Mencukupi Nutrisi Bukan Hanya Makan Nasi
Ketergantungan pada beras bahkan sudah mendarah daging jauh sebelum zaman kuda gigit besi. Diversifikasi pangan dari masa ke masa ibarat setengah hati.
MASYARAKAT boleh saja mengatakan selalu ada yang kurang jika makan tanpa sambal, tanpa garam, atau tanpa kerupuk. Namun yang benar-benar tak bisa terpisahkan dari selera orang Indonesia adalah nasi putih. Sampai ada istilah “Belum makan kalau belum makan nasi."
Kenyang menjadi standar orang Indonesia dalam makan, tak peduli ada-tidaknya gizi dari yang mereka makan. Maka jamak ditemukan orang makan double karbohidrat dengan menyantap mie instan pakai nasi. Di media sosial bahkan muncul beberapa tren makan pizza dengan nasi.
Nasi yang berasal dari beras memang kandungan utamanya karbohidrat. Tetapi di dalamnya juga terkandung kalori, protein, lemak, serat, vitamin, dan mineral meski tak sebanyak lauk-pauk dan sayuran serta buah-buahan.
“Dilihat dari rasanya, palatabilitasnya, harus kita akui beras (nasi) itu lebih enak dibandingkan kalau dengan umbi-umbian lain. Yang setara (nilai gizi) dengan beras itu hanya jagung dan terigu. Tetapi kalau bicara umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, dan lain-lain, proteinnya rendah sekali,” tutur guru besar bidang gizi masyarakat dan sumber daya keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ali Khomsan kepada Historia.ID.
Baca juga: Nasi Sejak Dulu Kala
Pendapat senada juga diungkapkan pakar gizi Prof. Dr. Soekirman. Menurut kepala Bidang Kesehatan dan Gizi Bappenas periode 1983-1988 dan deputi menteri Bidang Sosial Budaya (1988-1993) itu, nutrisi beras adalah yang paling unggul.
“Beras itu selain mengandung karbohidrat juga mengandung sedikit protein. Jagung juga mengandung karbohidrat dan ada proteinnya walau kalah dengan beras. Sagu itu kosong, isinya cuman karbohidrat. Umbi-umbian juga karbohidrat saja. Makanan pokok dilihat gradasinya dari selain karbohidrat dia mengandung apa. Kalau mengandung selain karbohidrat, itulah yang terbaik dan beras yang terbaik,” ujarnya dalam program “Dialog Sejarah: Program Perbaikan Gizi dan 1001 Masalahnya” di akun Youtube Historia.ID, 30 September 2024.
Beras sebagai bahan makanan pokok sudah mendarah daging bagi orang Indonesia. Masyarakat di Jawa setidaknya sudah membudidayakan padi sejak era Mataram Kuno (723-1016 Masehi). Di dalam Kakawin Ramayana (sekitar 820-832 Saka/870 Masehi), Prasasti Taji (823 Saka)/901 Masehi, Prasasti Pangumulan (824 Saka/902 Masehi), Prasasti Rukam (829 Saka/907 Masehi), dan Prasasti Sangguran (850 Saka/928 Masehi) serta beberapa penggambaran di relief kaki Candi Borobudur (sekitar 800 Masehi), bahkan telah digambarkan mengenai sajian nasi sebagai pelengkap makanan lain.
“Beras menjadi sumber ekonomi pertanian berdasarkan Prasasti Kamalagi atau Kuburan Candi (743 Saka/831 Masehi). Prasasti Watukura I (824 Saka/903) Masehi) juga menyebutkan adanya lahan sawah, kebun, ladang yang menjadi sima (tanah kena pajak, red.). Dengan adanya keterangan yang memberikan gambaran bahwa kebun juga dikenai pajak maka dapat diartikan kebun telah memiliki ekonomi yang cukup tinggi,” ungkap arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar Jawa di Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi.
Ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara, beras sudah jadi komoditas yang diperdagangkan ke berbagai pulau di luar Jawa. Menurut sejarawan Fadly Rahman dalam program “Dialog Sejarah Keberagaman Pangan di Nusantara: Menggali Akar Silam Citarasa Indonesia” di Youtube Historia.ID, 26 Maret 2021, para kolonialis Kongsi Dagang Hindia Timur VOC turut berkontribusi menyebarkan “hegemoni” beras ke berbagai wilayah di Nusantara hingga menggeser sagu, ubi rambat, dan talas yang merupakan bahan makanan pokok lokal masyarakat setempat, utamanya di daerah Timur seperti Maluku.
“Lalu (di era kolonial) dari mulai kebijakan-kebijakan Preanger Stelsel, Cultuur Stelsel, sampai kebijakan ekonomi agraria tahun 1870, menunjukkan diversifikasi pangan kita yang melimpah itu terpinggirkan,” ujar Fadly.
Diversifikasi Setengah Hati?
Kendati program Padi Sentra dan Program Komando Operasi Gerakan Makmur digalakkan di luar Pulau Jawa pada 1950-an dan 1960-an demi memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Sukarno berupaya mengurangi ketergantungan pada beras dengan mengupayakan diversifikasi. Dalam pelaksanaannya, Menteri Kesehatan dr. Satrio dan Kepala Lembaga Makanan Rakjat dr. Dradjat D. Prawiranegara menjabarkannya dengan mengedepankan keanekaragaman menu seiring Operasi Pemberantasan Buta Gizi.
“Kegotongroyongan diterapkan untuk menanam jagung di mana-mana dan mempromosikan cara menggunakan makanan non beras dengan mengadakan demonstrasi makanan jagung di Istana Negara. Suatu gerakan menanam jagung juga dilakukan di tanah sekitar rumah sakit Fatmawati yang masih kosong. Pertanian sukarelawan dan sukarelawati dari lingkungan Departemen Kesehatan dimobilisasi serentak dan mendapat perhatian dari Presiden Sukarno yang setiap minggu naik helikopter ke Bogor melintas di atas rumah sakit itu,” ungkap dr. Satrio dalam otobiografi yang dituliskannya bersama Dien Majid dan Mona Lohanda, Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio, 1916-1986.
Akan tetapi, program-program itu tak berjalan maksimal. Kekurangan pangan hingga masalah gizi tetap jadi pekerjaan rumah (PR) yang “diwariskan” ketika penguasa berganti ke Orde Baru.
“Sejak zaman Belanda kita memang ditinggali kemiskinan, banyak anak kurang gizi. Itu juga diwariskan kepada zaman Bung Karno. Di sana produksi makanan masih kurang untuk penduduk sehingga masalah kelaparan saban tahun terjadi dan itulah yang juga diterima Orde Baru untuk kemudian memperbaiki semua itu,” sambung Prof. Soekirman.
Baca juga: Mengapa Indonesia Tergantung pada Beras?
Namun diversifikasi pangan belum menjadi perhatian di masa-masa awal pemerintahan Presiden Soeharto. Swasembada beras justru jadi yang utama dalam beberapa agenda rencana pembangunan lima tahun (repelita), salah satunya Revolusi Hijau.
“(Revolusi Hijau) berpengaruh besar, ditandai dengan produksi beras naik dan kita bisa mencukupi kebutuhan beras yang bahkan bisa ekspor waktu itu. Walaupun kemudian kesukesan peningkatan produksi (beras) itu tidak memecahkan masalah gizi. Ya orang cukup kalori dari makanan pokok (beras) tapi kekurangan vitamin, protein, jadi masalah gizi tidak terpecahkan,” tambahnya.
Baru pada 1970-an keseriuasan diversifikasi pangan ditangani dengan keluarnya dua beleid soal penganekaragaman kebutuhan pangan. Pertama, Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR) dengan mengajukan telur, kacang-kacangan, dan jagung sebagai promosi diversifikasinya di kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Tengah. Kedua, Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1979 terkait diversifikasi pangan berupa pemberdayaan sagu untuk kawasan Indonesia Timur. Namun rencana ini bak setengah hati dijalankan, sebab intensifikasi produksi beras terus digenjot demi komoditas ekspor.
“Kita melihat komposisi makanan zaman Orde Lama kontribusi beras itu hanya 55 persen dalam proses kecukupan kalori yang bersumber karbohidrat, tapi di zaman Orde Baru sudah mencapai 80 persen. Terus bertambah hingga kontribusi (diversifikasi) umbi-umbian dan jagung semakin tertekan. Lagipula masyarakat juga menganggap jagung dan umbi-umbian itu inferior, makanannya orang miskin,” timpal Prof. Ali.
Puncak kesuksesan Revolusi Hijau, menurut Prof. Budi Winarno dalam Kebijakan Publik Era Globalisasi, terjadi pada 1984. Pemerintah sampai mendapat menghargaan dari badan pangan dan pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO.
Diversifikasi pangan non-beras makin termarjinalkan di masa transisi Orde Baru ke Reformasi. Medio 1998, Badan Urusan Logistik (BULOG) memperkenalkan program subsidi beras, Operasi Pasar Khusus (OPK) yang pada 2002 berubah menjadi Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin).
Menurut Khudori dalam BULOG dan Politik Perberasan, OPK beras bermula dari sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan pada 25 Mei 1998. Saat itu Presiden BJ Habibie menggariskan tiga kebijakan pokok, salah satunya ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok demi berputarnya kembali roda perekonomian nasional.
Baca juga: Dari Swasembada Beras ke Swasembada Pangan
Di sisi lain, pemerintah melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Ketahanan Pangan, masih berusaha mengikutsertakan program diversifikasi makanan pokok melalui program-program riset Badan Ketahanan Pangan dan Industrialisasi Diversifikasi serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Namun ketergantungan beras sudah terlalu mengakar. Pun Bulog dalam OPK-nya menjual beras subsidinya di bawah harga pasar hingga masyarakat masih cenderung memilih beras ketimbang jagung atau bahan makanan pokok lain.
“Makanya sampai sekarang kita sulit mengerem konsumsi beras yang sudah terlanjur tinggi dan masyarakatnya getol makan beras. Padahal mereka sudah mau berdiversifikasi. Tapi baru mau beli jagung, turunlah raskin. Kalau raskin kan murah sekali. Satu kilo hanya Rp3 ribu. Jadi orang merasa berat (berdiversifikasi), ‘ngapain saya makan jagung kalau ternyata pemerintah membantu saya dengan beras’,” lanjut Prof. Ali.
Selebihnya, program diversifikasi cenderung spontan belaka lewat beberapa pilot project. Salah satunya program One Day No Rice (ODNR) yang dijajal Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail lewat Surat Keputusan Walikota Depok No. 010/27 tanggal 10 Februari 2012. Program yang meniru Korea Selatan dalam menggalakkan diversifikasi ini dimulai dari kantin-kantin di Balai Kota Depok berupa penyediaan pengganti nasi seperti kentang, singkong, dan lain-lain setiap hari Selasa.
Program Pemerintah Kota (Pemkot) Depok yang diapresiasi banyak pihak, termasuk Museum Rekor Indonesia (MURI), itu sempat coba diikuti pemerintah daerah lain, di antaranya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, Pemprov Sulawesi Selatan, Pemprov Sumatera Utara, Pemkot Bandung, dan Pemkot Kolaka Utara. Namun keinginan agar program itu berkelanjutan justru kandas karena DPRD Kota Depok menolak menjadikan Program ODNR menjadi peraturan daerah (perda) sehingga hanya eksis selama Nur Mahmudi menjabat hingga 2016.
Baca juga: Cerita Impor Beras Indonesia
Presiden Joko Widodo dalam dua periode masa pemerintahannya (2014-2024) bukan tanpa wacana untuk berdiversifikasi. Salah satunya lewat Proyek Strategis Nasional (PSN) Pengembangan Food Estate yang diampu Prabowo. Rencananya, pembangunan lumbung pangan ini menyasar lahan-lahan di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan, hingga Papua.
“Konsep pengembangan food estate terdiri dari diversifikasi pangan sehingga diharapkan membantu provinsi sekitarnya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. Catatan pemerintah, Kalimantan Tengah merupakan wilayah subur yang berhasil untuk mengembangkan Padi Inbrida Varietas Unggul Baru INPARI-42 dan Padi Hibrida SUPADI. Selain padi, provinsi ini juga berhasil dalam memproduksi jagung untuk kebutuhan nasional,” tulis Irjen Pol Dedi Prasetyo dalam Food Estate: Mewujudkan Ketahanan Pangan Era Pandemi.
Namun, lagi-lagi upaya diversifikasi kembali dihadapkan pada “lawan tanding” yang tak seimbang: impor beras. Impor beras di masa pemerintahan Jokowi lebih sering meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2018 impornya mencapai 2,25 juta ton. Pada 2019-2022 memang mengalami penurunan, tapi pada 2023 menanjak lagi hingga 3,01 juta ton. Impor tertinggi terjadi pada 2024, sebesar 4,52 juta ton.
Sementara, di masa awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kementerian Pertanian untuk tidak lagi impor beras beserta jagung, gula, dan garam.
“Enforcement dari pemerintah itu penting dan (diversifikasi) ini jadi PR dan kita berharap Prabowo dan jajarannya yang sudah mengatakan stop impor beras harus disertai pembangunan pertanian yang baik. Kita juga masih meraba-raba apakah (kelanjutan) food estate benar-benar berhasil atau masih dalam tahap perkembangan. Kita buktikan beberapa tahun lagi,” tandas Prof. Ali.
Baca juga: Dulu Rice Estate Kini Food Estate
Tambahkan komentar
Belum ada komentar