Duka Kemal Idris "Dibuang" ke Yugoslavia
Tak terima dijadikan duta besar, Kemal Idris ditunjuk Soeharto menjadi duta besar di Yugoslavia. Tak dianggap.
Beograd, Yugoslavia, suatu hari di tahun 1974. Duta Besar Kemal Idris terlibat perdebatan sengit dengan Menlu Yugoslavia Melos Minie. Perdebatan mereka berkisar tentang re-schedule utang Indonesia pada Yugoslavia. Kemal bersikeras agar Menlu Yugoslavia meneruskan ke pimpinannya agar mau me-reschedule utang Indonesia.
“Pemerintah Indonesia akan membayar hutang itu semampu Indonesia mengembalikan tanpa ada pembatasan jumlah dan waktunya karena terikat dengan aturan IGGI,” kata Kemal sambil menggebrak meja, dikutip Rosihan Anwar, Ramadhan KH, dan lain-lain dalam biografi berjudul Kemal Idris Bertarung dalam Revolusi.
Kemal menyadari sikap emosionalnya itu salah. Oleh karenanya dia langsung meminta maaf kepada menlu dan pejabat lain yang hadir dan mendapatkannya. Namun di luar dugaannya, upayanya tersebut membuahkan hasil. Pemerintah Yugoslavia bersedia mengadakan pembicaraan tentang reschedule utang Indonesia.
Baca juga: Nasihat Istri untuk Soeharto dan Kemal Idris
Kendati membicarakan utang bukan bagian dari tugasnya sebagai duta besar, Kemal melakukan itu sebagai pembuka pencairan hubungan Indonesia dengan Yugoslavia. Hubungan kedua negara terjalin baik sejak 1950-an, namun berubah ketika Indonesia berada di bawah Orde Baru.
“Setelah peristiwa tahun 1965, G-30-S/PKI, Indonesia sangat anti komunis. Indonesia kurang simpati terhadap Yugoslavia yang berideologi komunis, bahkan menyamakan kedudukannya dengan negara komunis lainnya. Dalam kenyataan penerapan ideologi komunis di Yugoslavia berbeda dengan yang ada di negara lain. Tetapi hubungan menjadi renggang akibat pandangan Indonesia yang berbeda dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat Yugo. Karena itu Yugoslavia tidak setuju kalau diperlakukan seperti negara komunis lainnya,” kata Kemal.
Oleh karena itu, salah satu tugas yang dipesankan kepada Kemal oleh Presiden Soeharto adalah memperbaiki hubungan yang rusak itu. Dan untuk hal ini, Kemal berupaya sekuat tenaga. Selain membicarakan re-schedule utang Indonesia, Kemal juga menjalin hubungan baik dengan para pejabat tuan rumah.
Baca juga: Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF
Namun, pemerintah Indonesia tidak menghargai jerih payah Kemal. Dalam kelanjutan pembicaraan reschedule utang Indonesia itu, Kemal dilarang pemerintah Indonesia mengantar delegasi Yugoslavia melakukan kunjungan balasan ke Jakarta kendati dia yang dipercaya pemerintah Yugoslaia mengatur semuanya. Kemal bahkan juga diminta mengantar. Alasan pelarangan adalah, Kemal belum lama pulang ke Indonesia.
“Kalau saya tidak diperbolehkan pulang, katakan saja terus terang. Tidak usah mencari dalih yang bukan-bukan. Toh jabatan duta besar bukan kehendak saya. Kalau kalian tidak senang kepada saya, tarik saya kembali. Besok saya akan kembali,” kata Kemal berang menanggapi alasan Deplu.
Kekesalan Kemal bukan terjadi kali itu saja. Kekecewaan dan kekesalannya juga terjadi ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Yugoslavia pada tahun yang sama.
“Selasa, 1 Juli. Pukul 12.30 waktu setempat, Presiden Soeharto dan rombongan tiba di Brioni, Yugoslavia. Terletak di tepi Laut Adriatik, Brioni adalah sebuah pulau tempat peristirahatan Presiden Josef Broz Tito. Di dermaga Brioni Presiden dan Ibu Soeharto disambut oleh Presiden dan Nyonya Tito, Perdana Menteri Bijedic serta pejabat-pejabat tinggi. Di Yugoslavia, Indonesia berhasil memperoleh dukungan Presiden Tito untuk pembangunan beberapa proyek,” tulis buku berjudul Jejak Langkah Pak Harto: 27 Maret 1973-23 Maret 1978.
Sebagai duta besar, Kemal tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan presiden selama di sana. Salah satu akibatnya, sampai ada kejadian memalukan yang dilakukan delegasi Indonesia.
“Saya merasa kecewa karena Sekretaris Militer Pak Harto yang ketika itu dijabat oleh Tjokropranolo bersikap lebih tahu tentang Yugo daripada saya. Semua acara ia atur tanpa saya bantu mengantarkannya ke beberapa kantor pemerintah Yugo yang terkait. Salah satu acara yang sangat memalukan ialah pada saat Pak Harto melakukan inspeksi barisan kehormatan Yugo, Pak Harto tidak memberikan penghormatan pada pasukan panji-panji, sedangkan Presiden Tito terhenti sejenak,” kata Kemal.
Ketika kunjungan presiden hampir selesai dan biasanya presiden beramah-tamah dengan warga negara Indonesia setempat, perlakuan terhadap Kemal tetap sama.
“Pada waktu itu Pak Harto tidak memanggil saya, apalagi menanyakan situasi politik di Yugo. Karena beliau tidak memerlukan informasi, maka saya pun tidak hadir ke tempat peristirahatan beliau,” kata Kemal.
Ketika akhirnya Kemal dengan berat hati mengunjungi tempat peristirahatan presiden, itu terjadi karena dia dinasehati Menlu Adam Malik. Tapi lagi-lagi Kemal dibuat kecewa.
Baca juga: Peran Adam Malik di PBB
“Dalam kenyataannya sambutan dingin yang saya terima. Saya datang seperti orang yang tak berharga di matanya,” sambung Kemal yang sejak awal tak pernah rela menerima penunjukan sebagai duta besar.
Sejak pertamakali mendengar wacana dirinya akan dijadikan duta besar, Kemal selalu menyatakan ketidaksetujuannya.
“Tidak sedikit pun ada terlintas pikiran saya akan menjadi duta besar. Saya tidak dididik untuk menjadi duta besar dan belum tentu saya mampu memikul jabatan tersebut. Tempat saya bukan di luar negeri, karena saya masih dapat berbuat banyak di dalam negeri,” kata Kemal, dikutip Rosihan Anwar dkk.
Maka ketika akhirnya Kemal tetap dijadikan duta besar dengan alasan resmi adanya peremajaan di pimpinan ABRI, dia mengeluarkan unek-uneknya kepada Presiden Soeharto ketika berpamitan. Penjelasan panjang-lebar Kemal toh tak menggoyahkan Soeharto dari pendiriannya. Kemal tetap duta besar untuk Yugoslavia (1972-1976).
Perlakuan buruk yang diterima Kemal selama menjadi dubes belakangan baru diketahui Kemal alasannya. Penunjukannya sebagai duta besar merupakan pembuangan. Tabir pembuangannya itu mulai terbuka ketika kemal menghadap Pangab Jenderal Maraden Panggabean untuk berpamitan.
Baca juga: Perintah Receh Jenderal Panggabean
“(Alasan, red.) Peremajaan pimpinan di Angkatan Bersenjata itu tidak benar, tapi sebenarnya karena ada yang melapor tentang kamu,” kata Panggabean pada Kemal, dikutip Rosihan dkk.
Presiden Soeharto memang kerap menunjuk seseorang menjadi duta besar untuk “dijinakkan”.
“Para jenderal yang tidak bisa dimanfaatkannya, atau dipandang berpotensi membahayakan kekuasaannya, dengan mudah dialihtugaskan menjadi duta besar (dubes) dan diparkir di luar negeri. ‘Didubeskan’, menurut istilah populernya waktu itu,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi.
Kemal bukan satu-satunya jenderal yang “didubeskan”. Dari kalangan pendukung Soeharto ketika mendongkel Sukarno, ada HR. Dharsono dan Sarwo Edhie.
Baca juga: Sarwo Edhie Wibowo Kecewa Kepada Soeharto
“Mereka satu demi satu dibuang. Sementara Sarwo dibuang pada 1967, Kemal dan Dharsono disingkirkan belakangan. Dipindahkan ke Makassar sebagai Panglima Komando AntarDaerah Wilayah Indonesia Timur pada Januari 1969, Kemal kemudian dilantik sebagai Duta Besar RI untuk Yugoslavia pada September 1972,” tulis tim Majalah Tempo dalam Sarwo Edhie dan Misteri 1965.
Belakangan, ketika pulang ke Indonesia pada 1974, Kemal mendengar dari Pangkopkamtib Laksamana Sudomo bahwa penunjukannya sebagai duta besar merupakan pembuangan.
“Menurut mantan Pangkowilhan itu (Kemal, red.) adalah Sudomo yang kemudian memberi tahu Jenderal Kemal Idris bahwa dia terlempar menjadi Duta Besar di Yugoslavia karena Ali Murtopo meyakinkan Soeharto mengenai apa yang disebutnya sebagai bahaya yang mengancam sang Presiden dari Kemal,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Baca juga: Muslihat Opsus di Papua
Dalam penuturan Sudomo yang didengar Kemal, Ali Murtopo menyatakan ancaman yang mungkin ditimbulkan Kemal pada Soeharto terkait kepopuleran Kemal di Indonesia Timur kala Kemal menjabat sebagai panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) Indonesia Bagian Timur.
“Kemal berhasil membawa rakyat dalam pembangunan. Mereka antusias. Mereka tidak menghalangi pembangunan. Kemal berhasil menenangkan kaum muda di Indonesia Bagian Timur. Dia terlalu populer di sana. Popularitas itu diperlukannya untuk memperoleh jabatan tertinggi. Dulu dia berani melawan Bung Karno yang sedang berada di puncak kejayaannya. Tentu dia akan berani pula melawan Soeharto,” kata Sudomo mengisahkan laporan Ali Murtopo, dikutip Rosihan Anwar dkk.
Karena pembuangan itulah apa yang diterima Kemal tidak menyenangkan bahkan sejak awal ketika baru akan berangkat ke Yugoslavia. Paspor Kemal dipersulit oleh Deplu karena pengajuannya mesti menyertakan surat keterangan tidak terlibat G30S/PKI. Hal itu membuatnya marah.
"Saya kira perjuangan saya telah cukup menjadi bukti saya tidak harus diminta surat keterangan tidak terlibat PKI. Bahkan sekiranya Bapak Presiden merasa ragu terhadap sikap dan pendirian saya, tentu beliau tidak menunjuk saya menjadi kepala perwakilan negara RI di Yugoslavia. Karena itu lebih baik saya dan keluarga tidak usah berangkat jika harus melengkapi surat keterangan itu," kata Kemal.
"
Tambahkan komentar
Belum ada komentar