Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro
Roto tak hanya menjadi panakawan atau pendamping Diponegoro. Dia pandai membuat plesetan kata dan membanyol.
SOSOK itu berdiri di pilar bagian barat pada lukisan berjudul “Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro” karya Raden Saleh. Keberadaannya tersembunyi di belakang seorang pasukan Belanda yang memegang senapan. Tampak hanya kepala yang menoleh ke arah timur laut, menyorot sang tokoh sentral, Pangeran Diponegoro. Dia berada dekat sang pangeran yang dikerumuni petinggi militer Belanda di pelataran wisma residen Kedu. Sosok tak bersorban itu adalah Joyosuroto atau kerap disapa Roto, salah satu pengiring atau panakawan Diponegoro.
Sebagai pendamping yang paling intim, dia bersama panakawan lainnya “memiliki gabungan peran; abdi pengiring, guru, penasihat, peramu obat, pembanyol, dan penafsir mimpi,” tulis Peter Carey, sejarawan Trinity College, Oxford, dalam “A Mischievous Young Rogue and a Dwarf; Reflections on The Role of The Panakawan in The Age of Prince Diponegoro (1785-1855).”
Roto seorang warga desa sekitar Tegalrejo yang bergabung dengan Diponegoro tatkala menghimpun kekuatan di Tegalrejo, sebelum perang Jawa berkecamuk. Dia bergabung dengan pengiring lainnya guna mempersiapkan keperluan Diponegoro. Mereka disebut dalam Babad Dipanegara sebagai bocah becik (anak baik).
Dari Tegalrejo, rombongan bertolak ke daerah perbukitan wilayah Selarong pada 1825. Di sana Diponegoro semakin mendalami mistik dan agamanya. Berangkat pergi ziarah dan tinggal di gua-gua. Willem Andrian van Rees (1820-1898), perwira Belanda, melaporkan bahwa Diponegoro kerap ditemani pengikutnya yang paling intim (panakawan). Mereka tinggal di dalam gua, Guwo Secang, yang memiliki dapur.
“Bisa diduga di sanalah panakawan-nya mempersiapkan makan untuk Diponegoro dan menemaninya selama puasa,” ungkap Peter Carey.
Keintiman sang pangeran dan panakawan berubah kala perang Jawa pecah dan Diponegoro mulai menerapkan tata pemerintahan keraton pada rombongannya (Oktober 1825 di Selarong dan November 1825-Agustus 1826 di Kemusuk, wilayah Kulon Progo). Panakawan tak lagi jadi karib tunggal Diponegoro.
Hubungan itu kembali intim pada saat posisi Diponegoro semakin melemah. Dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, Peter Carey menjelaskan bahwa keadaan itu bermula dari pecahnya hubungan Diponegoro dengan Kiai Mojo yang bersedia berunding dengan Belanda. Keadaan itu diperburuk dengan gugurnya panglima senior, Raden Ngabehi, beserta dua anaknya, dalam pertempuran sengit di perbatasan Bagelen-Mataram pada 21 September 1829.
Tak lama setelah itu, pada 11 November 1829, pasukan gerak cepat ke-11 di bawah komando AV Michiels nyaris menangkap Diponegoro. Dia berhasil lolos dan masuk ke hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua panakawan: Roto dan Bantengwareng.
Pengembaraannya di dalam hutan begitu berat. Diponegoro berpindah-pindah ke gubug petani dalam kelelahan dan sakit malaria. Kedua panakawan mengurangi deritanya. Roto mencoba menghibur sang pangeran dengan banyolan dan tingkah lakunya yang lucu. Dia seorang penghibur dan sosok yang pandai berkisah.
Dari semua panakawan, Roto adalah pengiring yang berbagi setiap tahap perjalanan Diponegoro di sisa perjalanannya sebagai tahanan menuju pembuangan. Saat di atas kereta residen Kedu menuju perbatasan Semarang, Roto bertugas membawa kotak sirih, suatu tugas pengabdian seorang abdi kepada sang raja.
Baca juga: Delapan Gua Tetirah Diponegoro
Tiba di semarang, Diponegoro tinggal selama seminggu di wisma residen Bojong, Semarang. “Dia bertugas menjaga sang pangeran di waktu malam. Tidur di luar pintu, memastikan sang pangeran tidak terganggu dalam menjalani ritual di malam hari,” tulis Peter Carey.
Setiap hari Diponegoro makan di meja residen. Dia mulai menyukai roti putih yang baru dipanggang dan kentang walanda. Roto membuat plesetan terkait “kentang walanda menjadi kentang sabrang yang akan menjadi makanan sehari-hari selama pelayaran ke Manado,” ungkap Peter Carey.
Roto tidak menyertai Diponegoro hingga ke pembuangan di Manado. Dia dikirim pemerintah Belanda ke Tondano, Sulawesi Utara, bergabung dengan Kiai Mojo pada Juni 1839. Roto pun tak berada di sisi Diponegoro pada akhir hayatnya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar