Obsesi Soeharto Kepada Gajah Mada
Soeharto membutuhkan Gajah Mada untuk melegitimasi kekuasaannya. Berhasil dengan topeng Gajah Mada, namun gagal menemukan lokasi Gajah Mada mengucapkan sumpahnya.
Pada suatu hari di tahun 1980-an, Ayatrohaedi, arkeolog dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menerima misi penting dari Maulana Ibrahim, kepala bidang pemugaran Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Maulana meminta Ayatrohaedi untuk pergi ke Mojokerto termasuk Trowulan untuk mencari tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa sebagaimana disebutkan dalam Nagarakretagama karya Mpu Prapanca.
“Seketika itu juga aku mengatakan kecil kemungkinan menemukan tempat itu, namun Maulana memaksaku juga,” kata Ayatrohaedi dalam memoarnya, 65=67 Catatan Acak-Acakan dan Cacatan Apa Adanya.
Ayatrohaedi merasa heran mengapa Maulana memaksanya padahal dia sendiri meragukan lokasi itu dapat dilacak. Maulana mengatakan bahwa permintaan khusus itu datang dari Presiden Soeharto melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Maulana mengungkapkan bahwa “RI 1 atau Pak Harto sangat ingin, walaupun hanya sekali, bermalam di wilayah Jawa Timur. Namun, sesuai dengan pesan dari gurunya, Pak Harto baru boleh menginap di Jawa Timur yang dianggap identik dengan wilayah inti Kerajaan Majapahit, jika sudah dapat dipastikan di mana Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah saktinya itu. Jika tempat itu belum ditemukan, jangan berani-berani menginap di Jawa Timur. Demikian pesan gurunya.”
Baca juga: Menertawakan Sumpah Palapa Gajah Mada
Beberapa hari kemudian, Ayatrohaedi berangkat ke Surabaya, lalau ke Mojokerto, dan langsung ke Trowulan yang diklaim sebagai posisi ibukota Majapahit. “Singkat kata, setelah lima hari aku napak tilas, akupun kembali ke Jakarta. Melaporkan hasil pelacakanku kepada pemberi tugas rahasia itu, Maulana Ibrahim,” kata Ayatrohaedi yang gagal menemukan lokasi Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Jangankan menemukan lokasi itu, dia bahkan meragukan Trowulan sebagai lokasi ibukota Kerajaan Majapahit.
“Akibatnya,” kata Ayatrohaedi, “hingga turun atau dipaksa turun dari takhta, Soeharto belum pernah memberanikan diri bermalam di wilayah Jawa Timur. Murid yang benar-benar patuh pada perintah guru!”
Sebelumnya, pada 1967, Sudjono Humardhani, asisten Presiden Soeharto yang mengurusi soal mistik, meminjam topeng Gajah Mada yang disimpan di Pura Penopengan, Belah Batu, Bali. Topeng itu milik Aria Rohaya, panglima perang Gajah Mada yang ikut menaklukan Bali. Keturunannya selama 600 tahun menjaga topeng itu. Ketika dipinjam oleh Sudjono, topeng itu dijaga oleh I Gusti Ngurah Mantra.
Baca juga: Wajah Lain Gajah Mada
Menurut Khoon Choy Lee dalam A Fragile Nation: The Indonesian Crisis, sebagai orang yang mempercayai mistik, Soeharto yang baru saja berkuasa menginginkan topeng Gajah Mada. Saat Gusti membuka kotak berisi topeng Gajah Mada untuk diperlihatkan kepada Sudjono, tiba-tiba terjadi badai di seluruh Bali. Gusti mengatakan bahwa itu pertanda bagus, dan itu adalah manifestasi kekuatan supranatural topeng itu.
“Sudjono mengatakan kepada saya bahwa petugas yang membawa topeng itu ke Jakarta meninggal karena serangan jantung. Topeng itu berada di Istana selama seribu hari untuk memberkati Soeharto. Setiap malam doa khusus dilakukan menghadap topeng itu,” kata Khoon Choy Lee, duta besar Singapura di Indonesia pada 1970.
Sementara itu, menurut Arwan Tuti Artha dalam Dunia Spiritual Suharto, topeng Gajah Mada barangkali diharapkan dapat memberi kekuatan supranatural sehingga Soeharto bisa menyerupai Gajah Mada yang mampu menyatukan Nusantara.
Baca juga: Isyarat Patahnya Kekuasaan Soeharto
Obsesi Soeharto terhadap Gajah Mada juga bisa dilihat dari penamaan satelit yang diluncurkan pertama kali pada 1976, yaitu Satelit Palapa. Nama ini diambil dari Sumpah Palapa Gajah Mada.
Di awal kekuasaannya, Soeharto berhasil mendapat legitimasi spiritual dari topeng Gajah Mada. Namun, menjelang akhir kekuasaanya, dia gagal bermalam di tempat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
“Kadang-kadang terkilas dalam benakku," kata Ayatrohaedi, "apakah kejatuhan Pak Harto, antara lain karena aku tidak berhasil menemukan Wisma Panangkilan, tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah saktinya itu?”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar