Adu Kuat Luftwaffe di Langit Spanyol hingga Inggris
Luftwaffe mengemban ekspektasi besar menguasai superioritas udara. Keperkasaannya tumbang di langit Inggris.
ANGGARAN lebih besar yang didapatkan membuat RLM (Reichsluftfahrtministerium) dan Luftwaffe menghadirkan matra udara yang ditakuti Eropa. Per 1935, Luftwaffe setidaknya sudah punya sekitar 20 ribu personel (penerbang, artileri anti-udara, korps sinyal) dan 1.800 alutsista udara yang terbagi ke dalam empat luftflotte.
Saat ikut campur dalam Perang Saudara Spanyol (1936-1939) dengan mendukung pihak Nasionalis pimpinan Francisco Franco, Luftwaffe sudah bertulangpunggungkan pesawat-pesawat multiperan modern. Wujud keikutsertaan Luftwaffe yakni mengirimkan unit sukarelawan Legion Condor untuk “prakondisi perang” dan turut membantu pasukan Franco menguasai udara Spanyol dengan sekitar 6.000 personel AD, 1.600 personel darat Luftwaffe, dan 100 alutsista pesawat tempur Messerschmitt Bf 109, Heinkel He 51 dan Heinkel He 112, pesawat pembom Junkers Ju 86, Heinkel He 111, dan Dornier Do 17, serta pembom tukik Junkers Ju 87 “Stuka” yang kondang.
“Legion Condor, elemen dukungan Luftwaffe yang mendukung pemberontak nasionalis Jenderal Franco dalam Perang Saudara Spanyol menjadi medan pembuktian bernilainya desain-desain pesawat dan taktik Jerman yang baru sekaligus mengondisikan para kombatannya dalam kondisi-kondisi pertempuran,” tulis Jean-Denis G.G. Lepage dalam Aircraft of the Luftwaffe: An Illustrated Guide.
Baca juga: Luftwaffe Reborn
Saat Jerman membuka tirai Perang Dunia II pada 1939, Luftwaffe sudah punya 25 ribu personel serta alutsista mencapai sekitar 1.000 pesawat tempur dan 1.050 pesawat pembom berbagai jenis yang terbagi di 10 luftflotte. Sementara, Menteri Persenjataan Albert Speer juga sudah mencanangkan produksi lebih dari 8.000 alutsista udara lagi. Kesuksesan Luftwaffe mendukung taktik-taktik Blitzkrieg dalam Invasi Polandia (1 September-6 Oktober 1939) dan Invasi Prancis serta Belanda dan Belgia (10 Mei-4 Juni 1940) tentu membuat Panglima Luftwaffe Herman Göring jemawa untuk meladeni kekuatan udara Inggris.
“Hermann Göring, panglima Luftwaffe, dengan begitu bangganya memastikan pada Hitler bahwa ia akan mampu mencapai superioritas udara dalam beberapa pekan saja, demi membuka jalan bagi rencana invasi dengan kode operasi Unternehmen Seelowe yang akan diampu Luftwaffe dan Kriegsmarine. Panglima Kriegsmarine (Laksamana Erich) Raeder berargumen ragu bisa mencapai targetnya. Tetapi Hitler kadung percaya pada Luftwaffe bisa mengamankan superioritas udara di selatan Inggris dan menghancurkan RAF,” ungkap Tim Heath, Virginia Wells, dan Herti Bryan dalam Resistance Heroines in Nazi & Russian Occupied Austria: Anschluss & After.
Sial bagi Hitler, invasi ke Inggris itu berujung “buntung”. Meski sudah dibantu korps ekspedisi Italia, Corpo Aereo Italiano, Luftwaffe gagal menaklukkan RAF yang dibantu RCAF (AU Kanada) di Pertempuran Britania. Pertempuran udara paling sengit dalam catatan Perang Dunia II (19 Juli-30 Oktober 1940) itu begitu besar menimbulkan korban jiwa dari warga sipil.
Luftwaffe yang total berkekuatan 2.550 alusista memulai kampanyenya dengan melancarkan “The Blitz”, pemboman malam berskala besar. Tapi kemudian RAF dan RCAF dengan total 1.963 alutsista merespons dengan perlawanan alot di udara. Luftwaffe memang unggul kekuatan di atas kertas, tapi nyatanya Inggris unggul dalam keuletan para pilot dan personel meriam anti-udara, serta intelijen. Belum lagi pesawat-pesawat andalan RAF seperti Supermarine Spitfire dan Hawker Hurricane sudah dilengkapi pula teknologi Radar Dowding System untuk melacak dan mencegat pesawat-pesawat Luftwaffe.
Luftwaffe sampai kehilangan 2.585 personel dan 1.977 pesawatnya hancur. Göring hilang muka di hadapan Hitler lantaran kekalahan itu juga berarti “Operasi Singa Laut” untuk menginvasi Inggris serta-merta juga gagal. Di lain pihak PM Churchill begitu lega dan bangga dengan RAF-nya.
“Dalam sejarah konflik manusia tak pernah ada begitu banyak orang berutanng nyawa pada sedikit orang (pilot RAF, red),” cetus Churchill saat berpidato di Parlemen Inggris pada 20 Agustus 1940, dikutip Martin Gilbert dalam Winston S Churchill, Vol. 6: Finest Hour, 1939-1941.
Maka superioritas Luftwaffe yang dibanggakan Göring itu pun tamat di udara Inggris. Meski pada invasi ke Uni Soviet Luftwaffe masih ikut menyokong “Operasi Barbarossa” (22 Juni-5 Desember 1941), namun kekuatan dan tajinya tak pernah lagi sama seperti sebelum Pertempuran Britania karena kendati produksi alutsistanya masih berjalan tapi kehilangan banyak jago-jago udaranya. Tak ayal di fase-fase akhir perang, Luftwaffe pun tak berdaya mencegah kota-kota besar di Jerman jadi sasaran serangan udara dan pemboman Sekutu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar