada kaisar, harus diganti, diubah, atau ditafsirkan ulang dengan reskrip baru yang secara tegas menolak interpretasi ultranasionalistik atau dibuang dari sekolah. Semua altar Shinto, yang biasa disebut kamidana harus disingkirkan dari semua sekolah umum dan bangunan umum. Aturan wajib hadir siswa dan guru di kuil harus secara tegas dilarang dan diskriminasi terhadap siapa pun karena pandangannya tentang Shinto tidak boleh diizinkan. Terakhir, Dewan Kuil (Jingi-in) Kementerian Dalam Negeri dan semua lembaga yang didukung sepenuhnya atau sebagian oleh dana publik dan memiliki fungsi utama baik penyelidikan maupun penyebaran Shinto atau pelatihan imamat harus dihapuskan.
Tiga bulan setelah berjibaku lewat studi dan diskusi, tim berhasil menyelesaikan draf mentah. Setelah dilaporkan kepada SCAP pada 3 Desember dan hasilnya memuaskan, draf mengalami perbaikan redaksional. Setelah semua selesai, SCAP mengeluarkannya sebagai kebijakan resmi pada 15 Desember. Dua hari kemudian, Kishimoto mengumumkannya dalam siaran radio.
Respon orang Jepang berbeda-beda terhadap Shinto Directive. Ada yang sekadar tidak setuju, benci, melawan, acuh tak acuh, ada pula yang mendukung. Pemerintah Jepang mematuhi Shinto Directive. Dewan Kuil bahkan telah mengeluarkan instruksi kepada tiap kepala prefektur agar menghentikan kontribusi ke kuil-kuil di wilayah masing-masing sehari setelah pengumuman Kishimoto.
“Untuk alasan yang berkaitan dengan reorganisasi kuil dan penggabungannya di bawah Ordonansi Organisasi Keagamaan, beberapa undang-undang tidak sepenuhnya dihapuskan sampai Februari 1946. Pada tanggal 1 Dewan Kuil dan Kantor Pembangunan Kembali Ise (Zojingu Shicho) di Kementerian Dalam Negeri dibubarkan dan keesokan harinya dikeluarkan perintah untuk menghapus atau mengubah 34 aturan hukum yang berkaitan dengan Shinto. Demikianlah Negara Shinto berakhir,” tulis Woodard.
Kendati beitu, orang-orang di Kuil Kume di Prefektur Shimane membujuk walikota dan kepolisian setempat agar bergabung ke dalam barisannya sebagai oposisi. Akibatnya, polisi dari tingkatan lebih tinggi mengambil tindakan. “Polisi mengintimidasi anggota Society dengan menginterogasi mereka, menyita daftar keanggotaan, dan mencoba untuk mengusir mereka,” tulis Helen.
Meski tujuannya baik, kemunculan Shinto Directive tetap tak lepas dari pertanyaan.
“Liputan surat kabar tentang Shinto Directive sangat minimal dan menunjukkan ketertarikan paling besar pada pertanyaan apakah kaisar akan dipaksa turun tahta atau sistem kekaisaran dihilangkan sama sekali. Tetapi karena instruksi itu dikeluarkan hanya empat bulan setelah penyerahan, kekhawatiran tentang bertahan hidup dari satu hari ke hari berikutnya masih menjadi perhatian utama semua orang. Selain itu, Pendudukan telah memberlakukan kebijakan penyensoran yang dimulai pada September 1945, sehingga bahkan jika seseorang dengan keras tidak menyetujui Shinto Directive, protes tampaknya tidak akan terjadi. Dilarang mengkritik Pendudukan atau kebijakannya, sebuah sikap ironis bagi sebuah rezim yang bermaksud mendemokratisasi Jepang,” tulis Helen
Tambahkan komentar
Belum ada komentar