Rasis Tak Kunjung Habis
Bak kanker kronis, rasisme tetap tumbuh di lapangan hijau. Mencoreng keindahan sepakbola.
KASUS rasisme menyeruak lagi. Tiga bulan jelang Piala Dunia 2018 di Rusia, fans Rusia kembali membuat aksi rasis tatkala tim tuan rumah menjamu Prancis di Krestovsky Stadium, St. Petersburg, 27 Maret 2018. Riuh sorakan suara monyet mereka keluarkan untuk menghina para pemain Prancis, terutama saat gelandang N’Golo Kante akan melakukan lemparan ke dalam. Perkara ini sekarang masih dalam tahap investigasi FIFA.
Sebelumnya, aksi rasis menimpa bintang tanah air yang bermain di klub Polandia Lechia Gdansk, Egy Maulana Vikri. Saat Lechia bertandang ke Stadion Miejski milik Lech Poznan, 16 Maret 2018, fanz Poznan membentangkan spanduk berbunyi “Lechia Gdansk Sial Pelac*r” plus gambar wajah orang sipit berkulit coklat menggunakan headband hijau bertuliskan “Lechia”.
Gambar wajah orang Asia itu jelas merujuk pada Egy, satu-satunya pemain Asia di pertandingan itu. Para pecinta bola tanah air langsung menyerang akun Twitter dan Instagram res
Meski tak membenarkan rasisme, pengamat sepakbola Timo Scheunemann mengatakan sambutan rasis seperti yang diterima Egy merupakan satu risiko yang mesti diantisipasi khususnya bagi pemain Asia dan Afrika yang merumput di Eropa. “Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur (Polandia), dia mestinya sudah siap mental,” kata Timo kepada Historia.
Eropa merupakan tempat subur bagi rasisme dan anarkisme oleh fans klub-klub sepakbola. “Karena di Eropa masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa yang berbeda-beda. Berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik di Perang Dunia I, II, maupun perang-perang sebelumnya,” sambung pengamat yang mantan pelatih beberapa klub di Liga Indonesia itu.
Lebih jauh Timo menambahkan, suburnya rasisme juga tak lepas dari budaya, kebiasaan, dan tingkat pendidikan masyarakat di masing-masing negara di Eropa. “Apalagi di Rusia sendiri ya, yang notabene Eropa Timur, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat.”
Sasaran Empuk
Meski bukan satu-satunya korban rasisme di lapangan hijau, pemain berkulit hitam merupakan sasaran paling empuk. “Rasisme sudah eksis sejak sepakbola mulai populer secara global di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebuah ekspresi perilaku di negara-negara di mana diskriminasi etnis nampak kasat mata,” tulis Albrecht Sonntag dan David Ranc dalam Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football terbitan UNESCO 2015.
Kasus-kasus awal terjadi di Inggris Raya, tanah kelahiran sepakbola modern. Antara lain menimpa Arthur Wharton, pesepakbola kulit hitam profesional pertama dunia, yang merupakan kiper klub Preston North End (1886-1888). “Dia digambarkan di publik sebagai pemain yang berbeda –seorang negro; si kulit gelap; berwajah kacang kenari. Seiring kesuksesannya di lapangan, konflik yang intens turut mengikuti dan menguasai image-nya sendiri, identitasnya (sebagai imigran),” ungkap Phil Vasili dalam biografi, The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930, An Absence of Memory.
Selain karena warna kulit, Wharton acap jadi sasaran tembak publik Inggris, baik langsung maupun via media, karena sering berakrobatik dengan menangkap bola menggunakan kedua kakinya sementara dia bergelantungan.
“Hakim-hakim yang mulia menyatakan jika Wharton tetap menjaga gawang (Preston) North End di Piala Inggris, sanksi akan diperpanjang dan saya sependapat. Apakah tengkorak si hitam ini terlalu tebal untuk menyadari bahwa posisinya di gawang bukan tempat untuk main-main, beberapa orang bilang itu keren – omong kosong,” tulis kolumnis di The Athletic Journal tahun 1887.
Bukan hanya sorakan atau teror verbal yang dialami Wharton nyaris di setiap pertandingan. Dia juga pernah mengalami penganiayaan fisik. “Tercatat dalam satu pertandingan, dia dipukuli (fans tim lawan) dengan payung ketika dia meninggalkan lapangan,” sambung Vasili.
Selain Wharton, korban lain rasisme di Inggris adalah penyerang Everton Dixie Dean. Dalam sebuah laga di tahun 1930-an, dia sampai memukul pelaku teror rasis di tribun karena tak bisa bisa menahan emosinya. Para petugas keamanan yang bersimpati, membiarkan karena merasa si pelaku pantas dibalas pukulan Dean.
Kasus Wharton dan Dean hanya segelintir dari segunung kasus rasisme. “Penyakit” Eropa itu sudah menyebar ke Amerika dan Asia. FIFA baru serius menanganinya pada 1990-an dengan regulasi yang dikeluarkan awal 2000-an. Selain regulasi, FIFA menggandeng pihak lain seperti PBB menetapkan Hari Anti-Diskriminasi sejak 7 Juli 2002 dan mengkampanyekan “Say No to Racism”.
UEFA setahun lebih dulu menanganinya. Bermitra dengan FARE (Football Against Racism in Europe), UEFA menghelat beraneka kampanye seperti “No to Racism” untuk menciptakan zero tolerance terhadap rasisme. Otoritas Sepakbola Inggris (FA) mengikuti dengan kampanye yang dibuat bareng LSM Kick It Out, “Let’s Kick Racism Out of Football”.
Namun, rasisme masih terus bermunculan, termasuk di Indonesia. “Sering terjadi terhadap tim-tim dari Papua seperti Persipura, Perseman Manokwari. Terlebih kalau mereka main di (Pulau) Jawa,” kata Timo. Nyanyian rasis oleh Bonek (fans Persebaya) pada 2014 atau kasus yang menimpa Mbida Messi oleh The Jakmania (fans Persija) setahun sebelumnya hanyalah dua dari sederet kasus rasis yang ada.
Kerjasama pemain, pelatih, dan manajemen klub amat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Tapi yang lebih penting, tindakan PSSI. Dengan wewenang besarnya, PSSI mesti membasmi dan mencegah rasisme lewat berbagai regulasi.
“Seperti di Jerman bagian Timur. Di divisi-divisi bawah banyak terjadi dan bahaya sekali. Tapi oleh federasinya kan disikat dengan hukuman-hukuman berat. Entah diambil poinnya atau hukuman lain. Bedanya dengan di sini (Indonesia) adalah keseriusan penanganannya. Di sana (Jerman), kalau sudah dijatuhi hukuman, sudah enggak bisa diganggu gugat,” tandas Timo.
Baca juga:
Pesepakbola Kulit Hitam Profesional Pertama di Dunia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar