Buruh Sritex dari Timor Leste
Awalnya dijanjikan kerja di Batam dengan gaji besar, para pemuda Timor Leste ternyata dikirim ke Jawa. Mereka berkerja dengan gaji rendah di pabrik-pabrik milik pengusaha yang dekat dengan Presiden Soeharto.
PERUSAHAAN tekstil Sritex (PT Sri Rejeki Isman Tbk.) dan tiga anak perusahaannya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024. Sekitar 50.000 buruh terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan empat menteri untuk menyelamatkan buruh Sritex.
Sritex didirikan oleh Loo Kie Hian atau H.M. Lukminto yang berawal dari UD Sri Redjeki, kios di pasar Klewer yang berdagang tekstil sejak tahun 1966. Pada 1980, UD Sri Redjeki berubah menjadi PT Sritex yang berkantor pusat di Sukoharjo, Jawa Tengah. Pabrik pertama Sritex diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Maret 1992.
Sritex berkembang pesat hingga menjadi pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara. Kesuksesan ini tak lepas dari dukungan penguasa Orde Baru. Pemegang sahamnya adalah Menteri Penerangan Harmoko, teman kecil Lukminto, dan keluarga Cendana, yaitu Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut, putri Presiden Soeharto, serta Angkatan Darat. Oleh karena itu, Sritex dengan mudah mendapatkan pesanan dari pemerintah. Pabrik garmen ini memproduksi baju militer, kepolisian, Korpri, dan atribut Partai Golkar yang ketuanya Harmoko.
Sritex memiliki ribuan buruh di antaranya anak-anak muda yang didatangkan pemerintah dari Timor Leste.
Helene van Klinken menulis dalam Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam, krisis dalam pendidikan –yang mengutamakan indoktrinasi ideologi pro-integrasi pada pelajar– dan pengangguran membakar kekecewaan di kalangan orang muda dan mengancam keberhasilan proyek integrasi Orde Baru di Timor Timur. Para pejabat menawarkan program pelatihan dan pengalaman kerja di Indonesia untuk orang muda berusia antara 15 dan 25 tahun.
Baca juga:
Tutut Soeharto mengumumkan program ini pada waktu berkunjung ke Timor Timur pada Desember 1990. Program ini dibiayai Yayasan Tiara Indonesia yang didirikan Tutut Soeharto, sementara pelaksanaannya dijalankan oleh Departemen Tenaga Kerja. Program ini menjanjikan pelatihan keterampilan dan pekerjaan dengan gaji tinggi di industri elektronik di Batam.
“Gaji berkisar antara Rp250.000 sampai dengan Rp300.000 per bulan, dengan insentif tambahan berupa pengiriman ke berbagai fasilitas pelatihan di Jawa sebelum dikirim ke Batam,” tulis George Junus Aditjondro dalam Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau.
Kaum muda Timor Leste menanggapi dengan semangat tawaran program ini. Rincian program dipasang di papan-papan pengumuman dan informasi diberikan di radio dan pertemuan-pertemuan umum; para pemuda juga direkrut dari rumah ke rumah.
Program ini diluncurkan dengan upacara meriah pada 27 Maret 1991. Uskup Belo dan Gubernur Mário Carrascalão menghadiri pengiriman kelompok pertama sebanyak 132 orang. Selama tahun pertama pada 1991, 821 pemuda kebanyakan laki-laki mengikuti program ini.
Helene menyebut program ini cepat hancur karena tawarannya ternyata janji palsu. Para pemuda itu telah ditipu untuk meninggalkan Timor Leste. Ketika mereka tiba di Jakarta pada awal 1991, staf dari Yayasan Tiara memberi tahu bahwa mereka tidak akan dikirim ke Batam seperti yang telah dijanjikan.
“Bukannya pergi ke Batam, orang-orang muda itu dikirim untuk bekerja sebagai buruh kasar dengan gaji rendah di pabrik-pabrik seluruh Indonesia, dan yang memprotes diintimidasi dan mendapatkan hukuman badan. Banyak dari pabrik tempat orang-orang muda ini dikirim adalah milik anggota keluarga Soeharto,” tulis Helene.
“Pada 2004 mantan Gubernur Mário Carrascalão mengatakan kepada saya bahwa pada 1990 dia bersama Uskup Belo juga ditipu oleh para penyelenggara program ini untuk memberikan dukungan,” sambung Helene.
Menurut Aditjondro, setelah sampai di Jakarta, banyak dari mereka diberi latihan militer di pusat latihan Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Salah satu dari mereka, Luis Maria Lopes mendapat pelecehan fisik dari para Baret Merah. Setelah pemanasan ini mereka dikirim sebagai pekerja biasa di berbagai industri di Jawa, Bali, Kalimantan, dan Maluku.
Helene menyebut kurang dari satu tahun program ini berjalan, militer lebih terlibat dalam perekrutan dan penyelenggaran program. Pejabat-pejabat militer dan Yayasan Tiara pada akhir tahun 1989, sebelum peluncuran program, telah membuat daftar pemuda-pemuda yang pernah ditangkap karena melakukan demonstrasi, sehigga mereka bisa merekrut pemuda-pemuda ini. Pemicu keterlibatan militer adalah demonstrasi dan pembantaian di kuburan Santa Cruz pada November 1991 di mana diperkirakan 270 pemuda mati.
“Pengangguran di kalangan pemuda sangat luas disebut sebagai penyebab keterlibatan mereka dalam demonstrasi. Sebagian dari pemuda yang berpartisipasi dalam kejadian November 1991 sebelumnya tidak pernah terlibat dalam demonstrasi dan tidak punya afiliasi dengan organisasi-organisasi,” tulis Helene.
Aditjondro mencatat, pemuda Timor Leste dipekerjakan di industri-industri milik pengusaha yang dekat dengan keluarga Soeharto. Kelompok terbesar yang bekerja di Jawa Barat sebanyak 33 orang direkrut oleh PT Indocement di Cibinong, pabrik semen milik konglomerat Kelompok Salim, yang sebagian besar dimiliki saudara laki-laki Soeharto, yaitu Sudwikatmono dan dua anak Soeharto yaitu Tutut dan Sigit Harjojudanto. Yang lain direkrut oleh PT Cipendawa, peternakan ayam dan perusahaan makanan ayam milik saudara tiri Soeharto, Probosutedjo. Di luar Pulau Jawa, perusahaan kayu milik Prajogo Pangestu yang bermitra dengan anak kedua Soeharto, Bambang Trihatmodjo, juga merekrut pemuda Timor Leste untuk ditempatkan di Kalimantan dan Maluku.
Sementara itu, di Jawa Tengah, dua perusahaan besar yang merekrut pemuda Timor Leste adalah PT Kanindotex milik Robby Tjahjadi –terkenal sebagai penyelundup mobil mewah– di Bawen, Semarang yang mempekerjakan 75 orang, dan PT Sritex di Sukoharjo merekrut 50 orang. Pada 1995, Kanindotex diambil alih Bambang Trihatmodjo dan dan Johannes Kotjo melalui perusahaannya PT Apac Century Corporation dengan subsidi pemerintah. Dengan dukungan keluarga Cendana, pekerja dari pabrik-pabrik tersebut dengan mudah mengeksploitasi pekerja-pekerja Timor Leste. Gaji yang mereka dapatkan per bulan sangat rendah, berkisar dari Rp10.000 di perusahaan pabrik kayu milik Prajogo Pangestu di Kalimantan Selatan hingga Rp40.000 di pabrik tekstil di Jawa Tengah.
“Selain itu, mereka mengalami pelecehan baik secara fisik maupun psikologis oleh pekerja Indonesia yang menuduh mereka ‘mencuri pekerjaan dan tidak mau berterima kasih’ atas kesempatan kerja yang diberikan para majikan,” tulis Aditjondro.
Helene menambahkan, banyak pekerja Timor Leste yang kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial baru. Kesalahpahaman dan frustrasi dengan keadaan mereka sering mengakibatkan bentrokan fisik dengan rekan-rekan kerja mereka orang Jawa. “Beberapa orang muda yang memprotes perlakuan terhadap mereka ditahan dan dipukuli oleh tentara dan diintimidasi untuk membuat pengakuan publik bahwa mereka tidak keberatan terhadap upah dan kondisi kerja mereka,” tulis Helene.
Misalnya, bentrokan di pabrik Kanindotex antara pekerja Indonesia dan pekerja Timor Leste. Pasca insiden itu, 30 pemuda Timor Leste melakukan aksi protes kepada DPR pada Agustus 1991 atas kegagalan Yayasan Tiara memenuhi janjinya. Mereka juga mengirim surat kepada Uskup Belo, yang awalnya menyetujui inisiatif Yayasan Tiara.
Setelah aksi protes itu hanya 42 orang pekerja Timor Leste yang kembali bekerja di Kanindotex. Tiga dari mereka adalah perempuan muda yang menyusul suaminya kembali bekerja di Kanindotex dan 16 pemuda telah menikah dengan perempuan Jawa. Sementara itu, 20 orang kembali ke Timor Leste, 18 orang pindah ke Jakarta, dan satu orang pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan.
Menurut Aditjondro, alih-alih menangani keluhan secara serius, pemerintah Indonesia malah melanjutkan pengiriman pemuda-pemuda Timor Leste ke Jawa., ironisnya, setelah keluar dari sekolah di negerinya, banyak dari pemuda-pemuda Timor Leste juga keluar dari tempatnya bekerja di Jawa. Contohnya, dari 50 pemuda Timor Leste yang direkrut oleh pabrik Sritex hanya 18 orang yang tersisa pada 1994. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang mendapatkan gaji per bulan hanya Rp44.950 pada 1994, di bawah standar upah minimum regional Jawa Tengah sekitar Rp48.000 per bulan atau Rp1.600 per hari.
“Saya tidak punya rincian mengenai jumlah peserta seluruhnya untuk program ini sejak 1991 sampai 1996, tetapi ada 500 orang pada 1995 dan kemungkinan jumlah yang sama setiap tahunnya,” tulis Helene.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar