Titiek Puspa Melintasi Zaman
Sumarti menggunakan nama samaran Titiek Puspa saat memulai karier sebagai penyanyi agar tak diketahui keluarganya. Putri seorang mantri yang pemalu ini menjelma menjadi bintang besar di industri hiburan.
DUNIA hiburan Indonesia berduka. Legenda di bidang musik, teater, dan film, Titiek Puspa, meninggal dunia di usia 87 tahun. Putri sulung Titiek, Petty Tunjungsari, mengungkapkan, ibunya dilarikan ke rumah sakit setelah menyelesaikan syuting acara televisi pada 26 Maret 2025. Hasil pemeriksaan medis ditemukan adanya pendarahan di otak bagian kiri. Setelah menjalani perawatan selama lebih dari dua pekan, maestro musik Indonesia itu tutup usia pada Kamis (10/4/2025) sore.
Titiek Puspa bukan seniman biasa. Penyanyi yang puluhan tahun malang melintang di industri hiburan itu tak hanya piawai memanjakan telinga melalui suaranya yang merdu dengan husky voice (umum disebut serak-serak basah, red.) dan improvisasi yang jempolan, tetapi juga sukses menyentuh hati para pendengarnya melalui berbagai lagu yang ia ciptaankan. Tak hanya didedangkan sendiri, lagu-lagu ciptaannya juga dibawakan oleh penyanyi lain dan menjadi hit hingga kini. Beberapa di antaranya Gang Kelinci, Jatuh Cinta, Apanya Dong, hingga Kupu-kupu Malam. Sementara itu, aksi panggungnya yang lincah dan menghibur, serta sikapnya yang ramah dan hangat membuat pelantun Puspa Dewi dan Minah Gadis Dusun itu memiliki banyak penggemar dari beragam kalangan lintas generasi.
Lahir dengan nama Sudarwati di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan, pada 1 November 1937, Titiek kecil gemar menyanyi. Namun karena sifatnya yang pemalu, tak sedikit anggota keluarga dan kawan-kawannya yang terkejut ketika anak keempat dari 12 bersaudara itu menjelma menjadi bintang besar di industri hiburan tanah air.
Titiek mengisahkan kepada Alberthiene Endah, penulis biografinya, Titiek Puspa: A Legendary Diva, awal mula menapaki karier sebagai penyanyi. Di bangku sekolah, Titiek yang menghabiskan masa kecilnya di berbagai wilayah di Jawa Tengah, mengakui bahwa pelajaran menyanyi paling ia tunggu. Ketika gurunya menunjuknya untuk menyanyi di depan kelas, gadis pemalu tersebut tak pernah menolak. Dengan semangat ia bernyanyi di hadapan teman-temannya. Tak heran bila kemudian Titiek mendapat reputasi sebagai siswi yang gemar menyanyi.
Baca juga:
“Lantaran punya reputasi itu, suatu hari sebuah berita menghampiri telinga saya. Nama saya diumumkan sebagai wakil yang layak maju ke lomba menyanyi antar sekolah se-Semarang ... Pihak sekolah memberi saya waktu untuk berpikir, namun sebuah kalimat cukup menyengat saya ... Sampai di titik ini saya menjadi ragu. Menyanyi sebagai hobi sudah pasti membahagiakan saya. Tapi menyanyi sebagai sebuah alasan hadir di panggung yang akan disorot orang banyak? Wah! Itu mengerikan. Saya bisa perang dengan orang tua,” kenang Titiek.
Keberatan orang tua Titiek dapat dimaklumi. Pasalnya, ayahnya, seorang mantri, menyekolahkannya ke Semarang agar ia memiliki bekal untuk masa depan yang lebih baik, mengingat keluarganya tidak berasal dari golongan berada. Titiek bersama saudara-saudaranya tumbuh dalam kemiskinan dan kesulitan. Oleh karena itu, kedua orang tuanya beranggapan dengan pendidikan yang baik, ia dapat mengubah nasib dirinya dan keluarga.
Selain itu, menurut Andrew N. Weintraub, profesor musik (ethnomusicology) di University of Pittsburgh, dalam “Titiek Puspa: Gendered Modernity in 1960s and 1970s Indonesian Popular Music”, termuat di Vamping the Stage: Female Voices of Asian Modernities, pada saat itu, menyanyi di depan umum tidak dianggap sebagai profesi yang baik bagi perempuan muda karena asosiasi negatifnya dengan hotel, kehidupan malam, hingga prostitusi.
“Namun, terlepas dari konotasi yang tidak baik ini, penyanyi profesional adalah pelaku ekonomi yang sering kali mendukung suami, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya (seperti dilakukan Titiek di kemudian hari). Lebih lanjut, pada 1950-an dan awal 1960-an, ‘Menjadi modern secara budaya juga berarti berpartisipasi dalam bentuk-bentuk baru hiburan populer’. Setelah kemerdekaan Indonesia, penyanyi perempuan dapat menikmati eksistensi di media massa yang lebih besar, status ekonomi yang meningkat, agensi yang lebih besar, dan dalam beberapa kasus, status sosial yang lebih tinggi,” tulis Weintraub.
Di tengah kegalauan, Titiek mendapat dorongan dari sahabatnya, Yayuk, untuk berani mengambil kesempatan. Yayuk mengusulkan agar Titiek menggunakan nama samaran sehingga tidak diketahui oleh keluarga. Ketika itu nama Titiek adalah Sumarti. Sejak lahir, ia telah dua kali ganti nama karena semasa kecil sering sakit-sakitan. Mulanya, ia berganti nama dari Sudarwati menjadi Kadarwati. Lalu dari Kadarwati menjadi Sumarti, dan kini dikenal dengan nama Titiek Puspa.
Baca juga:
“Ia (Yayuk) mengusulkan nama Titiek Puspo. Saya tak setuju karena terdengar sangat Jawa. Akhirnya, sebuah nama kami sepakati. Titiek Puspa. Dengan nama itulah saya mulai melancarkan sebuah perjuangan yang tidak pernah saya duga ujungnya akan bagaimana. Sebuah perjalanan yang kelak menghantarkan saya ke pelabuhan besar, panggung musik Indonesia,” kata Titiek.
Dengan nama Titiek Puspa, wanita yang gemar membeli kain dan merancang pakaiannya sendiri itu ikut serta dalam kontes menyanyi tingkat regional di Semarang. Keberhasilannya meraih juara kedua dalam ajang pencarian penyanyi berbakat itu mendorong Titiek untuk mengejar karier sebagai penyanyi. Sepanjang tahun 1950-an, ia terus bernyanyi di berbagai acara dan untuk siaran radio, bolak-balik antara Semarang dan Jakarta. Dia berkompetisi dalam kontes menyanyi nasional di Jakarta. Meskipun tak menang, Titiek berhasil menarik perhatian Sjaiful Bahri, pemimpin Orkes Studio Djakarta. Sjaiful yang terkesan dengan suara menawannya meminta Titiek untuk tampil di Panggung Gembira penutupan lomba. “Suaramu bagus. Kamu pantas menyanyi di acara itu,” kata Sjaiful sebagaimana dikenang Titiek.
Di atas panggung itu Titiek menyanyikan lagu Chandra Buana yang berhasil memikat pengunjung acara, termasuk pemimpin Orkes Studio Djakarta. Berkat penampilannya tersebut, Titiek semakin sering diundang ke Jakarta untuk bernyanyi di siaran nasional. Dalam artikel Tempo, 11 November 2007, disebutkan rekaman pertama Titiek dilakukan pada 1955 di perusahaan negara Lokananta. Seiring dengan popularitasnya yang semakin meningkat, ia juga rajin manggung dari satu kota ke kota lain bersama beberapa grup musik lokal seperti Gumarang, White Satin, dan Zaenal Combo.
Kariernya terus berkembang. Pada 1959, Titiek pindah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya sebagai bintang panggung. Ia mendapatkan reputasi sebagai penyanyi papan atas di Jakarta dan menjadi anggota tetap Orkes Studio Djakarta di RRI pada 1960. Di masa ini pula wanita yang pernah menjadi guru sekolah taman kanak-kanak itu bekerjasama dengan penyanyi-penyanyi top termasuk idolanya, Bing Slamet. Tak hanya itu, Titiek juga menandatangani kontrak untuk bernyanyi setiap malam di lounge Hotel Des Indes (kini kawasan pertokoan Duta Merlin), sebuah hotel ternama di kawasan Harmoni, Jakarta.
“Pada 1964, di usia 27 tahun, Titiek sudah menjadi penyanyi profesional yang berpengalaman, tampil untuk siaran radio, pesta, tur (baik lokal maupun internasional), dan di hotel-hotel mewah. Ia telah menikah dua kali, dan membesarkan dua anak seorang diri,” tulis Weintraub.
Penggemar Titiek berasal dari berbagai kalangan bahkan Presiden Sukarno. Tak heran jika Titiek kerap diundang untuk tampil di upacara-upacara nasional dan acara-acara kenegaraan menyambut pejabat asing. Bahkan, ia dijuluki sebagai “penyanyi istana”. Sebagai penyanyi berpengaruh di masa Orde Lama, Titiek juga ambil bagian dalam misi kebudayaan ke luar negeri seperti ke Malaysia.
Perkenalan Titiek dengan komponis Iskandar dan Mus Mualim, yang kelak menjadi suaminya, mendorongnya untuk mengasah bakat sebagai pencipta lagu. Mula-mula, Titiek yang pandai bersiul mencipta lagu lewat senandung. Ia kemudian meminta Mus Mualim untuk menilainya. Pada 1963, Titiek berhasil menciptakan lagu pertama, Kisah Hidup, yang kemudian disusul lagu-lagu seperti Minah Gadis Dusun, Gang Kelinci, Bing, hingga Kupu-kupu Malam.
Sejumlah pihak menganggap Titiek sebagai komponis wanita Indonesia pertama yang mampu menembus segala zaman. Karya-karyanya menjadi hits dan langganan menduduki anak tangga lagu pop. Tak hanya dirinya yang semakin populer, Titiek juga membuat para penyanyi yang melantunkan lagunya menjadi populer.
“Eddy Silitonga melejit lewat tembang Jatuh Cinta yang diciptakan Titiek. Hal serupa juga dialami Grace Simon saat menyanyikan Bing, karya paling berkesan buat Titiek yang dibuat di atas kantong untuk muntah, kurang dari 20 menit, sambil sesegukan di pesawat Bouraq dari Jakarta ke Singkep. Lagu legendaris itu dipersembahkan untuk almarhum Bing Slamet. Hetty Koes Endang, penyanyi top di era 1970-an, berhasil menjuarai Festival Lagu Pop ‘77 berkat lagu ciptaan Titiek, yaitu Kepergiannya, yang baru kelar seminggu sebelum festival,” tulis Tempo.
Tak berhenti di dunia musik, kreativitas tanpa batas Titiek Puspa mendorongnya untuk menjajal dunia layar lebar dan panggung teater musikal. Ibu dua anak itu tak hanya menjadi pemain, tetapi juga menulis cerita untuk film Gadis. Salah satu sentuhan Titiek yang selalu diingat publik adalah operet Ketupat Lebaran yang tayang di TVRI setiap tahun menjelang Lebaran. Teater musikal itu digarap Titiek bersama rekan-rekan penyanyi yang tergabung di PAPIKO (Persatuan Artis Penyanyi Ibu Kota) dan sejak tahun 1974 hingga 1980-an.
Di usia yang tak lagi muda, Titiek masih aktif berkarya di industri hiburan pada dekade 1980-an. Sikapnya yang ceria dan hangat membuat Titiek bersahabat dengan banyak seniman, tak hanya kalangan senior tetapi juga junior di dunia musik maupun seni peran. Ia kerap menjadi teman bertukar cerita dan pikiran. Salah satu kawan baiknya adalah Ibu Tien Soeharto.
Baca juga:
“Seperti ada chemistry yang terjadi di antara kami, setelah pertemuan pertama di Jalan Cendana, saya menjadi akrab dengan Bu Tien. Kepada saya, ia sangat terbuka dan spontan,” kenang Titiek.
Lebih dari 50 tahun Titiek Puspa berkarya di belantika musik Indonesia. Beberapa konser pernah digelar sebagai apresiasi atas kiprah sang maestro. Seperti diungkapkan Weintraub, sementara penyanyi lain datang dan pergi, reputasi dan status selebritas Titiek Puspa terus berkambang. Ia telah menjadi subjek dari berbagai artikel majalah, wawancara TV, dan biografi. Dalam berita-berita selebritas, ia disebut sebagai “Kartini Modern”.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar