Dari Balet ke Wushu
Fonny Kusumadewi, satu dari 14 pionir timnas wushu Indonesia, terus melakukan regenerasi lewat klub buatannya.
DENGAN sabar, Fonny Kusumadewi pelan-pelan mengatur murid-muridnya. Meski sesi latihan sudah dimulai, canda-tawa masih menyelingi beberapa muridnya. Supriyadi suami Fonnya dan Thexon Lanata putra bungsunya ikut mengatur beberapa murid yang keluar barisan.
Fonny merupakan satu dari 14 atlet wushu pertama Indonesia yang dikirim ke SEA Games 1993 di Singapura. Kini di masa pensiun, Fonny justru makin sibuk dengan jadwal melatih di klub yang didirikannya, Poenix Wushu Kids, di Kembangan, Jakarta Barat dan di klub lain yang berada di Citra Garden, Kalideres.
Membuka klub wushu menjadi pilihan Fonny untuk mengisi masa pensiun. “Saya pensiun dari Wushu tahun 1996. Lima tahun berikutnya enggak berkecimpung di Wushu lagi karena fokus kerja. Setelah saya nikah dan punya anak, pekerjaan saya tinggalkan. Lalu merintis klub sampai sekarang,” ungkap Fonny ditemui Historia. Selain untuk mencari bibit-bibit baru, klub itu juga sebagai sumber penghidupan Fonny.
Fonny sempat aktif berorganisasi. Di Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) DKI Jakarta dia sebagai bendahara sementara di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Wilayah Jakarta Pusat dia sebagai sekretaris umum. “Tapi per 19 Januari kemarin (2018), saya mundur. Karena waktunya sudah kewalahan juga mengaturnya. Saya memilih konsen di klub. Karena ya dari mana lagi kita cari uang kalau bukan dari klub,” lanjutnya.
Putar Haluan
Lahir di Semarang, 21 November 1969, Fonny awalnya tak mengenal wushu. Setiap tahun dia justru ikut serta dalam kegiatan tahunan Kelenteng Sam Po Kong sebagai pengiring atraksi barongsai dan liong. “Awalnya saya itu dari kecil ikutnya balet. Karena kebetulan mami saya punya sanggar balet di Semarang. Setahun sekali saya dan tiga saudari saya diminta ikut kegiatan di Sam Po Kong, membawa bola api chu,” kata Fonny.
Dari situlah Edi Tjandra, pendiri Sasana Garuda Emas, mengenal Fonny. Kebetulan, Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) yang baru berdiri pada 10 November 1992 tengah mencari calon-calon atlet untuk diikutkan pelatnas. (Baca: Wushu Menembus Sentimen dan Stigma Orde Baru). Edi lalu mengajak Fonny dan adiknya, Meliani, untuk ikut wushu. “Karena dia melihat saya dan ketiga saudari saya punya dasar balet dan senam, di mana gerakannya bisa luwes seperti menari, makanya pas untuk ikut gerakan-gerakan atraksi itu,” tutur Fonny.
Fonny dan adiknya lalu mencoba. Sambil terus meyakinkan Fonny bahwa wushu tak beda jauh dari balet, sama-sama butuh kelenturan, Edi mengajari “A-Z” wushu kepada Fonny di sasana kungfu miliknya.
“Kita dilatih hampir tiap hari dari nol. Itu 3-4 bulan jelang seleksi nasional. Latihan jatuhan, rolling tanpa matras, bikin badan dan tangan kita sampai biru-biru karena lantainya kan keras, dari beton. Lalu diajarin juga jurus-jurus taolu-nya. Pelatih melihat, saya cocok di nomor jianshu (pedang). Akhirnya terpilihlah empat dari Semarang yang ikut seleksi pelatnas ke Jakarta. Saya, Meliani, Sutantyo dan Eko Saphuan,” sambungnya.
Ke Jakarta dengan akomodasi yang ditanggung PBWI Semarang dari menggalang dana ke sejumlah pihak swasta, Fonny dan adiknya sukses menembus skuad pelatnas. Fonny dan 13 atlet lainnya digembleng dua Lao She (master) yang didatangkan langsung dari China, Wang Donglien dan Deng Changli. (Baca juga: Wushu dan Telepon Merah RI Satu).
Fonny bersyukur perusahaan tempatnya bekerja memberi izin atas surat dispensasi menteri olahraga. “Ya karena waktu itu saya pertama ikut sudah umur 20-an, pekerjaan mesti cuti enam bulan. Lima bulan kita persiapan jelang SEA Games di Jakarta, sebulan terakhir kita berangkat ke Shanxi, China, kampung halamannya Lao She Wang Donglien,” tambah Fonny.
Saat yang dinanti tiba. Indonesia untuk pertamakali mengirim wakilnya di cabang wushu pada SEA Games 1993. Tim wushu Indonesia diperkuat Fonny, Meliani, Marlia Yossie, Lim Ming Ming, Ria Oktariana, Cecilia Fransisca, Hartono Seputro, Siauw Wie Sen, Tjhan Rahmat, Teddy Yusuf, Ahmad Idris, Ahmad Rifai, Aizan, dan Se Hoen Tan.
Fonny turun di nomor Nanquan (jurus tangan kosong selatan). Sayangnya dia gagal mendapat medali. “Dari ke-14 yang dikirim, satupun tak ada yang dapat medali. Tapi ya kita menyadari, persiapan kita hanya enam bulan dari nol semua. Sementara negara lain sudah lebih siap,” kenangnya.
Selepas SEA Games itu, Fonny tetap menggeluti wushu dengan mengikuti berbagai kejuaraan. “Saya ikut semua Kejurda dan Kejurnas dari 1993 sampai 1996. Paling saya ingat itu ada Kejurnas di Surabaya, saya ikut empat nomor, semuanya mendapat emas,” ujar Fonny.
Tapi pada 1996 Fonny memutuskan pensiun karena merasa wushu kala itu belum bisa menjadi sumber penghidupan. Fonny pilih fokus pada pekerjaannya di Dexa Medica sebagai marketing detailer. “Sejak 1995 saya sudah enggak dapat izin cuti panjang dari kantor. Makanya paling di nasional saja, di Kejurnas. Kantor saya swasta, enggak gampang izinnya. Sampai dikasih ultimatum, kamu mau kerja atau jadi atlet saja,” tutur Fonny.
Fonny kemudian menikah dengan Supriadi, pegawai teknik komputer yang juga praktisi kungfu di Tegal. Kesibukan mengasuh anak membuat Fonny meninggalkan pekerjaannya. Bersama keluarganya dia lalu pindah ke Jakarta dan merintis klub Poenix Wushu Kids. Fonny juga mengajarkan wushu kepada anak-anaknya.
“Ya sekarang ada regenerasinya, anak saya, Thalia Lovita sudah jadi atlet nasional. Dapat tiga perunggu sewaktu SEA Games di Myanmar. Awalnya saya juga yang melatih dia. Dari tiga anak, hanya Thalia dan Thexon yang minat wushu dan ikut bantu di klub,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar