Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
Presiden Putin begitu sumringah menendang bola di Lapangan Merah laiknya Stalin delapan dasawarsa sebelumnya di tempat yang sama.
TERIK mentari Kota Moskva siang 28 Juni 2018 tak mampu menghentikan Presiden Vladimir Putin menikmati permainan si kulit bundar. Ditemani Presiden FIFA Gianni Infantino, Putin justru acap tersenyum.
Permainan eksebisi yang digelar di lapangan buatan di Lapangan Merah itu dihelat sebagai salah satu agenda perayaan Piala Dunia 2018. Eksebisi menghadirkan laga antara tim cilik FC Totem melawan tim berisi para legenda macam Iker Casillas, Lothar Matthäus, Ronaldo, Carles Puyol, dan para legenda Rusia seperti Alexey Smertin dan Dmitry Bulykin.
“Ini (Lapangan Merah, red.) adalah jantung Rusia dan untuk dua bulan ini menjadi jantung dunia dan dunia sepakbola,” sebut Infantino, dikutip laman FIFA, 28 Juni 2018.
Lapangan Merah atau Krásnaya Plóshchad dalam bahasa Rusia merupakan alun-alun besar di timur (Istana) Kremlin dan dibangun pada akhir 1400-an di masa Tsar Ivan III. Lapangan Merah hingga kini acap dijadikan tempat untuk berbagai parade budaya dan militer. Namun, ia hampir tak pernah dijadikan tempat bermain sepakbola.
Eksebisi untuk Stalin
Semasa Uni Soviet, Lapangan Merah punya cerita lain. Ia tak hanya jadi tempat parade militer dan budaya, namun juga olahraga. Di sanalah Physical Culture Day atau Parade Hari Budaya Olahraga yang eksis sejak 1931 berlangsung.
Di masa itu, “Pembersihan Besar-besaran” (1936-1938) masih berlangsung. Semua tokoh berlomba untuk bisa dekat dengan Stalin dengan harapan nyawa mereka aman. Nikolai Starostin, pendiri Spartak Moskva dan Aleksandr Kosarev, pemimpin Komsomol (Liga Pemuda Komunis Soviet), juga ikut dalam “perlombaan” itu.
Berbeda dari tokoh lain, Starostin dan Kosarev memilih sepakbola sebagai wahana untuk memenangkan hati Stalin. Maka, pada 1936 laga eksebisi tim Spartak Moskva dihelat di Lapangan Merah.
Robert Edelman dalam Spartak Moscow: A History of the People’s Team in the Workers’ State menguraikan, parade pada 1936 itu ingin dijadikan “panggung” tersendiri oleh Kosarev dan Starostin. Makanya dengan beragam intrik, mereka berupaya mengundang semua pejabat Soviet, tentu termasuk Stalin untuk bisa menyaksikan laga bola Spartak.
Untuk persiapannya, sekira 300 atlet Spartak (dari berbagai cabang di bawah organisasi Spartak Moskva) dikerahkan untuk membuat karpet hijau berukuran lapangan bola guna menutupi Lapangan Merah sebagai arena sepakbola buatan. Para pejabat Soviet dan Stalin diberikan tempat khusus di Mavzoléy Lenina atau Mausoleum Lenin.
Starostin dan Kosarev mati-matian meyakinkan seorang jenderal yang, identitasnya hingga kini tetap tak diketahui, khawatir hajatan itu bisa menimbulkan kesan negatif di mata Stalin. “Orang yang harus diyakinkan Starostin adalah seorang jenderal dari kepolisian rahasia yang awalnya sangat skeptis. Dia tak ingin ada pemain cedera di hadapan Stalin pada hari besar itu,” tulis Edelman.
Setelah berhasil meyakinkan Kosarev, Starostin menginstruksikan kepada para pemainnya agar tak boleh melancarkan banyak tekel dan mesti sigap menghindari tekel. Bila ada yang kena tekel, mereka tak boleh memperlihatkan rasa sakit di hadapan Stalin. Satu lagi, bola jangan sampai terlontar liar mengenai tribun Stalin.
Pertandingan akhirnya digelar pada 6 Juli 1936, mempertemukan dua tim asal Spartak: tim utama melawan tim cadangan. Dinamo tak mereka undang dalam eksebisi itu. Selain rivalitas, mereka tak ingin menyediakan panggung buat anak-anak asuh Lavrentiy Beria, sekretaris Partai Komunis Uni Soviet yang menjadi pengasuh Dinamo Moskva.
Untuk menjaga mood Stalin, yang bukan penggemar sepakbola dan sangat jarang nonton bola, Kosarev duduk di sebelah Stalin dan selalu siap dengan sapu tangan putihnya. Kosarev akan melambaikannya jika melihat Stalin nampak bosan. Itu merupakan kode untuk Starostin yang ada di pinggir lapangan. Dengan kode itu, Starostin akan memerintahkan timnya untuk tampil lebih atraktif.
Laga eksebisi yang resminya dua kali 15 menit itu berjalan 13 menit lebih lama di babak kedua. Tim utama Spartak menang 4-3.
Kosarev dan Starostin beserta “anak-anak” mereka girang. Beberapakali Stalin tampak sumringah dan selalu memberi tepuk tangan setiap kali gol tercipta. Lebih lega lagi buat Kosarev dan Starostin, tak ada bola yang melayang liar ke arah tribun kehormatan tempat Stalin berada. Reaksi girang Stalin jadi kemenangan politis buat Kosarev.
Baca juga:
Kematian Stalin dalam Banyolan
Sepakbola Soviet Era Stalin
Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri
Piala Dunia yang Tak Diakui
Tambahkan komentar
Belum ada komentar