Lima Atlet Muslim Turki Pengabdi Jerman
Bukan hanya di sepakbola, para atlet muslim berdarah Turki juga menyumbang prestasi untuk Jerman di berbagai cabang.
MESUT Özil misuh-misuh. Playmaker Jerman berdarah Turki itu merasa jadi korban diskriminasi rasial induk sepakbola Jerman DFB, media, dan fans Jerman. Padahal, dia merasa mestinya bisa lebih dihargai mengingat pengabdiannya di timnas Jerman telah membuahkan satu trofi Piala Dunia 2014.
“Orang-orang dengan latar belakang diskriminatif secara rasial mestinya tak diperbolehkan bekerja di federasi sepakbola terbesar di dunia, di mana banyak pemainnya berasal dari keluarga asing… Saya takkan bermain lagi untuk Jerman, sementara saya mengalami rasisme dan rasa tidak hormat,” cetus Özil dalam berlembar-lembar pernyataannya yang diunggah ke akun Twitter@MesutOzil1088, Minggu (22/7/2018).
Publik sepakbola Jerman pun geger. Gara-gara ini, isu etnis muslim Turki di Jerman meroket lagi. Banyak orang bersimpati namun tak sedikit yang menganggap Özil playing victim. Pengamat bola berdarah Jerman Timo Scheunemann tak sepakat jika DFB dan publik Jerman secara keseluruhan berlaku rasis terhadap Özil.
“Bahwa ada orang rasis, tentu (ada, red). Sayangnya di seluruh dunia ada saja manusia-manusia bumi datar seperti itu. Tetapi menggambarkan Jerman dan DFB rasis, tentu kelewatan,” ujar figur yang biasa disapa Coach Timo itu kepada Historia.
Timo menambahkan bahwa fokus kritiknya terarah pada performa Özil yang payah dan diperparah dengan kegagalan timnas Jerman di Piala Dunia 2018. “Pernyataan Özil itu dikritik habis di Jerman. Pertama karena tak ada kesan self-criticism sama sekali. Tidak benar juga media Jerman mengkritik asal-usul, bahkan agama,” lanjut Timo yang melihat sendiri kritik terhadap Özil di Jerman kala “mudik” belum lama ini.
DFB sendiri membantah telah memperlakukan Özil secara diskriminatif. “Perbedaan menjadi kekuatan, tidak hanya dalam sepakbola, dan itu alasannya kenapa upaya integrasi memiliki kepentingan mendasar di setiap level. Kami hidup berdampingan dengan beragam atlet berlatarbelakang imigran…DFB menyesali keputusan mundur Özil. Tetapi itu tak memengaruhi determinasi kami untuk terus menyukseskan integrasi,” demikian pernyataan DFB di laman resminya, Senin (23/7/2018).
DFB menyatakan, integrasi bukan barang baru di Jerman, utamanya di beragam cabang olahraga. Berikut lima atlet berlatarbelakang etnis muslim Turki yang berprestasi dan mengabdi di bawah panji Jerman:
Taşkın Aksoy – Sepakbola
Taşkın Aksoy kini melatih Fortuna Düsseldorf II (Foto: dfb.de)
Di pentas Bundesliga (kompetisi tertinggi sepakbola Jerman), beberapa pemain berdarah Turki telah berkecimpung sejak lama. Sebut saja Özcan Arkoç (Hamburger SV 1967-1975) atau Ali Erdal Keser (Borussia Dortmund 1980-1984). Namun Taşkın Aksoy lebih pas dijadikan perintis lantaran dia memilih kewarganegaraan Jerman.
Anak imigran kelahiran Berlin, 13 Juni 1967 itu merintis kariernya di klub Hertha BSC sejak 1986 hingga 1989. Semenjak 2015, Aksoy melatih tim-tim akademi Fortuna Düsseldorf II.
Sebagai perintis, Aksoy beberapa kali mengalami rasisme.“Kelompok-kelompok Neo-Nazi bermunculan pasca-reunifikasi (Jerman) 1990 dan laga-laga bola dimanfaatkan untuk mencaci etnis minoritas, terutama imigran Turki. Taşkın Aksoy di antara para pemain berdarah Turki di awal 1990-an yang mengalaminya,” ungkap Ellis Cashmore dan Jamie Cleland dalam Football’s Dark Side: Corruption, Homophobia, Violence and Racism in the Beautiful Game.
Mehmet Scholl – Sepakbola
Mehmet Yüksel alias Mehmet Scholl (kanan) saat memperkuat Der Panzer di Euro 1996 (Foto: spiegel.de)
Mehmet menjadi pelopor pesepakbola berdarah Turki yang memperkuat timnas Jerman –pemain pertama Jerman yang lahir dan berasal dari keluarga imigran Turki adalah Mustafa Doğan (lahir di Isparta, Turki). Pemain kelahiran Karlsruhe, 16 Oktober 1970 dengan nama Mehmet Yüksel itu merupakan putra dari pasutri campuran Jerman-Turki, Hella dan Ergin Yüksel. Nama belakangnya berganti menjadi Scholl pasca-ibunya bercerai dan menikah lagi dengan pria Jerman, Hermann Scholl.
Laman DFB mencatat, di timnas Jerman Scholl memegang 36 caps dalam kurun waktu 1995-2002. Dia menjadi motor kala Jerman meraih juara Euro 1996 di Inggris.
Salih Avcı – Seni Beladiri
Meski tak lahir di Jerman, Salih Avcı sangat berjasa dalam pendidikan dan pelatihan sejumlah unit khusus kepolisian Jerman. Avcı lahir di Karasu, Turki namun kemudian pindah ke Jerman mengikuti ayahnya pada 1971. Ketertarikan Avcı terhadap seni beladiri Wing Chun membawanya mengasah diri di EWTO atau Organisasi Wing Chun Eropa pada 1980, dan kemudian juga seni beladiri escrima.
Tujuhbelas tahun berselang, Avcı membuka padepokan di Aachen, North-Rhein Westphalia (NRW), Jerman Barat pada 1984. Namanya kian menjulang setelah dia mengundang decak kagum petinggi polisi khusus NRW dalam sebuah aksi demonstrasi pada 1992. Sejak itu, Avcı diminta mengajar wing chun dan escrima kepada para personel Spezialiensatzkommandos (SEK) atau polisi komando NRW. Lima tahun setelahnya, Avcı mendirikan organisasi WTEO atau Organisasi Wing Chun-Escrima yang kini sudah punya 100 padepokan di Eropa.
Setelah itu, Avcı kian disibukkan oleh permintaan melatih. Tidak hanya di SEK, namun juga di unit Zentrale Unterstützungsgruppe Zoll atau SWAT-nya Jerman dan GSG 9 Grenzschutzgruppe 9 atau Densus 88-nya Jerman.
Mithat Demirel – Basket
Di arena basket, Mithat Demirel disebut-sebut sebagai pionir pebasket timnas Jerman peranakan Turki. Pebasket yang berposisi point guard itu lahir di Berlin, 10 Mei 1978 dari orangtua imigran Turki. Merintis kariernya di klub Alba Berlin sejak 1997, pemain berpostur 181 cm sudah menembus timnas sejak 2001 kala Jerman ambil bagian di Kejuaraan Eropa dan finis di urutan keempat klasemen.
Menilik situs Federasi Bola Basket Internasional (FIBA), prestasi tertinggi Demirel bersama timnas Jerman adalah juara tiga Piala Dunia Basket FIBA 2002 dan runner up EuroBasket 2005. Namun ketika menginjak usia 31 tahun, cedera matanya yang tak kunjung sembuh memaksa dia pensiun pada Juni 2009.
Setahun setelah pensiun, Demirel dipercaya menjadi Direktur Olahraga Alba Berlin. Dia kemudian menjadi General Manager Darüşşafaka SK, klub basket Turki yang berbasis di Istanbul. Sebagaimana orang berdarah Turki yang acap pulang ke kampung leluhurnya, Demirel tak tutup mata terhadap dinamika politik di Turki.
“Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hubungan Jerman dan Turki, saya melihat Turki mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Tapi sampai terjadinya invasi ke Suriah, situasi di Turki tiba-tiba bisa tenang,” ujarnya, dikutip Der Tagesspiegel, 24 Januari 2018.
Firat Arslan – Tinju
Dari gelanggang tinju, muncul nama Firat Arslan yang lahir di Friedberg, 28 September 1970 dari orangtua asli Turki. Memulai kariernya di tinju profesional pada 1997, petinju kidal kelas jelajah ini menjalani total 53 pertarungan dengan catatan 43 kemenangan (28 menang KO), tiga kali kalah, dan dua kali imbang. Salah satu hasil imbangnya didapat dalam pertarungan tersengit sepanjang kariernya, saat menghadapi Vadim Tokarev asal Rusia di Nürburgring, 16 Agustus 2003. Pertarungan itu memperebutkan gelar kelas jelajah IBF Inter-Continental.
John Grasso dalam Historical Dictionary of Boxing terbitan 2014 mencatat, Arslan merupakan satu dari (hanya) 19 petinju Jerman yang pernah mengaitkan sabuk gelar dunia. Gelar dunia pertama yang dikoleksi Arslan adalah sabuk WBA dunia kelas jelajah, pascamenang angka dari Valery Brudov (Rusia) pada 16 Juni 2007 di Porsche-Arena, Stuttgart. Arslan dua kali sukses mempertahankannya sampai akhirnya dicuri Guillermo Jones. Arslan kalah TKO di ronde 10 dari petinju Panama itu di Color Line Arena, Hamburg, 27 September 2008.
Baca juga:
Özil dan Perkara Peranakan Muslim Turki
Rasis Tak Kunjung Habis
Anggar untuk Hitler
Cricket Ala Hitler
Etalase Nazi di Olimpiade
Tambahkan komentar
Belum ada komentar