Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial
Pemerintah VOC campur tangan mengurusi anak-anak yatim yang terlantar oleh orang Eropa di Batavia. Banyak nama keluarga yang terlibat di dalamnya terekam dalam catatan arsip.
SEBELUM abad ke-19, bangsa Eropa yang berlayar ke Nusantara (Hindia Timur) adalah kaum laki-laki. Setibanya di Kepulauan Nusantara, banyak dari mereka yang kawin dengan wanita setempat. Anak-anak hasil kawin silang lintas ras ini menghasilkan kelompok etnik baru yang disebut keturunan mestizo. Bagi yang orang tuanya berkebangsaan Belanda, anak-anak mereka disebut Indo-Belanda.
Dalam praktiknya, fenomena kawin silang ini menimbulkan persoalan sosial dalam masyarakat kolonial. Malang bagi anak-anak yang tidak diakui ayah Eropa mereka. Mereka jadi terlantar dan dengan demikian melekat status sebagai anak yatim.
“Dan ini kemudian harus diurus oleh pemerintah kolonial, maka munculah lembaga yang disebut sebagai Weeskamer,” terang sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso dalam “Ekspose Inverntaris Arsip: Wees-en Boeldekamers” di Jakarta pada 26 November 2024 silam.
Baca juga: Harta Peninggalan dalam Arsip Perwalian
Weeskamer didirikan pada 1624 dengan tugas utama mengurusi anak yatim dan yatim-piatu selama mereka belum dewasa. Ia juga mengelola harta tidak terurus peninggalan orang Eropa. Selain meninggal, harta tidak terurus orang-orang Eropa itu bisa terjadi karena mereka tidak kembali lagi ke Batavia, dengan alasan pindah tugas sehingga menetap di wilayah oktroi VOC yang lain. Harta warisan ataupun modal mereka dilelang oleh Stadsvendumeester atau pegawai yang bertugas memimpin lelang. Hasil lelang kemudian menjadi milik anak yatim dan yatim piatu yang dianggap sebagai pewaris setelah menikah atau akil balig selama masih tinggal di wilayah oktroi VOC seperti Batavia, Malaka, Banda, Sri Lanka, dan daratan India (Cochin di pantai Malabar, Houghli di Benggala, dan Nagapattinam di pantai Coromandel).
Anggota Weeskamer dipilih oleh Pemerintahan Tertinggi (Hoge Regering) dan terdiri dari lima orang. Para anggota Weeskamer inilah yang bekerja menangani harta peninggalan pegawai kompeni dan orang swasta yang telah meninggal dunia. Sejak 1670, keanggotaan Weeskamer terdiri dari tujuh orang meliputi pengurus merangkap kurator.
Secara teknis, persyaratan kepengurusan serta pemberian harta warisan didahului oleh pelaporan orang meninggal dunia kepada Weeskamer, termasuk jika ada surat wasiat dari pihak keluarga atau saudara. Pelaporan ini diberi jangka waktu selama enam minggu, sehingga jumlah harta tersebut dapat dicatat dalam buku yatim-piatu. Jika tempat tinggal dan ahli waris tidak jelas, maka modal ini disebut milik onbekende wezen (yatim piatu tidak dikenal) dan tetap dikelola oleh Weeskamer hingga tercapai kejelasan. Kendati demikian, kasus ini sering terjadi sehingga modal yang dikelola Dewan Weeskamer makin lama makin besar.
Baca juga: Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC
Karena mencatat harta peninggalan dan warisan dengan cukup detail, menurut Bondan, arsip Weeskamer merupakan sumber sejarah yang cukup kaya dalam merekam periode VOC di Batavia. Arsip Weeskamer merupakan rekaman dan catatan sosial yang mengandung informasi yang berkenaan dengan nama-nama, geneologi, status sosial, jenis harta, dan sebagainya. Selain itu, dalam arsip Weeskamer juga terdapat arsip korespondensi dengan balai-balai serupa yang ada di Belanda. Balai-balai harta peninggaalan di Belanda yang terkoneksi dengan Weeskamer Batavia antara lain: Amsterdam, Hoorn, Eenkhusizen, Middleburg, Vlisingen, Rotterdam, Dordrecht, dan Delft.
“Namun, belum banyak penelitian yang secara khusus dilakukan terhadap arsip Weeskamer. Hal ini mungkin karena para peneliti tidak mengetahui secara persis kandungan informasi yang terekam di dalamnya,” ulas Bondan.
Memasuki abad ke-19, sudah lebih banyak perempuan Eropa atau secara khusus perempuan Belanda yang dikirimkan ke Hindia Belanda. Dengan demikian, persoalan anak yatim yang tidak diakui relatif berkurang. Weeskamer sendiri pada 1885 digabung dengan Boedelkamer, balai peninggalan bagi kelompok Timur Asing, menjadi Weest en Boedelkamer (WBK). Lembaga ini sekarang lebih dikenal dengan nama Balai Harta Peninggalan (BHP).
Menurut Wiwi Diana Sari, direktur pengolahan arsip statis Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), arsip WBK koleksi ANRI jumlahnya setebal 1200 meter linear arsip. Arsip tersebut diakuisisi dari Pasar Ikan Muara Angke ke Gedung ANRI Jl. Gadjah Mada kemudian pindah lagi ke Gedung ANRI Jl. Ampera, Jakarta Selatan. Pengolahan arsipnya sendiri dimulai sejak 2015. Pada tahun ini, sebanyak 5.891 boks atau sekira 65.441 nomor arsip telah diolah yang sekaligus menuntaskan pengolahan arsip ini.
“Khusus di tahun ini, direktorat pengolahan arsip telah mengolah seluruh arsip WBK yang ada di ANRI,” ungkap Wiwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar