Burma dan Kemerdekaan Indonesia
Sukarno menyebut Burma sebagai sahabat karena banyak membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
KRISIS kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Massa berdemonstrasi di Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta sampai membakar bendera Myanmar. Muncul juga desakan menarik duta besar Indonesia dari Myanmar, bahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Myanmar.
“Masalah yang terjadi di Myanmar bukan masalah bilateral antara Indonesia dan Myanmar. Selama ini hubungan antarnegara baik-baik saja dan tidak pernah ada benturan apapun. Oleh karenanya memanggil pulang Dubes Indonesia di Myanmar bukan suatu tindakan tepat,” kata Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, kepada Historia.ID.
Baca juga: Ketika Aung San Merangkul Rohingya
Persahabatan Indonesia dan Myanmar (dulu Burma, Birma) sudah terjalin sejak awal Indonesia merdeka bahkan Burma belum merdeka secara penuh. Pada 30 Oktober 1946, Jenderal Aung San, kepala pemerintahan sementara Burma, mengirim kawat kepada Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
“Isi kawat antara lain harapan terciptanya kerjasama yang erat sekali antara Birma dan Indonesia serta negara-negara lain di Asia Tenggara, demi perdamaian dunia yang kekal. Selanjutnya, dia berharap agar wakil-wakil Indonesia yang akan menghadiri Konferensi Pan Asia di New Delhi tahun depan sudi singgah dan tinggal beberapa waktu lamanya di Birma,” tulis Pramoedya Ananata Toer, dkk., dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946).
Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir menghadiri acara Inter-Asian Relations Conference in New Delhi, India, pada 27 Maret-2 April 1947. Sekembali dari India, Sjahrir dan rombongan singgah di Rangoon, Burma. Sayangnya, dia tidak bertemu dengan Jenderal Aung San yang sedang berkampanye, tapi bertemu dengan Perdana Menteri U Nu.
Baca juga: Militer Myanmar Sewa Pesawat Indonesia
Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Burma mengusulkan kepada India untuk mengadakan Conference on Indonesian di New Delhi, India, 20 Januari 1949. 18 negara Asia hadir dalam konferensi ini untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Pada 1947, Indonesia membuka Indonesian Office atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Rangoon. Kantor ini yang mengurus izin agar pesawat RI-001 Seulawah bisa beroperasi di Burma sebagai penerbangan sipil dengan nama maskapai Indonesian Airways. Militer Burma mencarter pesawat Dakota DC-47 itu untuk memadamkan pemberontakan suku Karen.
“Angkatan Udara kita dalam tahun yang lalu telah mengembangkan sayapnya lagi di angkasa Indonesia, setelah berbulan-bulan lamanya –yakni setelah aksi militer Belanda yang kedua– dia tidak mempunyai kesempatan untuk berada di udara. Akan tetapi selama waktu itu di negara sahabat Birma, Angkatan Udara kita memelihara penerbangan terus,” kata Presiden Sukarno dalam amanat pada Hari Angkatan Perang di Jakarta, 5 Oktober 1950, termuat dalam Bung Karno: Masalah Pertahanan Keamanan.
Baca juga: Pura-pura demi Burma Merdeka
Pada 24 Januari-2 Februari 1950, Presiden Sukarno melakukan kunjungan ke luar negeri untuk pertama kalinya, yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Setibanya di Rangoon, Burma, Sukarno disambut oleh Presiden Burma Sao Shwe Thaik.
“Di samping mempererat hubungan dengan negara-negara sahabat, kunjungan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Ketiga negara yang dikunjungi Presiden Sukarno itu telah banyak memberikan bantuannya pada masa yang paling sulit bagi perjuangan Republik,” tulis buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964.
Tidak lama kemudian, pada April 1950, Kantor Perwakilan RI yang dipimpin Maryunani diresmikan menjadi KBRI Rangoon diikut dengan dibukanya Kedubes Burma di Jakarta. Sebagai sesama bekas negara terjajah, Indonesia dan Burma aktif dalam menentang imperialisme dan kolonialisme. Di antaranya bersama India, Pakistan dan Sri Lanka, menjadi pemrakarsa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955.
Pada masa rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, hubungan Indonesia dengan Myanmar semakin mesra. Keluarga Cendana leluasa berbisnis dengan Myanmar. Bahkan, junta militer Myanmar berguru kepada Soeharto agar dapat melanggengkan kekuasaannya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar