Riwayat Tempat Penitipan Anak
Pertumbuhan kelas pekerja di kota menjadi muasal kehadiran tempat penitipan anak. Di Indonesia sempat kurang laku.
DAYCARE atau Tempat Penitipan Anak (TPA) ramai tumbuh di antero kota-kota besar Indonesia belakangan ini. Para orangtua menitipkan anak balita mereka di TPA sejak pagi hingga jelang sore pada hari-hari tertentu. Mereka ambil keputusan ini lantaran rutinitas kerja dan tak ada sanak keluarga di sekitar rumah. Mereka sudi membayar sekian rupiah supaya bisa memperoleh layanan terbaik dari TPA untuk anak-anak mereka.
Sejarah TPA berakar di Prancis pada 1840-an. “Berkelindan dengan peningkatan jumlah perempuan pekerja pabrik pada pertengahan abad ke-19,” tulis Dorena Caroli dalam Day Nurseries & Childcare in Europe 1800-1930. Orang Prancis menyebut TPA sebagai crèches.
Banyak anak balita mati terlalu dini dan tumbuh telantar lantaran kurang perawatan dari orangtua. Sekelompok perempuan perawat di Prancis berupaya mengubah keadaan tersebut.
Baca juga: Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman
Para orangtua bukan tak ingin merawat dan membesarkan anak balita mereka. Mereka tergencet kemiskinan akut di kota.
Upah bekerja seorang ayah tak cukup untuk menyambung hidup satu keluarga. Butuh ibu yang juga turut bekerja untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga. Tapi cara ini menghapus waktu luang mereka untuk anak-anaknya. Lalu bagaimana cara meninggalkan anak balita di rumah tanpa perlu membuat mereka telantar dan mati terkapar?
Maka bertemulah prakarsa para perawat dengan kebutuhan orangtua terhadap keberlangsungan tumbuh-kembang anak balita mereka pada sebuah tempat bernama crèches.
Kemudian konsep crèches berkembang ke kota-kota industri lain di Eropa. Di mana kelas pekerja berpijak, di situlah pula lahan tumbuh crèches. Gejala serupa juga hampir tampak di Indonesia.
Baca juga: Mengirim Bayi dan Anak-anak Lewat Paket Pos
Kemerdekaan Indonesia mengubah peran perempuan. Urusan mereka tak lagi seukuran dapur dan senyaman kasur. Mereka turut giat dalam menggerakkan ekonomi negeri. Lowongan-lowongan kerja untuk beragam posisi tersedia bagi mereka. Satu dekade setelah kemerdekaan, perempuan Indonesia menyemarakkan pabrik-pabrik dan kantor dagang atau pemerintahan di kota-kota besar.
“Di mana kita lihat berduyun-duyun wanita-wanita yang bekerja di waktu pagi berangkat ke kantor dan di waktu siang jam dua pulang ke rumah masing-masing,” tulis SK Trimurti dalam “Wanita dan Masalah Kerdja” termuat di Wanita, 10 Agustus 1957.
Ketika perempuan pekerja mempunyai anak, tanggung jawab mereka bertambah. Mereka berkewajiban merawat dan membesarkan anak-anak. Tapi seringkali tanggung jawab ini berbenturan dengan tanggung jawab pada pekerjaan.
Baca juga: Lima Dekade Lagu Anak-anak Indonesia
Para pekerja perempuan yang mempunyai anak balita berhak memperoleh cuti selama tiga bulan. Hanya selama inilah waktu mereka untuk kasih perhatian penuh ke anak balita. Selepas tiga bulan, para ibu pekerja harus masuk kantor atau pabrik lagi. Dan anak balita tak mungkin ikut ke tempat kerja mereka. Maka menguarlah pikiran tempat penitipan anak balita selaik di negeri Barat.
“Dalam keadaan demikian ternyatalah bahwa sebetulnya untuk anak-anak yang ditinggalkan harus disediakan suatu tempat penitipan di mana mereka dapat dijaga, soal makanan dan kesehatannya, dan untuk ibunya merupakan suatu keringanan sehingga dia dapat bekerja dengan tenang dan sempurna,” tulis Sunday Courier, No 5, Januari 1955.
Gagasan tempat penitipan anak maujud di kota-kota besar. “Di sana-sini terutama di kota-kota besar mulai didirikan tempat penitipan kanak-kanak, baik yang diselenggarakan oleh majikan partikelir atau pemerintah,” tulis Wanita, 20 Oktober 1955.
Baca juga: Pulau untuk Anak Terlantar
Tapi kebanyakan tempat penitipan anak tak bertahan lama. Ada beda kondisi kultural dan sosial antara Indonesia dan negeri Barat. Meski Indonesia punya banyak perempuan pekerja, kebanyakan orangtua masih lebih percaya menitipkan anaknya pada lingkungan sekitar. Entah tetangga atau keluarga.
“Di negeri kita belum laku, sebab di rumah masih ada saudara atau pembantu yang momong anak,” tulis Wanita. “Untuk memperkenalkan tempat ini dibutuhkan waktu yang agak lama sebelum masyarakat terutama wanitanya membutuhkan dan mempergunakan tempat semacam tersebut,” lanjut Wanita.
Enam puluh tahun kemudian, perkiraan tersebut menjelma kenyataan.
Warga kota kian hari, kian sibuk. Ayah dan ibu bekerja sepanjang hari. Sanak keluarga dan tetangga juga padat kegiatan. Waktu senggang menjadi barang langka. Maka Tempat Penitipan Anak menjadi kebutuhan tak terelakkan bagi keluarga muda pekerja di kota-kota besar Indonesia. Bisnis Tempat Penitipan Anak pun mulai jadi lahan subur tumbuh-kembangnya uang bagi usahawan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar