Wisata Pasca-Perang
Setelah gencatan senjata, kekhawatiran balas dendam masih ada kepada tentara Belanda. Itulah kenapa tentara Belanda tak boleh masuk Yogyakarta.
Sekelompok perwira tentara Belanda datang dari Semarang menuju Yogyakarta. Paling senior dalam rombongan itu berpangkat Letnan Kolonel. Ketika melewati pos penjagaan TNI di perbatasan Magelang-Sleman, mereka ditanyai tentara Indonesia. Para perwira Belanda itu mengatakan mereka ingin mengunjungi kota Yogyakarta.
Kapten Abdul Latief, bekas komandan kompi di Komando Militer Kota (KMK) Yogyakarta yang kelak ditahan akibat keterlibatannya dalam Gerakan 30 September tahun 1965, mengetahui kehadiran para perwira Belanda itu. Kapten Latief pernah kehilangan banyak anak buah ketika bertempur melawan tentara Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu pasukan Kompi Latief berpangkalan di sekitar Kulonprogo lantaran kurang disentuh oleh tentara Belanda.
Ketika Latief mengetahui sekelompok perwira Belanda yang ingin berwisata itu, sudah tidak ada tembak-menembak antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tentara Belanda. Di mata tentara Belanda, perang sudah selesai. Banyak wajib militer dalam tentara Belanda Koninklijk Landmacth (KL) lebih menyukai pulang daripada berperang dengan Republik Indonesia. Namun, mereka masih harus menunggu waktu untuk dipulangkan ke negeri Belanda. Mereka pun praktis hanya menunggu. Berwisata adalah kegiatan terbaik bagi mereka yang jauh dari rumah itu. Tak terkecuali para perwira yang ingin berwisata ke Yogyakarta itu.
Di pihak Indonesia pun, rakyat juga baru kembali hidup normal. Pemerintah sedang melakukan konsolidasi. Banyak tentara baru saja keluar dari hutan atau turun gunung.
Kapten Abdul Latief yang mengetahui kehadiran para perwira tentara Belanda itu pun tak tinggal diam. Maklum, saat itu masih status perang meski tembak-menembak sudah tak ada. Buku Republik Indonesia Daerah Istimewa Jogjakarta mencatat, pada 1950 pemerintah militer berkuasa hingga 15 Agustus 1950, ketika kekuasan kembali ke pemerintahan sipil.
Seorang mayor dan kapten tentara Belanda di pos TNI perbatasan Magelang-Sleman pun mendatangi Kapten Latief. Mereka minta izin untuk berwisata ke Yogyakarta sebelum pulang ke Negeri Belanda. Latief tak memberi izin dengan alasan pemerintah sedang berkonsolidasi, rakyat baru saja memulai hidup baru pasca-perang, banyak tentara republik baru pulang dari medan perang. Bagi Latief, keadaan belum stabil meski sudah ada gencatan senjata.
Namun penjelasan Latif tak bisa mengubah keinginan para perwira Belanda itu yang berkeras ingin berwisata ke Yogyakarta. Tentu saja mereka bicara dengan bahasa yang halus. Menurut mereka, sudah tidak ada lagi perang di antara RI dan Belanda.
Mendapat jawaban itu, Kapten Latief bilang ke mereka agar mereka tidak saling merepotkan. Sebab, hal-hal liar macam balas dendam sangat mungkin masih terjangkit di kalangan orang-orang Indonesia yang banyak jadi korban tentara Belanda di masa perang kemerdekaan.
“Saya takut kalau nanti akan terjadi balas dendam dari oknum-oknum atau rakyat yang tidak mengerti aturan militer. Lama kami berdebat dan akhirnya mereka menyadari dengan kecewa dan kembali lagi ke Semarang,” aku Abdul Latief dalam memoarnya yang tak diterbitkan, “Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar