Kekecewaan Sutradara Film Pengkhianatan G30S/PKI
Kecewa dengan film Pengkhianatan G30S/PKI, sutradaranya Arifin C. Noer ingin berhenti membuat film.
PANGLIMA TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan kepada jajaran TNI AD untuk nonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI. Film ini sebenarnya telah dihentikan penayangannya sejak 30 September 1998 atas permintaan masyarakat dan keluarga besar TNI AU.
Baca juga: Orang-orang di balik penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI
Film Pemberontakan G30S/PKI diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Presiden Soeharto. Tokoh penting di balik film ini adalah sejarawan Nugroho Notosusanto. Dwipayana memilih Arifin C. Noer sebagai sutradara film yang awalnya berjudul Sejarah Orde Baru.
“Pak Dipo (panggilan Dwipayana) memilih Arifin karena Arifin ini dipandang sebagai orang yang independen. Dia tidak memiliki afiliasi dengan organisasi mahasiswa manapun atau organisasi masyarakat apapun,” ujar Jajang C. Noer, istri mendiang Arifin C. Noer, kepada Historia beberapa waktu lalu.
Arifin lahir pada 10 Maret 1941 di Cirebon. Dia menulis drama dan puisi sejak di Sekolah Lanjutan Pertama. Dia melanjutkan sekolah ke Solo dan bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Pada 1960, dia pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan Lingkaran Drama Yogya, kemudian masuk Teater Muslim. Setelah pindah ke Jakarta, dia mendirikan Teater Kecil. Pada 1972, naskah dramanya, Kapai Kapai memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta.
Arifin mulai terjun ke dunia film sebagai penulis skenario Pemberang pada 1971. Dia kemudian menulis skenario film Melawan Badai, Rio Anakku, Sanrego, Senyum di Pagi Bulan Desember, Kenangan Desember, dan Kugapai Cintamu.
Arifin menyutradarai film pertamanya, Suci Sang Primadona (1978) yang memberi Piala Citra untuk Joice Erna. Namanya melambung setelah menyutradarai film Serangan Fajar yang meraih penghargaan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1982 dengan menyabet lima Piala Citra.
“Arifin kembali meraih gelar penulis skenario terbaik melalui film Pengkhianatan G30S/PKI,” tulis Suara Karya, minggu ketiga Agustus 1992.
Baca juga: Inilah tujuh pemeran film Pengkhianatan G30S/PKI
Film Pengkhianatan G30S/PKI dikerjakan selama dua tahun dengan biaya terbesar saat itu, yaitu Rp800 juta. Setelah selesai, film ini ditayangkan dalam sidang kabinet dan semuanya setuju. Film berdurasi lebih dari tiga jam ini ditayangkan di bioskop dan TVRI sebagai tontonan wajib anak-anak sekolah dan pegawai pemerintah.
Ternyata, Arifin kecewa setelah melihat hasilnya. Dia mengungkapkan kekecewaannya kepada Eros Djarot, sutradara, penulis lagu, dan politisi. “Hingga menjelang turunnya Soeharto hanya ada satu versi untuk melihat peristiwa G30S, yakni versi film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer, sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut,” tulis Eros Djarot, dkk., dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI.
“Berbicara soal film yang sangat ‘luar biasa’ mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini, saya jadi ingat Mas Arifin C. Noer. Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya,” kata Eros Djarot, sutradara film fenomenal Tjoet Nja’ Dhien (1988).
Baca juga: Benarkah Tjoet Nyak Dhien berhijab?
Setelah membuat film Pengkhianatan G30S/PKI, Arifin ingin berhenti membuat film. Mungkinkah karena kekecewaan terhadap film itu? Dia menyampaikan keinginannya itu dalam surat tanggal 10 Februari 1984 kepada Ajip Rosidi, sastrawan yang berdiam di Jepang pada 1980-2002. Ajip membalas surat itu pada 17 Februari 1984.
“Keputusan untuk tidak membuat film lagi tentu keputusan yang penting. Buat saya, juga mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberi alasan yang lebih terperinci. Kau mengatakan bahwa selama 5 tahun membuat film merupakan tahun-tahun yang percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” tulis Ajip dalam buku kumpulan surat-suratnya, Yang Datang Telanjang.
Ajip memberikan penilaian terhadap film-film karya Arifin dan memintanya agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk berhenti membuat film. Ajip menyebut bahwa Arifin sepertinya punya masalah dengan PFN (Produksi Film Negara).
“Baik sekali kau mempertimbangkan hubunganmu dengan PFN. Tetapi jangan hendaknya karena itu kau lantas memutuskan mau berhenti membuat film. Sebab, kalau begitu, maka dunia perfilman Indonesia akan terus hanyut dalam selera Indo –atau Cina,” kata Ajip yang berharap “filmmu akan membuat tradisi, atau baik disebutkan: melanjutkan tradisi film pribumi seperti yang dibuat oleh Usmar Ismail.”
Baca juga: Kisah tragis akhir hidup Usmar Ismail Bapak Film Nasional
Akhirnya, Arifin pun urung berhenti bikin film. Setelah Pemberontakan G30S/PKI, dia membuat film Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), dan terakhir, Bibir Mer (1991). Film Taksi yang dibintangi Meriam Bellina dan Rano Karno terpilih menjadi film terbaik FFI 1990 dan menyabet enam Piala Citra.
Arifin C. Noer meninggal dunia pada 28 Mei 1995.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar