Anak-anak Tukang Emas Mendukung RI
Keluarga kaya asal Minahasa ini punya banyak kebun di Purwakarta. Anak-anaknya berada di barisan pendukung RI setelah Jepang hengkang.
SEBUAH pesawat tempur Jepang mendarat di daerah Purwakarta semasa pendudukan Jepang. Namun keadaannya tidak sedang baik-baik saja. Pesawat itu tertembak jatuh di atas sebuah perkebunan teh bernama Soekadingin. Pilotnya kemudian diselamatkan keluarga Mr. Gondokusumo –tokoh pergerakan nasionalis– yang sedang mengungsi di daerah itu.
“Penerbang pesawat pemburu Jepang itu bernama Agimura, terjun dengan payung dan kemudian disembunyikan dengan baik oleh keluarga Pak Gondokusumo sampai kapitulasi Belanda,” tulis Abdul Haris Nasution, yang kemudian menjadi menantu Gondokusumo, dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda.
Berkat tindakan itu, Gondokusumo lalu menjadi pun dihormati dan berpengaruh di kalangan orang Jepang waktu zaman Jepang.
Namun, perkebunan (onderneming) teh Soekadingin –dengan luas 300 hektare– tempat pesawat Jepang itu mendarat bukan milik Gondokusumo, melainkan milik rekannya, yakni keluarga Laoh. Di zaman itu, biasanya pemilik perkebunan bukanlah orang Indonesia, tapi orang Belanda dan Eropa. Sementara, keluarga Laoh berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Pemilik perkebunan Soekadingin awal adalah Philip Laoh (1879-1938). Menurut “Surat Pernyataan Ahli Waris di Hadapan Pangkopkamtib Sudomo”, keluarga kaya Minahasa itu mendirikan perusahaan NV Handel Cultuur en Industrie Maatschappij di Purwakarta pada 1934.
Philip Laoh merupakan Dokter Hindia lulusan STOVIA tahun 1898. Dia berhasil memperdalam ilmunya hingga disamakan dengan dokter Eropa. Setelah dia tutup usia, perkebunan teh Soekadingin dimiliki keluarganya.
Philip bersama saudaranya, Fritz Laoh (1888-1961), pernah membelikan dua bidang tanah di Kalijati untuk Francie Mawengkang, ibu mereka berdua. Namun setelah Francie tutup usia pada 1 Maret 1936 di usia 77 tahun, tanah-tanah tadi kembali kepada keduanya. Begitulah yang tercatat dalam “Surat Pernyataan Ahli Waris di Hadapan Pangkopkamtib Sudomo”.
Seperi Philip, Fritz juga orang terpandang di Jawa. Java Bode edisi 13 Agustus 1955 menyebut Fritz yang pernah belajar di sekolah dagang itu pernah bekerja di perusahaan pelayaran Belanda Koninklijk Packetvaart Maatscappij (KPM). Sejak 1918, dia menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) mewakili Sulawesi.
Philip dan Fritz adalah anak Francie Mawengkang dengan Martinus Laoh. Ada yang menyebut Martinus Laoh dulunya seorang tukang emas. Namun seperti umumnya orangtua Minahasa terpandang, Martinus peduli pada pendidikan anak-anaknya.
Philip dan Fritz punya banyak adik. Salah satunya Herling Laoh (1902-1970), yang pada era 1920-an menjadi mahasiswa teknik di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB). Dia kuliah pada masa yang sama bersama Sukarno. Menurut buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa, setelah lulus dari sekolah tinggi itu, Heling bekerja di jawatan pekerjaan umum sebagai insinyur yang mengurus irigasi di beberapa daerah di Jawa dan Palembang.
Adik laki-laki lainnya adalah Willem Laoh. Setelah lulus dari Rotterdamsch Hogeschool, dia menjadi administratur di penggilingan besar Sawangan, perkebunan kapuk dan karet Kalijati, perkebunan kelapa Sidate, dan pabrik-perkebunan teh Soekadingin milik keluarganya. Adik lainya yang lebih muda, Christoffel, juga ikut serta mengurusi perusahaan-perusahaan tadi sebagai wakil administratur.
Namun seperti umumnya perusahaan ekspor lain di bekas Hindia Belanda, perusahaan perkebunan Soekadingin milik keluarga Laoh mengalami kesulitan bisnis di zaman pendudukan Jepang. Bahkan sebelum Jepang datang, ada pabrik mereka yang dibumihanguskan militer Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, anggota keluarga Laoh terlibat dalam pemerintahan Republik Indonesia. Fritz pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, sementara Herling, disebut Amir Dahlan dalam R.I.S. Lahir, sempat menjadi menteri pekerjaan umum pada Kabinet Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Hatta, dan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selain itu, pernah pula Herling menjadi menteri perhubungan.
Ketika Fritz dan Herling menjadi pejabat RI, pernah ada perintah bumihangus terhadap pabrik keluarga Laoh karena Purwakarta hendak diduduki Belanda. Kedua Laoh bersaudara yang jadi pejabat itu merelakan pabrik keluarganya dibumihanguskan lagi seperti yang terjadi menjelang tentara Jepang datang. Saat bersamaan, Christoffel Laoh ikut berjuang angkat senjata mempertahankan kemerdekaan di Purwakarta. Christoffel kemudian jadi veteran pejuang RI.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar