Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno
Presiden Sukarno tertarik dengan lukisan-lukisan karya perupa Bali di antaranya Ida Bagus Made “Poleng”. Ia meminta anggota kelompok seni Pita Maha itu membuat lukisan yang akan diberikan kepada PBB.
KEINDAHAN Pulau Dewata telah menarik banyak wisatawan asing. Para turis yang kebanyakan berasal dari Eropa tak hanya terpukau oleh panorama alam, tetapi juga terpesona dengan beragam karya para perupa Bali. Salah satu perupa yang menonjol dan dianggap tokoh penting dalam penciptaan gaya baru seni lukis Bali yang berkembang sejak akhir tahun 1920-an adalah Ida Bagus Made “Poleng”.
Sejarawan Australia, Adrian Vickers, menulis dalam Balinese Art: Painting and Drawings of Bali 1800-2010, selain menjadi salah satu pelukis tahun 1930-an yang tetap berdedikasi pada seni, Ida Bagus Made “Poleng” merupakan pemimpin dalam mengembangkan gaya Ubud. Ia juga menyusun ulang adegan dalam kisah kuno mitologi Bali seperti Rajapala menjadi gambar pedesaan yang indah, dan mengembangkan erotisme yang halus, tetapi tetap memiliki kesan kontemporer.
“Salah satu karyanya yang paling menarik dari tahun 1954 menampilkan ancaman perang atom dalam citra Bali, menggunakan motif api yang merepresentasikan kekuatan ilahi dan magis untuk menyampaikan kesan akan potensi berbahaya dari teknologi baru,” tulis Vickers.
Baca juga:
Ida Bagus Made “Poleng” merupakan putra dari perupa Ida Bagus Kembeng yang menerima penghargaan di pameran seni kolonial di Paris pada 1937. Pria kelahiran Tebesaya tahun 1915 itu belajar seni lukis wayang tradisional dari ayahnya dengan membantu memotong dan melukis wayang kulit. Ia juga belajar mengukir kayu dari orang tuanya.
“Sebagai putra dari klan Brahmana, ia sangat dekat dengan praktik-praktik keagamaan, pengetahuan, dan mitologi Bali. Pelatihan awal dalam tradisi seni Bali dan ritual keagamaan dari ayahnya ini lebih memengaruhi karya dan karier Ida Bagus Made ‘Poleng’ daripada guru-gurunya di kemudian hari, yang pengaruhnya sering kali terlalu ditekankan dalam banyak diskusi ilmiah,” tulis Kaja McGowan, pengajar di departemen History of Art and Visual Studies, Cornell University, dalam Ida Bagus Made: The Art of Devotion.
Sebagai anggota Pita Maha, Ida Bagus Made “Poleng” juga murid Rudolf Bonnet, pelukis Belanda, salah satu pendiri kelompok seni tersebut. Dari Bonnet, Gus Made, sapaan Ida Bagus Made “Poleng”, belajar anatomi manusia dan komposisi gambar. Menurut McGowan, pengaruh Bonnet terlihat jelas dalam upaya Gus Made meniru apa yang ia pahami sebagai perspektif lukisan Barat, yaitu kaku, pasif, dan statis. Dengan cara ini, ia menggambar manusia dengan komposisi yang tidak saling berinteraksi, hewan dengan kepala tegak yang kaku, dan pohon dengan batang yang lurus.
“Namun, karya-karyanya menunjukkan bahwa Ida Bagus Made telah melampaui Bonnet dan berusaha keras untuk mencapai apa yang ia pahami sebagai kualitas magis dalam lukisan Walter Spies. Mimpi untuk melukis seperti Spies mungkin telah menjadi kekuatan pendorong untuk menyempurnakan dirinya di dunia yang ia kenal lebih baik daripada guru-guru asingnya: Tradisi Bali,” jelas McGowan.
Baca juga:
I Nyoman Ngendon, Perupa Pita Maha yang Terjun ke Medan Perang
Meski begitu, hubungan Ida Bagus Made “Poleng” dengan gurunya tidak selalu harmonis. Salah satu penyebabnya perbedaan pandangan mengenai kualitas lukisan. Suatu hari, ketika menghadiri pertemuan mingguan anggota Pita Maha, Gus Made membawa lukisan. Sudah menjadi kebiasaan Bonnet dan Spies mengevaluasi lukisan-lukisan yang dibawa perupa anggota Pita Maha, salah satunya lukisan karya Gus Made. Menurut Gus Made, penilaian Bonnet terkesan merendahkan karyanya. Tak terima, ia mengambil kembali lukisan tersebut dan menjualnya dengan harga tinggi. Setelah itu, ia mengundang Bonnet dan Spies untuk makan sate.
Aktivitas Pita Maha terhenti imbas pendudukan Jepang. Sebagian besar perupa termasuk Ida Bagus Made “Poleng” memilih berkarya secara individu. Setelah Indonesia merdeka, penyangga kesenian Bali berpindah tangan. Bukan lagi turis asing yang menjadi patron utama, melainkan presiden pertama Indonesia, Sukarno, seorang kolektor awal dan penting dari seni Indonesia.
Ketertarikan Sukarno pada lukisan-lukisan karya perupa Bali membuatnya berkenalan dengan Ida Bagus Made “Poleng”. Hubungan baik dengan Bung Karno membuat Gus Made kerap diundang ke Istana Tampaksiring. Biasanya staf presiden menggunakan truk tentara untuk mengangkut para pelukis Bali ke istana. Namun, pada suatu kesempatan, Gus Made menolak naik truk tentara dan bersikeras minta dijemput dengan mobil sedan. Presiden mengalah dan mengirimkan mobil untuk Gus Made.
Pernah juga pada suatu hari, ketika Ida Bagus Made “Poleng” mengunjungi Istana Tampaksiring, ia diberhentikan petugas keamanan di pintu gerbang karena mengira Gus Made adalah pengemis gila. Gus Made mengatakan kepada petugas keamanan untuk memberi tahu Presiden Sukarno bahwa ia datang untuk mengunjunginya. Setelah itu, ia berhasil masuk dan bertemu dengan Bung Karno.
Tak hanya menjalin persahabatan dengan para perupa Bali seperti Ida Bagus Made “Poleng”, Anak Agung Gede Sobrat, I Gusti Ketut Kobot, dan Ida Bagus Made Nadera, Bung Karno juga mengoleksi beberapa lukisan Bali dan mengadakan pameran lukisan-lukisan tersebut untuk para pejabat asing. Bahkan, begitu tertariknya Sukarno dengan lukisan karya Gus Made membuat sang proklamator meminta perupa itu membuatkan lukisan untuk PBB.
Baca juga:
“Suatu ketika, Sukarno meminta saya untuk membuatkan sebuah lukisan besar untuk PBB, jadi saya memberikannya. Tapi kemudian, Sukarno meminta untuk dibuatkan satu lukisan lagi, dan saya memenuhinya. Sukarno memberikan lukisan ini kepada PBB ketika Indonesia bergabung pada tahun 1961,” kata Gus Made sebagaimana dikutip oleh McGowan.
Selain lukisan karya Ida Bagus Made “Poleng”, Bung Karno juga menggemari lukisan yang dibuat oleh Ida Bagus Made Nadera, anggota Pita Maha lainnya. Budayawan Agus Dermawan T. menceritakan dalam Dari Lorong-lorong Istana Presiden, ketika sedang membuka kembali buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno dari Republik Indonesia (Jilid IV) yang disusun oleh Lee Man Fong, Nadera kesal karena buku yang terbit pada 1964 itu mencatat bahwa lukisan nomor 5, yang berjudul “Tarian Bali” adalah karya Ida Bagus Made tanpa menyebut kata Nadera.
Kekesalan itu cukup beralasan, sebab publik seringkali menganggap nama Ida Bagus Made identik dengan Ida Bagus Made “Poleng”. Oleh karena itu, bila lukisan “Tarian Bali” dalam buku yang disusun oleh Lee Man Fong hanya mencatat nama Ida Bagus Made, maka masyarakat bisa keliru mengira lukisan tersebut karya Ida Bagus Made “Poleng”.
Nadera pun melakukan protes. Pada 1990, di atas kanvas berukuran 140x180 sentimeter, ia membuat lukisan berjudul “Sunda Upasunda” –judul sebenarnya untuk lukisan “Tarian Bali” yang ada di dalam buku koleksi Sukarno. Di satu sisi lukisan yang menceritakan pertikaian dua raksasa kakak beradik itu, Nadera menulis “Koleksi Presiden Sukarno”.
“Ini protes gaya saya. Dan mungkin hanya saya yang memahami. Tapi tidak apa,” kata Nadera sebagaimana dikutip Agus Dermawan.
Baca juga:
Sebagai bagian dari kelompok seni Pita Maha, lukisan karya dua perupa Bali itu kini dapat disaksikan secara langsung dalam Pameran Repatriasi 2024 di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Lukisan berjudul “Women bathing in the river” karya Ida Bagus Made “Poleng” dan lukisan “A cockfight in a village” karya Ida Bagus Made Nadera, yang sebelumnya dipamerkan di Eropa pada 1948 hingga 1950-an dan berada di Belanda selama puluhan tahun, akhirnya kembali ke Indonesia bersama 131 karya seni anggota Pita Maha lainnya.
Pameran Repatriasi 2024 juga memamerkan benda-benda cagar budaya lain hasil repatrasi dari masa awal kemerdekaan hingga kini, di antaranya koleksi Pangeran Diponegoro, Koleksi eks-Museum Nusantara Delft, Koleksi Ekspedisi Lombok, dan Koleksi Arca Singhasari. Pameran repatriasi berlangsung sejak 15 Oktober hingga 30 Desember 2024.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar