Jago Tempur Brimob di Awal Kemerdekaan
Sesaui namanya, Imam, bawahan "Bapak Brimob" M Jasin di Surabaya ini kerap memimpin anggota cikal-bakal Brimob dalam pertempuran.
MESKIPUN hanya lulusan SMP, mantan guru bernama Imam Bachri memanfaatkan betul peluang yang ada di masa pendudukan Jepang dengan masuk ke sekolah polisi di Surabaya. Ketika lulus dari sekolah polisi itu pada 1945, pria kelahiran Mojokerto, 17 Februari 1921 itu dapat pangkat junsa-bucho yang setara sersan.
Setelah Indonesia merdeka, Imam ikut Republik Indonesia sebagai bagian dari Polisi Istimewa. Pangkatnya naik menjadi Pembantu Inspektur Polisi kelas dua (kini setara Ajun Inspektur Polisi Dua/Aipda).
Mula-mula, Imam ditugaskan di Surabaya di bawah Inspektur Mohamad Jasin. Di sana dia bersama Pembantu Inspektur lain seperti Mudjoko dan Soetjipto Danoekoesoemo. Ketika Inspektur Jasin menjadi kepala Polisi Istimewa Keresidenan Surabaya, Sotjipto menjadi kepala Polisi Istimewa Surabaya. Imam sendiri pada Oktober-November 1945 menjadi salah satu komandan satuan Polisi Istimewa di Surabaya.
Dengan posisi itu, Imam mendapat tugas amat berat. Sebab, pasukan Inggris yang mewakili Sekutu telah tiba dan mereka menjalankan tugas yang di lapangan bertentangan dengan kemauan rakyat Indonesia untuk merdeka. Potensi konflik terbuka amat besar.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk berupa konflik terbuka, kekuatan perjuangan di Surbaya membuat strategi dan menerapkan tatktik. Pun dengan pasukan kepolisian RI.
“Komando Sektor Pertahanan Surabaya Utara, dipegang pasukan di bawah AIP Imam Bachri dengan tugas untuk menutup gerakan musuh ke arah lapangan udara,” tulis Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah perkembangan Angkatan Kepolisian.
Sementara Imam memegang sektor utara, Jasin mengurus pertahanan sektor Surabaya dan Soetjipto di sisi barat. Di antara ketiganya, dengan melihat dari posisi kedatangan tentara Sekutu yang masuk dari pelabuhan di bagian utara Surabaya, sektor yang dipertahankan pasukan Imam adalah yang paling berisiko kena hantam lebih dahulu. Pasukan Imam dengan demikian memiliki tugas terberat.
Pada akhirnya, konflik terbuka memang tak bisa dihindari. Pertempuran pecah antara para pejuang Indonesia dengan tentara Inggris yang didukung kekuatan penuh.
Lapangan udara yang amat penting bagi Sekutu dan di sisi lain adalah tempat latihan tempur pasukan Imam, jadi palagan. Ketika pertempuran meluas, pada akhirnya pasukan Imam juga ikut mempertahankan sektor barat.
Dalam keadaan panas itu, Imam tetap dipercaya memegang tugas lain. Dirinya bahkan ditugaskan mewakili polisi ke daerah lain. “PIP Imam Bachri ditunjuk Polisi Istimewa Surabaya untuk ikut ke Bali,” terang Soetjipto Danukusumo, yang belakangan menjadi Kapolri, dalam Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat, Catatan Perjuangan.
Dalam perjalanan ke Bali itu, Imam bersama tiga rekannya ditugaskan untuk memperkuat pengaruh RI di Bali dan berharap militer Jepang di sana mau menyerahkan senjata mereka kepada pihak RI. Mereka berangkat dengan satu mobil sedan yang sama.
Tak hanya ke Bali, Ajun Inspektur Imam juga ditugaskan ke ibukota RI Yogyakarta. Kali ini tugasnya adalah ikut membersihkan kelompok pengkudeta dalam Peristiwa 3 Juli 1946. Imam berangkat bersama satu kompi Polisi Istimewa.
Setelah Polisi Istimewa dilebur ke dalam Mobil Brigade (Mobrig) pada 14 November 1946, tugas Imam kian banyak. Pasukan Mobrig dari Surabaya dikirim ke Madiun untuk menggempur pasukan Letkol Dachlan setelah Peristiwa Madiun pecah akibat ulah komunis pada 1948. Menurut Memed Tanwidjaja, Imam memimpin dua kompi Mobrig dari Keresidenan Surabaya, dua kompi Mobrig Besar Surabaya ditambah satu kompi campuran polisi dari Malang dan Besuki. Imam Bachri adalah perwira tertinggi Mobrig dalam operasi penumpasan kelompok kiri itu.
Di Madiun, mereka menghadapi perlawanan dari pasukan yang menganut sistem gerilya. Alhasil, pasukan Mobrig tak hanya menyerbu Madiun saja, tapi juga Ponorogo di selatannya, tempat para pasukan kiri melakukan gerak mundur.
“Penyerbuan ke Ponorogo ini dilakukan pasukan MB (Mobrig) Jawa Timur di bawah komando Imam Bachri bersama kesatuan Siliwangi di bawah pimpinan Achmad Wiranataksumah,” kata Mohamad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang.
Hasil terpenting dari perburuan ke Ponorogo adalah terbunuhnya Musso, salah satu pemimpin komunis di Keresidenan Madiun.
Setelah 1948, Imam dipindahtugaskan ke Kediri. Tugas tersebut “hadiah” dari keberhasilannya di Madiun-Ponorogo.
“Ia diangkat menjadi Komandan MBK Kediri setelah berprestasi tinggi sebagai Komandan Tempur Pasukan Gabungan Batalyon Mobile Brigade Jawa Timur menghancurkan Pasukan Pemberontak PKI-Musso. Oleh sebab itu, Mobile Brigade Keresidenan Surabaya mempromosikannya sebagai Komandan Mobile Brigade Keresidenan Kediri,” catat Soetjipto.
Kendati pangkatnya masih setara dengan Pembantu Letnan di Angkatan Darat, Imam telah kaya pengalaman tempur. Di luar melawan tentara Belanda, dia telah terlibat dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah di Indonesia: Pertempuran 10 November 1945 menlawan tentara Inggris, membersihkan pelaku Kudeta 3 Juli 1946, dan penumpasan komunis pelaku Peristiwa Madiun 1948.
Alih-alih duduk enak di balik meja setelah 1950 hingga 1955, Komisaris Polisi Imam masih tetap mendapat tugas tempur. Dirinya, menurut buku Riwayat Hidup Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan umum 1971, memimpin Mobrig ke Ajibarang, Banyumas, pada 1952 untuk menghadapi pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Tengah. Tahun berikutnya hingga 1954, giliran gerombolan Ibnu Hajar di Hulu Sungai Selatan yang dihadapinya bersama pasukan Mobrignya. Lalu pada 1954-1955, Imam memimpin Mobrig menghadapi gerombolan Mawo di Bali.
Sempat rehat pada 1955 untuk ikut tiga pelatihan ranger di Manila dan kemudian memimpin inspektorat Mobrig di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pada 1958-1959 Imam kembali angkat senjata. Imam ditugaskan ikut operasi penumpasan PRRI di Sumatra Tengah. Baru setelah itu dirinya “pensiun” tempur seiring menapaki kariernya yang terus menanjak hingga Korps Mobrig kemudian menjadi Brigade Mobil (Brimob) Pria ini pernah menjadi menjadi kapolda Maluku (1967-1971) dan Kalimantan Selatan (1972) dengan pangkat brigadir jenderal polisi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar